Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

Ulang Tahun Kantor

Pagi ini mendung tebal sekali. Lihatlah ke atas sana, semuanya abu-abu gelap semua. Benar-benar pagi yang indah pas sekali dengan suasana ulang tahun kantor gue. Sebenernya gue berharap hujan segera turun dengan derasnya karena gue pikir akan enak sekali upacara bendera dengan kondisi badan basah kuyub. Ternyata Tuhan hanya mendengar doa yang baik saja, ternyata hujan itu tak kunjung datang.

Mana lagi gue harus berangkat pagi-pagi dari rumah dan meninggalkan Tya yang lagi lucu-lucunya. Tumben dia bangun sebelum kami berangkat dan tersenyum sendiri dan ketawa dan ngoceh-ngoceh dan tentunya buang air besar. Apakah yang engkau tertawakan duhai anakku? Ceritakanlah padaku wahai engkau. Ah, biarlah urusan membersihkan pup-nya menjadi urusan ibu mertuaku yang baik hati. Soal Negara ini jauh lebih penting.

Sehabis gue antarkan isteri ke tempat dia berada, gue tiba di kantor pukul 7 lebih seperempat. Sudah ada beberapa gelintir manusia di sana, di tempat upacara bendera akan diadakan. Tapi tiada seorang pun ada di ruangan. Wah… kemana mereka semua? Janganlah kau tinggalkan diriku wahai teman-teman.

Pukul setengah delapan pagi upacara pun dimulainya. Di depan sana, di atas panggung yang dinaungi tenda tebal itu… para Petinggi sudah mulai menjembreng dirinya sendiri. Apa itu dijembreng dalam bahasa Indonesia? Entahlah. Karena ini katanya upacara resmi, maka jadilah setiap bahagian dari upacaranya diiringi dengan musik dari marching band.

Ternyata gue masih inget juga urutan tata cara pelaksanaan upacara bendera. Ternyata itu belum ada yang mengubahnya. Kenapa ya? Sekonyong-konyong gue inget diskusi terbuka lewat jaringan maya di kantor dengan beberapa rekan sejawat. Waktu itu kami membicarakan masalah hormat menghormati. Ada yang bilang kalo menghormati seseorang, kita harus melakukannya dengan tulus. Ada juga yang bilang kalo yang patut dihormati itu hanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Wah, luar biasa sekali mereka semua itu.

Wahai rekan sekantor, lihatlah diri kita yang sedang menghadap ke sana, ke sebuah tiang yang tinggi. Dengan sebuah bendera yang terikat padanya. Dengan beberapa orang berusaha menarik tali tersebut hingga membuat si bendera tiba di ujung terjauh secara hikmad. Biarlah tidak usah kau tarik tali itu… toh itu bendera nanti akan kau turunkan lagi ketika senja datang. Coba tengok diri kita yang menempelkan tangan kita di depan dahi bukan karena ingin menutupi mata dari terik matahari. Coba tengok bahwa kita menghormat pada benda segi empat dua warna. Sebenernya gue males melakukan itu, tapi dengan alasan solidaritas aja gue mau melakukannya. Sebelah kiri dan kanan gue melakukan hal tersebut. Si Kencana juga, Si Dian Onita juga, Oom Fadzlun juga, Ustadz Ardli tidak karena dia harus memotret kami yang sedang melakukannya. Buat dokumentasi katanya.

Ah, masalah hormat-menghormati ini memang sulit dimengerti. Biarkan sajalah! Mau hormat, mau tidak, atau cuma mau ikut ikutan, itu masalah pribadi seseorang. Perhatikan itu ada seorang pemulung yang diam-diam mengamati kita semua. Mungkin dia sedih karena dia tidak ikut upacara bendera. Atau mungkin dia sedang bahagia karena tidak harus menghormati sebuah bendera? Wahai engkau sang Pemulung, mengapakah engkau tiada menghormat?