Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

Bondowoso: Secuplik Kisah

Akhir taun. Itu adalah masa yang sangat sibuk bagi instansi pemerintah. Tiba-tiba saja semua teringat akan rencana kerja awal tahun yang sudah disusun berbulan-bulan sebelumnya. Semua kembali melihat agenda kerja mana yang belum dikerjakan. Apalagi itu menyangkut jumlah anggaran tahun berikutnya. Semua panik, semua serba dikebut kalang kabut sampe terkentut-kentut. Pun begitu dengan tempat saya bekerja. Secara sekonyong-konyong, bermunculanlah pekerjaan yang selama ini menguap tak tersentuh.


Yang paling gencar dilakukan pada bulan ini adalah agenda sosialisasi. Itu bukan program untuk menjadikan negara ini menjadi negara yang sosialis. Itu adalah upaya menyebarkan informasi kepada khalayak umum tentang apa yang dikerjakan kantor tempat saya bekerja. Apakah hal itu perlu dilakukan? Ya tentu lah ya... kalau tidak kami harus lebih keras lagi mencari hal lain yang bisa dikerjakan. Dalam satu bulan ini saja tidak kurang dari 10 agenda sosialisasi harus dilaksanakan. Bukan hanya di Jakarta Raya, tapi juga ke daerah yang tidak dapat dijangkau dengan berjalan kaki satu minggu.


Nah, ternyata saya mendapat jatah untuk pergi menyambangi kota Bondowoso. Saya pikir itu masih di bagian Jawa Barat karena saya pernah mendengar hikayat Bandung Bondowoso. Ternyata saya salah, memang Bandung Bondowoso itu adalah legenda dan bukan rute bis angkutan. Tapi saya akhirnya mengetahui kalau Bondowoso itu berada di Jawa Timur. Menurut informasi dari sang peta, teman Dora Si Petualang, Bondowoso itu terletak sekitar satu telapak tangan dari Surabaya. Ah, tidak terlalu jauh bukan? Entah tahun berapa peta itu dibuat, atau mungkin saya yang salah mengira, ternyata Bondowoso itu masih teramat jauh dari Surabaya. Sudahlah, bagaimana pun itu adalah perintah, dan saya harus melaksanakannya. Anda pun tentu tidak bersedia menggantikan saya untuk pergi ke sana bukan? Buktinya anda tidak mengirim SMS ke saya atau menelpon saya sebelum saya berangkat. Teman macam apa anda ini?


Awalnya saya ingin menolak karena saya tidak tega meninggalkan anak saya satu-satunya (hingga saat ini) tanpa kehadiran kedua orang tuanya. Akan tetapi, setelah menyadari bahwa tidak ada orang lain yang tersedia maka saya memberanikan diri untuk menerima tantangan tersebut. Saya juga berpikir lebih baik saya menerimanya, cepat atau lambat saya harus mengalaminya. Lebih baik lah Bondowoso itu, saya khawatir jika pada agenda berikutnya saya akan dikirim untuk melakukan sosialisasi di Kutub Utara. Lagipula, saya belum pernah mengunjungi kota tersebut. Pengalaman baru memang sulit untuk ditolak.


Dan saat yang berbahagia itu pun tibalah. Saya mulai mengurus segala dokumen yang diperlukan untuk keberangkatan saya. Singkatnya dapat disebut dokumen untuk meminta uang. Saya pun telah berkasak-kusuk untuk bisa mendapatkan kamar hotel di kota itu tadi, baik kamar untuk saya dan untuk narasumber. Saya boleh merasa beruntung karena narasumber saya sama dengan teman saya yang bertugas ke Njember (begitulah konon orang membacanya). Jadi setidaknya saya memiliki latar belakang informasi yang cukup. Segalanya akhirnya dapat disiapkan dengan baik. Dan saya pun siap untuk berangkat.


Pak Narasumber meminta saya untuk tiba pukul 9 di rumahnya di Surabaya yang panas di mana debu-debu banyak berterbangan dihempas oleh bis kota yang sudah miring ke kiri oleh sesaknya para penumpang yang bergelantungan. Haduh....koq saya jadi menyanyi? Maafkan! Jadi pun saya memilih penerbangan pertama pada pukul 6 pagi. Dan itu berarti saya harus berangkat dari rumah pada pukul 4 pagi. Ini adalah tantangan pertama. Adalah satu masalah buat saya untuk bagun pagi buta seperti itu. Saya tidak mau menyakiti si ayam jago karena mendahului bangun sebelum dia bahkan berniat untuk berkokok. Selain itu saya belum pernah bepergian menggunakan burung besi sendiri saja. Bagaimana kalau tiba-tiba saya tersasar dan berakhir di bagasi atau terdampar di pesawat yang salah? Masih banyak lagi ketakutan dan kekhawatiran saya.


Semalam sebelum berangkat, saya sudah menyiapkan segalanya. Dan itu selesai pada pukul 12 malam. Mungkin karena menyadari akan ditinggal ayahnya bepergian, si kecil tidak tidur dengan tenang malam itu. Dia terus terbangun dan menyebut ayah....ayah...begitu berulang-ulang sampai dia hapal di luar kepala. Pada pukul 2 pagi, ketika anak saya tercinta sudah terlelap, tiba-tiba keadaan menjadi gelap gulana. Saya pikir itu karena kotoran mata yang sedemikian besar hingga menghalangi pandangan. Saya coba mengucek mata tidak dengan deterjen tentunya. Ternyata tidak berubah. Apakah saya buta? Saya menjadi buta! Ooooh...tidaaaak! Saya mendengar tangisan anak saya, tapi saya tidak dapat melihatnya. Ini buruk, sangat sangat buruk. Oh, itu suara mertua saya. Dimana beliau berada? Saya dengar dia berkata, “Pake acara mati lampu lagi....” Hmm....baiklah....saya gak jadi buta....itu cuma mati lampu saja.


Setelah beberapa saat saya memutuskan tidak peduli dan kembali tidur. Itu pun setelah anak saya terlelap juga. Lihat itu secara samar jam di dinding sudah menunjuk jam 3 tepat. Sudah semestinya saya bangun, tapi karena masih enak, saya tertidur lagi. Saya tergopoh-gopoh bangun pukul 3.30 dan bergegas mandi. Pada pukul 4 pagi sudah siaplah saya berangkat. Satu hal yang tidak pernah terjadi selama saya bekerja. Ternyata hanya sebuah Garuda Indonesia yang bisa memaksa si aku untuk bangun pagi buta. Dan pada pukul 6 pagi itu juga, saya sudah duduk di kursi pada sisi jendela pesawat.


Sejauh ini tidak ada masalah yang terjadi. Namun kecemasan itu tidak juga bisa hilang. Tugas masih jauh dari usai. Saya mencoba menikmati pemandangan di luar jendela untuk menenangkan saya dari kecemasan dan dari kondisi kurang tidur. Pemandangan yang sangat indah; tidak ada macet, tidak ada pedagang asongan, dan pengemis. Keindahan itu semakin bertambah ketika segelas kopi dan dua gumpal roti tersaji di hadapan saya. Itu adalah hadiah dari Ibu-Ibu Pramugari secara cuma-cuma. Mungkin mereka ingin menyuap saya untuk menggunakan maskapai penerbangan itu lagi, tapi apa peduli saya.


Dasar manusia tidak pernah puas, saya pun tergiur dengan jus buah yang ternyata boleh diminta tanpa paksaan. Segelas jus apel akan membuat awal hari ini makin sempurna pikir saya. Saya pun memutuskan untuk memintanya kepada Ibu-Ibu Pramugari tadi. “Pake es, pak? Jusnya?” saya hanya mengatakan “He eh”. Pada saat itu saya ingin mengatakan bahwa yang namanya Jus Apel ya harus pake es. Kan saya minta Jus Apel bukan Ju Apel, gimana seh?!?! Tapi saya simpan saja kata-kata itu dalam hati. Saya takut diminta turun sebelum saya sampai tujuan. Bukan soal ketinggian beribu-ribu kaki yang membuat saya takut. Saya takut karena tidak ada angkot yang bisa berhenti seenaknya di atas sana.


Dan selamatlah saya sampai Surabaya dengan diamnya saya itu. Seorang supir dari travel yang sudah dipesan sebelumnya, telah menunggu saya di pintu keluar. Menyenangkan juga melihat nama saya tertulis di secarik kertas dan dilihat orang banyak. Karena saya tidak mau seluruh orang tahu kalau manusia bernama Yogi itu saya, saya hampiri dia diam-diam dan saya katakan “Pak, itu saya loh”. Karena dia orangnya mudah percaya, tidak lama kemudian kami sudah dalam mobil menuju rumah Pak Narasumber.


Setelah menunggu beberapa saat di rumah Pak Narasumber, kami pun mulai menuju Bondowoso. Pun setelah melalui gunung dan laut, panas dan hujan, kami tiba 4 jam kemudian di sebuah hotel di Bondowoso. Enam jam kemudian, semua kini sepi. Pak Narasumber dan istrinya sedang beristirahat di kamarnya. Saya sedang mengetik tulisan ini di kamar saya. Dan pak supir pun sedang mengorok dalam tidurnya.

LEAN ON ME


Dalam agama apapun dogma semacam ini pasti dikenal. Peran Tuhan dalam kehidupan manusia, apalagi manusia Indonesia, sangat signifikan. Begitu pula peranan Tuhan atau Allah dalam kehidupan gue. Meskipun gue sepenuhnya sadar dan tidak dibawah tekanan untuk mengatakan kalau ibadah saya masih ala kadarnya. Tetap saya percaya sama kekuatan besar yang tidak terlihat yang mengatur kehidupan manusia.

Ada berbagai teori tentang bagaimana peran Tuhan dalam kehidupan manusia. Ada yang bilang, manusia itu tidak ubahnya sebagai boneka tali yang dikendalikan Tuhan. Segala sesuatu yang dilakukan manusia itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. dalam teori ini manusia tidak dapat melakukan selain apa yang telah diatur. Tapi ada juga yang mengatakan kalau manusia itu berkehendak bebas. Tuhan diposisikan sebagai juri yang melihat dari kejauhan. Ia adalah penilai akhir tentang apa yang dilakukan manusia. Jika manusia itu berbuat baik maka akan ada hadiah di kemudian hari; begitu juga jika manusia berbuat jahat maka akan ada sanksi yang menunggu. Saya memilih posisi di antara kedua teori tersebut. Buat saya, Tuhan telah menentukan garis akhir perjalanan kita, rejeki kita, umur kita dan jodoh kita. Tapi saya juga melihat hidup manusia seperti perjalanan sebuah cerita yang dirancang sendiri oleh kita sebagai manusia. Setiap pilihan yang kita buat, akan mengubah alur cerita. Setiap tindakan akan memberi nuansa lain dari cerita hidup kita. Tetap saja, kisah akhir sudah disiapkan oleh Tuhan.

Meskipun begitu, Tuhan tidak lepas tangan dan membiarkan manusia melaksanakan kehendaknya secara sebebas-bebasnya. Tuhan tetap memberi rambu-rambu secara tersamar. Itu tidak lain agar manusia tidak sepenuhnya menyerahkan diri pada nasib tanpa mau berusaha. Tuhan juga dapat melakukan intervensi dalam nasib manusia. Tentu saja jika kita memintanya melalui perantaraan doa.

Saya juga percaya dengan ajaran yang mengatakan bahwa Tuhan itu seperti prasangka kita. Jika kita berprasangka baik, maka Tuhan itu baik. Namun sebaliknya, jika kita berprasangka buruk, Tuhan itu buruk. Untuk saya, tidak ada alasan untuk menuduh Tuhan dengan segala yang buruk. Saya yakin Tuhan ingin mengajarkan atau menyadarkan kita melalui cobaan yang diberikan-Nya. Selalu ada sesuatu yang bisa dipelajari dari setiap kesedihan dan cobaan.

Saya baru saja mendapat berita kalau aplikasi beasiswa S-2 saya di Australia ditolak. Sementara itu, istri saya yang mengajukan aplikasi beasiswa yang sama, di universitas yang sama, dan dengan program studi yang sama berhasil lolos. Itu artinya dalam waktu dekat, istri saya akan terbang ke Australia menuntut ilmu seorang diri.

Di satu sisi, itu adalah berita baik bagi kami sekeluarga. Melanjutkan studi di luar negeri memang telah menjadi impian istri saya sejak lama. Saya tidak berniat menghalanginya karena saya adalah suami yang baik. Di sisi lain, ini juga menjadi berita buruk. Permasalahannya, bagaimana dengan anak kami yang bulan Maret mendatang baru akan berusia satu tahun? Haruskah istri saya membawanya serta karena istri saya merasa berat untuk berpisah dengan anak? Atau haruskah anak kami berada di Indonesia dengan kondisi jauh dari kasih sayang ibunya?

Setelah melihat dari berbagai sisi, di antaranya agar tidak mengganggu konsentrasi belajar istri saya, kami memutuskan bahwa anak kami tetap berada di Indonesia. Ini akan menjadi babak baru dalam kehidupan rumah tangga kami. Sebelumnya kami tidak pernah berpisah lebih dari satu bulan. Hal ini pastinya tidak akan mudah bagi saya, istri saya dan anak saya. Biar bagaimanapun, ini adalah takdir Yang Kuasa. inilah yang sudah digariskan untuk kami. Saya tetap merasa bahwa Tuhan ingin memperlihatkan sesuatu atau hanya ingin menguji kami, bukan karena suatu hal yang buruk.

Meskipun keberangkatan istri saya baru akan terjadi sekitar 3 bulan lagi, saya sudah melihat pelajaran yang ingin Tuhan sampaikan melalui kejadian ini. Saya menyadari sepenuhnya betapa lemahnya saya sebagai seorang laki-laki. Ternyata, sehebat apapun seorang laki-laki, dia tidak akan berhasil tanpa dukungan seorang wanita luar biasa. Begitu juga dengan istri saya, dia adalah seorang wanita super yang luar biasa.

Sejak saya membuka mata di pagi hari (itupun atas jasa istri saya yang membangunkan saya), istri saya sudah sangat berjasa. Dia yang menyiapkan baju dan perlengkapan kerja saya, dia membuatkan saya minuman hangat, membelikan sarapan karena dia tau kalau saya pasti lapar. Begitu juga dalam menjalani hari, dia selalu memanjakan saya dengan perhatiannya. Bahkan ketika kami kembali ke rumah dengan badan lelah, dia masih menyiapkan makan malam untuk saya. Jika saya sudah makan sebelumnya, dia selalu setia membuatkan saya secangkir minuman hangat agar badan saya kembali segar. Lalu dia duduk menemani saya menikmati minuman tersebut di meja makan kami yang mungil. Dia ceritakan perjalanan harinya dan dia rela mendengarkan seluruh ocehan saya. Saya paham, dia pasti sangat lelah pada saat itu. Kelelahan itu mungkin baru terlihat dari betapa nyenyaknya nya dia tidur.

Itu belum seberapa. Istri saya juga sudah menjadi manajer hidup saya. Dia yang mengatur dan mempersiapkan segala yang dibutuhkan dalam kegiatan saya sehari-hari. Dia selalu mengingatkan apa yang harus dibawa atau disiapkan. Saya bahkan tidak tau secara tepat lokasi dokumen-dokumen penting meskipun itu semua ada di rumah kami yang tidak seberapa luasnya. Dia menjadi orang pertama yang ceria jika saya mendapat berita baik. Dia juga orang pertama yang menenangkan saya dan mendengarkan saya jika saya menemui masalah.

Jadi, saya tidak habis pikir kalau ada suami yang tega menganiaya istrinya. Meski ada kelakuan istri yang tidak berkenan di hati suami, saya kira apa yang telah dilakukan si istri kepadanya jauh lebih agung dari kekurangannya tersebut. Apakah si suami juga sudah sempurna sehingga menuntut suatu kesempurnaan dari si istri?

Pengalaman ini membuat saya tersadar betapa bergantungnya saya kepada istri saya. Betapa saya yang dinilai orang lain sebagai sosok yang cuek dan urakan ini, ternyata tetap mengandalkan istri. Bagaimana dengan anda dan pasangan? Seberapa penting peranan pasangan anda dalam hidup anda? Apakah anda sudah memperlakukan pasangan anda selayaknya?

SUPERHERO

Lihat itu Superman
Bisa terbang sampai ke awan
Biarpun gak ada yang menandingi
Tetap saja dia tak punya istri

Lihat itu Spiderman
Bisa nempel secara sembarangan
Memang dia punya pasangan
Tapi gak pernah punya keturunan

Aku lebih suka begini saja
Biarpun punya banyak kekurangan
Selalu ditemani istri dan anak tercinta
Daripada hebat tapi sendirian

Lihat itu para Kura-Kura Ninja
Tinggalnya saja di dalam selokan
Badannya hijau mungkin lumutan
Bagaimana bisa mereka pacaran?

Tapi Batman yang lebih kasihan
Hanya keluar di malam hari
Tanpa istri dan keturunan
Kemana mana hanya robin yang menemani

Aku lebih suka begini saja
Biarpun punya banyak kekurangan
Selalu ditemani istri dan anak tercinta
Daripada hebat tapi sendirian

Ronda

Seperti lazimnya tahun-tahun sebelumnya, di lingkungan rumah saya yang adalah milik mertua saya dilakukan piket ronda setiap bulan Ramadhan. Saya tidak tahu alasannya mengapa ronda ini hanya diadakan setiap bulan puasa. Mungkin karena bulan ini lebih banyak pahala, atau mungkin diadakan karena para penjahat merasa akan diampuni dosanya pada bulan ini jadi lebih banyak lagi kegiatan itu mereka lakukan di bulan puasa. Yang pasti pak RW menyuruh pak RT dan pak RT menyuruh warganya termasuk saya ini.

Apapun itu alasannya, sebagai warga negara yang baik dan tidak macam-macam, saya merasa berkewajiban melaksanakan tugas ini sebaik-baiknya. Lagipula setiap warga negara wajib berperan serta dalam upaya bela negara. Saya takut kampung ini diklaim negara lain kalau saya tidak meronda.

Malam ini kembali jadwal saya melakukan piket ronda. Memang tidak ada kegiatan khusus selama menjalankan tugas itu selain berkeliling lingkungan satu kali dan selebihnya hanya duduk-duduk menunggu. Justru karena itu saya harus mempersiapkan bagaimana saya akan menyibukkan diri.

Saya bisa bermain game di handphone, atau mengerjakan tulis menulis di PDA saya. Kalau begitu baiklah, saya harus men-charge penuh baterai keduanya. Dengan begitu, mereka tidak akan kekurangan tenaga untuk bekerja menemani saya.

Ketika malam pun tiba, saya sudah siap untuk piket. Saya masukkan HP dan PDA ke saku celana. Kemudian saya keluar rumah. Dengan menikmati satu cup es krim yang saya beli tadi sore khusus untuk malam ini, perlahan saya membuka pagar lalu melangkah pergi.

Malam ini gerah sekali. Lihat itu mendung menggayut di langit. Ketika agak lebih sore tadi, bahkan mendung lebih tebal. Kenapa juga hujan tidak turun malam ini? Kalau malam ini hujan, pastinya tidak akan gerah seperti ini. Pastinya juga saya tidak perlu keluar rumah.

Hmm...alangkah sepinya malam ini. Kemana petugas yang lain? Apakah mereka lupa dengan tugasnya? Atau mungkin khusus malam ini ronda diliburkan? Biarlah, kalau nanti setelah saya berkeliling RT satu putaran tidak juga ada seorang lain pun, saya pulang lagi. Cukup satu putaran karena saya sudah mendapat suara mayoritas dari dalam diri saya.

Lihat itu saya memutuskan untuk duduk di sana, di ujung gang. Tempat yang kau janjikan, ingin jumpa denganku walau mencuri waktu. Lihat itu saya yang malas berkeliling dan mulai memainkan PDA. Kamu pasti tidak merasakan apa yang saya rasa. Karena saya bukan kamu, dan kamu bukan saya.

Oh, lihat itu ada 2 orang berjalan mendekat. Satu orang pencatat kehadiran piket dan satu orang entah siapa. Si pencatat kehadiran menyapa saya "Lho, sedang apa pak di luar malam-malam?" Ada apa ini? pikir saya. Saya mulai merasa ada yang salah. "Bukannya giliran saya malam ini?" jawab saya dengan ragu.

Si pencatat kehadiran mulai membuka bukunya untuk meyakinkan dirinya. Kami berdua sama-sama meragu. Namun, untunglah kami tidak merasa yang paling benar sehingga kami tidak berkelahi. "Pak Djatmiko (begitu ia memanggil saya) jadwalnya tanggal 6" jawabnya. "Lho memangnya sekarang tanggal berapa?" tanya saya basa-basi. "Sekarang baru tanggal 5, giliran bapak baru besok." katanya.

Begitulah saudara-saudari. Tanpa ngotot-ngototan, masalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Untung saja kegiatan ronda diadakan malam hari. Tidak nampaklah wajah saya yang menghitam karena malu tersebut.

ANAK BAWANG

Anakku lagi masuk angin
Badan basah keringatan.
Tapi tangan dan kakinya dingin
Rambutnya pun acak-acakan.

Anakku juga gak enak badan.
Aduh, sungguh kasian!
Guling kiri guling kanan,
Kerap terbangun berkali-kali

Anakku kini berbalur minyak dan bawang.
Kata neneknya semua itu supaya tenang.
Tapi alangkah sungguh kasian,
Sekarang baunya jadi gak karuan

Anakku perutnya kembung
Kentut melulu terus bersambung
Karena senang belajar jalan seharian
Sampai ngantuk pun dia tahan

Anakku kini berbalur minyak dan bawang
Kata neneknya itu cara supaya tenang.
Tapi alangkah sungguh kasian,
Sekarang baunya jadi gak karuan.

Anak cantikku kini bau bawang
Di tengah tidurnya kini tenteram.
Biar begitu aku tetap senang
Daripada dia bau soto atau kari ayam.

* Anakku bukan Mie Instan

BELUM MANDI

Hari itu saya sungguh sibuk sekali. Sungguh tumben karena biasanya saya justru berpura-pura sibuk agar supaya dianggap bekerja. Sedari pagi saya sibuk mencari cara bagaimana membuka mata dan menjaga agar mata ini tetap terbuka. Dan saya baru berhasil ketika jarum pendek jam sudah berada di angka 10. Apakah saya kesiangan? Tentu sajalah karena jam kerja saya kan seharusnya dimulai pukul 7.30 pagi. Tapi saya bersyukur karena saya bukan pahlawan. Saya sungguh tidak akan suka jika saya dianggap pahlawan kesiangan. Jadi biarlah saya tetap menjadi Yogi Kesiangan saja.

Well, itu tetap saja tidak dapat menjadi alasan bagi anda untuk mengatakan atau menilai saya sebagai seorang pemalas. Saya sebenarnya sudah bangun dari pukul 6.30 pagi. Karena saya ingin menikmati suasana pagi dengan membaca buku, saya merebahkan diri saya di atas kasur dan mulai membaca. Ah, pagi itu memang segar sekali. Jadi secara tidak sadar, saya kembali terlelap. Jadilah saya terbangun pada waktu yang saya sebutkan tadi. Sekira pun anda tetap menilai saya sebagai pemalas, biarlah... saya anggap itu sebagai pujian karena itu adalah memang sebuah pujian.

Siang itu ternyata saya bertemu dengan seorang ”dewa” fotografi bernama Ray Bachtiar. Bukan karena saya pula seorang ”dewa”, tapi karena saya memang lagi berkepentingan dengan beliau untuk menjadi juri lomba fotografi yang mana saya menjadi ketua panitianya. Sebelumnya kami berencana melaksanakan penjurian empat hari sesudah hari tersebut. Dengan begitu kami masih dapat menyiapkan segalanya dalam dua hari ke depan. Ternyata, beliau meminta penjurian dilaksanakan keesokan harinya. Wah itu berarti ada banyak kerjaan yang harus dikebut dalam semalaman.

Singkat cerita, saya terpaksa namun sukarela menginap di kantor untuk menyelesaikan tugas yang tersisa. Inilah, itulah, adalah pokoknya yang saya kerjakan. Dengan semua kerjaan itu, saya baru bisa merebahkan badan pada pukul 4 pagi. Nikmat sekali rasanya bisa tertidur setelah badan terasa sangat penat. Terlebih lagi, pendingin ruangan dinyalakan sejak pukul 1 malam. Dingin namun nikmat.

Ternyata pendingin ruangan tersebut berfungsi dengan baik dan menjadikan ruangan memang dingin sekali ketika aku membuka mata. Tapi bukan dingin itulah yang membuatku kembali ke dunia nyata, saya melihat orang-orang berlalu lalang karena itu memang sudah waktunya bekerja. Karena saya tidur di sebuah ruangan terbuka yang dilalui orang, saya merasa seperti seorang gelandangan kiri ketimbang gelandang bertahan...maksudnya bertahan sebagai seorang gelandang. Oh, pendingin ruangan, maaf kalau saya hampir lupa membicarakan dikau. Si pendingin itu memang berefek juga pada tubuh saya. Gara-gara dia aku jadi malas untuk mandi. Rasanya dingin sekali dan susah sekali menggerakkan badan menuju kamar mandi.

Saya baru sadar kenapa orang tua saya meminta saya untuk tidak menunda pekerjaan apa pun. Karena rasa malas itu akan semakin berkembang dan pada akhirnya tidak akan jadi dikerjakan. Dan begitu pun dengan diriku pagi itu. Karena keengganan awal untuk mandi, pas ketika saya berniat untuk mandi, sudah ada tugas lain yang menanti. Karena tugas tersebut lebih penting untuk dikerjakan. Maka keinginan untuk mandi perlahan mundur ke belakang tertutup sam urgensi tugas tadi.

Ketika tugas itu selesai, para juri sudah berdatangan dan terpaksalah lagi saya menunda niat saya yang mulia lagi. Pada akhirnya saya menjalani aktifitas saya hari itu tanpa mandi. Tetapi entah mengapa tidak ada yang tahu dan tidak menyadari. Well, secara positif itu berarti saya tidak mengalami masalah bau badan. Jika saya bau badan, maka sepertinya kenyataan bahwa saya belum mandi akan terbongkar dengan mudahnya. Akan tetapi, itu juga bisa berarti kalo saya setiap hari memang lusuh. Jadi tidak masalah apakah saya sudah mandi atau belum, tampang saya memang akan tetap seperti itu saja.

Tapi saya perlu merasa kasian kepada para pesohor di bidang fotografi karena mereka berhubungan dengan seorang saya yang belum mandi. Jika mereka mengetahui bahwa saya belum mandi, apakah mereka sudi bekerjasama dengan saya? Apakah mereka akan memutuskan untuk menunda penjurian hingga saya akhirnya mandi? Apakah mereka tetap mau makan siang dan minum kopi yang saya suguhkan? Tapi saya menyadari satu hal, ternyata mereka juga tidak berbeda dengan saya, mereka tidak lebih istimewa. Ternyata mereka memiliki kekurangan juga, yaitu tidak dapat mencium dengan baik.

JODOH

Suatu ketika gue pernah berbincang dengan ibu anak gue tentang pernikahan dan kaitannya dengan jodoh. Menurut gue, kalo ada dua orang menikah belum tentu mereka adalah jodoh masing-masing. Isteri gue merasa tidak sependapat dengan gue. Dia berpendapat kalo orang menikah itu pasti karena jodoh. Dia menentang argumen gue, katanya dengan berpendapat seperti itu, maka akan mudah sekali orang bercerai hanya bermodal perkataan bahwa mereka tidak jodoh.

Seperti sudah sering disinggung dalam Islam, sejak dalam kandungan Allah telah menuliskan tiga rahasia besar mengenai rezeki, jodoh, dan usia. Menurut gue ketiga hal ini akan menjadi garis akhir setelah kita menjalani proses untuk mencapainya. Kita tidak akan pernah tau berapa lama kita ditugaskan hidup di dunia ini. Batas usia kita baru akan diketahui setelah ajal menjemput, itu juga orang lain yang tau bukan kita si pelaku.

Begitu juga dengan konsep rezeki bagi gue. Allah memang sudah memberi kita sejumlah rezeki. Akan tetapi, kita tetap harus berupaya mencarinya. Kita tidak pernah tau seberapa besar mata air rezeki kita. Tapi seberapa besar saluran pengeluarannya tergantung dari usaha kita menggalinya. Kalau kita hanya berdiam diri di kamar, menunggu Allah mengirimkan rezeki yang sudah menjadi jatah kita, kapan kita berhasil. Uang tidak jatuh begitu saja dari langit, coy! Jangan pula kita marah apalagi dendam pada Allah kalau kita bekerja lebih giat dari tetangga kita, tapi dia lebih makmur. Setelah kita mengupayakan segala cara yang ada, hasil yang kita dapat itulah batas rezeki kita. Allah Maha Adil dalam menciptakan keseimbangan kaya dan miskin. Kesenjangan ini membuat roda ekonomi berputar. Kemiskinan juga sarana Allah untuk membuka kesempatan orang kaya untuk menambah amalnya. Jadi bukan hanya orang miskin yang banyak amalnya karena doanya didengar Allah.

Allah pun juga sudah menyiapkan mekanisme intervensi dalam proses pencarian rezeki kita. Doa merupakan salah satu channel untuk meminta Allah menggunakan hak intervensi-Nya. Namun, sekali lagi, kita tidak pernah tau seberapa besar tambahan rezeki untuk kita sampai kita mengupayakannya.

Kembali ke masalah jodoh, kita baru akan tau siapa jodoh kita setelah kita menjalani kehidupan bersama hingga akhir hayat. Adapun pernikahan itu hanyalah salah satu sarana untuk pencarian jodoh hakiki kita. Pastilah kita menikah karena kita merasa cocok dengan pasangan. Hal itu tidak gue pungkiri. Tapi untuk mengatakan dia jodoh gue, masih jauh awan dari bumi.

Proses seleksi jodoh pun sebenernya sudah dimulai dengan proses pertemanan. Kita sudah menyisihkan kandidat yang tidak sesuai dengan kriteria pencarian. Selanjutnya, dari kandidat yang tersisa akan dipilih satu orang-bisa juga lebih-untuk dijajaki dalam hubungan pacaran atau pengenalan lebih lanjut. Dan dari sekian banyak pacar serta mantan pacar, kita masuk ke tahapan seleksi lanjutan melalui lembaga pernikahan.

Jika seseorang memang berniat serius dalam mencari jodoh sejati, maka ia akan menjalani kehidupan berumah tangga secara serius. Mereka akan mengupayakan segala cara untuk bisa mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka. Percuma saja dua orang menikah karena mereka merasa jodoh, tapi mereka tidak mau mengupayakan solusi ketika mereka bertemu masalah.

Memang ada suatu mekanisme perceraian jika sebuah pernikahan tidak dapat dipertahankan lagi. Dalam agama pun perceraian tidak dianggap sebagai sebuah dosa. Allah tidak melarang perceraian akan tetapi Ia membencinya. Jadi perceraian adalah suatu hal yang dilegalkan dengan persyaratan yang ketat. Itu menjadi upaya yang bersifat final setelah upaya lain ditempuh. Pengadilan agama atau pengadilan umum juga tidak dengan mudahnya mengabulkan permohonan perceraian. Mereka akan melakukan upaya mediasi terlebih dahulu.

Allah juga sudah menyiapkan sistem koreksi atas sebuah perceraian dengan adanya talak 1 sampai 3. Katakanlah sebuah pasangan merasa tidak cocok dan memutuskan bercerai. Namun, setelah dievaluasi ternyata itu adalah keputusan yang keliru. Keduanya tetap dapat menikah kembali selama memenuhi ketentuan yang berlaku.

Jadi perceraian bukan berarti tidak jodoh. Keputusan bercerai juga tidak seharusnya dibuat secara tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan matang. Akan tetapi, jika setelah segala cara ditempuh untuk mengatasi masalah, jika sudah tidak ada lagi kata sepakat, maka proses bercerai dapat ditempuh. Dan mungkin dengan begitu, baru seseorang dapat berkata bahwa mantan pasangan menikahnya tersebut bukan jodohnya.
Meminjam lirik dari lagu Iwan Fals berjudul “Entah”, “Aku cinta kau saat ini. Entah esok pagi...entah esok hari...entah”.

13 Agustus 2008

MENIKAH

Menikah memang sudah menjadi salah satu “kebutuhan” manusia. Gue pake tanda kutip pada kata kebutuhan sebagai satu catatan bahwa ternyata ada juga manusia yang merasa tidak butuh menikah. Entah karena memang komitmen dirinya yang tidak mau berkomitmen (sebenernya itu juga sudah merupakan satu komitmen, bukan?) atau ada faktor eksternal yang menghalangi dirinya untuk menikah. Misalnya, faktor biaya, siapa pun tau kalo hidup di dunia ini butuh uang. Kencing aja kita harus membayar padahal kita yang memberi air seni pada toilet umum. Gue gak cuma bicara masalah biaya untuk resepsi, yang umumnya berkisar pada hitungan juta. Dari pengalaman gue satu-satunya-karena memang gue baru sekali itu menikah-kita juga harus mengeluarkan uang untuk selembar surat ijin bersetubuh secara legal. Untuk menikahkan gue, sang penghulu meminta uang sekitar 500 ribu. Itu juga masih belum termasuk biaya administrasi lain. Sungguh ironis! Mereka bekerja di departemen yang berhubungan dengan Tuhan, tetapi mereka makan dengan mengkomersilkan agama.

Selain itu ada juga faktor peraturan yang menghalangi. Salah satu peraturan yang ada menyulitkan pernikahan beda agama, tapi di sisi lain mewajibkan pernikahan beda jenis kelamin. Kalau memang benar agama berada di domain pribadi warga negara, maka seharusnya negara tidak berhak melarang pernikahan beda agama. Yang terpenting adalah pernikahan tersebut tercatat secara resmi dalam arsip pemerintah. Atau mungkin ada banyak faktor lain yang gue sendiri belum tau.

Kira-kira kenapa kita mau menikah? Kalau dari sudut pandang agama, menikah itu adalah sarana untuk menghindarkan kita dari perzinahan. Pada kenyataannya, banyak juga orang yang berzina ketika mereka telah menikah. Kalau semua orang beralasan seperti itu, maka bukankah seharusnya tingkat perzinahan itu berada di titik rendah?

Ada juga orang yang bilang kalo mereka menikah karena sudah merasa cocok antara satu dengan yang lainnya dan tidak bisa hidup tanpa pasangannya tersebut. Gak salah juga kalo orang menikah atas nama cinta mati. Apa itu artinya mereka tidak membutuhkan seks? Gue jadi teringat sebait lirik lagu “Kelamin Uber Alez” buah karya The Panas Dalam, “Mengaku punya cinta murni...ujung-ujungnya minta kelamin”

Tapi gak sah juga kalo kita menikah hanya mendasarkan pada pemuasan syahwat. Bahasa sopannya adalah memiliki keturunan. Karena dari 100 persen waktu yang kita habiskan dalam pernikahan, mungkin gak sampe 40 persen waktu yang kita butuhkan untuk belajar bahasa inggris sederhana oh yes...oh god...oh no... lagipula, kalo hanya kepingin punya keturunan tidak perlu menikah. Yang perlu adalah berhubungan dengan lawan jenis. Toh, anak yang lahir kemudian hanya perlu tau siapa ayah biologisnya, dia tidak akan menanyakan apakah ayah dan ibunya menikah atau tidak.

Pasti ada juga yang pengen bertanya alasan kenapa gue menikah. Jawaban paling singkat mungkin karena gue pengen. Tapi secara logis, gue menikah karena negara mewajibkan gue menikah supaya anak keturunan gue diakui oleh negara. Negara gak mau mengeluarkan akte kelahiran seorang anak tanpa adanya ikatan pernikahan antara kedua orang tuanya.

Selain itu, pastinya urusan urat dan syahwat tadi. Gue ngebayangin kalo gue tiba-tiba butuh melampiaskan nafsu, kemana gue harus mengadu kelamin? berzina? Itu bukan proses yang mudah, bung! Kalaupun harus berzina dengan pacar, itu juga harus memperhitungkan situasi dan kondisi. Belum lagi kalau terjadi resiko kehamilan, toh gue juga akan diminta untuk menikah. Jadi menikah sebelum dinikahkan hansip. Gue juga bukan lelaki yang seneng jajan. Ngapain buang duit kalo bisa nyari yang gratisan dan aman pula? Jadilah gue menikah.

13 Agustus 2008

Bunda...

Bunda...
Gimana rasanya ada di Negara lain, benua lain? Pasti pertama kali menginjakkan kaki di aspal Ostrali, bunda merasakan kekaguman yang luar biasa atau setidaknya ada kegairahan yang beda. Hmm...aku juga dulu ngerasa kayak gitu koq. Banyak yang beda dengan Indonesia. Baik orang-orangnya, lingkungan dan gedung-gedungnya, maupun cuacanya. Biar kata sama-sama panas, pasti kita ngerasa beda aja.

Bunda...
Ini baru aja hari pertama. Tapi jujur aja aku udah ngerasa kehilangan. Bener kalo orang bilang, kita terlalu sering take for granted sama yang ada di sekitar kita. Pas udah jauh, baru kita ngerasa ada yang ilang. Terlebih lagi kalo ngeliat Tya. Untung aja dia belum terlalu ngerti kalo dia bakal ditinggal bundanya untuk waktu yang agak lama. Dia gak rewel sama sekali. Biar gitu, entah kenapa tadi pagi dia gak terlalu ceria seperti biasanya. Gak nangis sih...Cuma agak lebih pendiam aja. Entah itu perasaan aku aja atau emang beneran begitu.

Bunda...
Semalem yayah pulang bareng Oom Odong-Odong sama mama Ade. Aku anterin si Ade dulu ke kos-nya baru ngedrop Om Odong-Odong. Ternyata dia kos di dekat Sampoerna Strategic Square. Dari situ yayah ke kantor dulu. Ternyata, eh ternyata...itu sidang belon selesai! Tapi ya udahlah...yayah pulang aja. Sampe rumah jam setengah dua belasan. Si eneng udah tidur sama Kakek dan Nenek di depan tipi. Kata Nenek, dia gak mau tidur di kamar, jadilah betigaan di depan tipi. Daripada ngebangunin dia, yayah pulang aja sendiri ke rumah.

Ternyata rombongan papa juga gak cepat-cepat amat sampe di rumah. Mbak Sum minta dianterin ke daerah Priok untuk ngambil mobilnya. Gimana sih tu orang? Emang gak bisa apa diambil besok pagi aja? Tapi ya udahlah...toh mereka juga akhirnya sampe.

Bunda...
Tidur di rumah sendirian ternyata ada enak dan gak enaknya. Enaknya sih sepi...tenang...hehehe...apalagi si eneng tidur di atas. Santaiiii.... tapi gak enaknya tidur kebablasan. Apalagi semalem ujan...wah makin enak aja tidur. Akhirnya aku bangun pun jam setengah delapan. Alamat telat lagi sampe kantor. Sekalian aja aku berangkat agak siang, maen dulu sama si eneng.

Nenek laporan kalo semalem si eneng tidurnya gak tenang. Bukan karena mikirin kamu koq...gak usah geer gitulah! Mungkin karena gerah, dia minta dikipasin terus. Nenek sama Kakek kena piket ngipas semaleman. Kasian sih tapi gimana? Enak sih. Udah gitu popoknya tembus lagi. Pas tadi pagi mau aku gendong, Nenek ngelarang karena dia belom mandi dan dia celananya basah.

Bunda...
Jangan lupa telpon ke rumah ya. Kakek, Nenek, dan semua yang ada di rumah pasti pengen denger kabar dari kamu. Jangan Cuma telpon yayah aja. Terus jangan lupa emailnya dan mulailah tulis itu jurnal...

9 Juni 2009


FACEBOOK...OH...FACEBOOK

Teknologi harusnya memudahkan manusia. Itu setidaknya yang saya percaya. Sebelum ada teknologi, manusia harus melakukan segalanya secara manual. Manusia pun segera menyadari perlunya alat untuk memudahkan pekerjaan mereka. Dengan bakat inovasi yang dimilikinya, manusia lalu berusaha memikirkan cara untuk meringankan beban mereka. Satu per satu perkakas kemudian diciptakan. Mulai dari yang sederhana, seperti misalnya mata tombak atau mata panah untuk mendapatkan hewan buruan.

Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia, kebutuhan manusia juga semakin bertambah dan semakin kompleks. Dan entah karena alasan itu atau lainnya, pada suatu ketika di daratan eropa, terjadilah perubahan besar-besaran. Suatu perubahan dalam tatanan masyarakat yang kelak dikategorikan sebagai satu era baru yaitu reformasi teknologi. Pada era tersebut, banyak sekali penemuan (invention) yang terjadi. Seperti misalnya penciptaan mesin uap, mesin cetak dan mobil. Sekali lagi, semua itu dalam upaya mendukung kinerja manusia dalam mencapai tujuannya.

Saya juga menilai, salah satu penemuan terhebat setelah arus listrik adalah komputer. Pada awalnya, yang namanya komputer itu hanya bisa membaca bilangan biner saja. Hanya angka 1 dan 0 yang mampu dibaca komputer. Sangat sederhana namun piranti yang dibutuhkan teramat rumit dan besar. Saya tidak begitu memahami sejarah perkomputeran, tapi saya masih ingat pengalaman ketika saya masih kecil yang berhubungan dengan komputer.

Saya termasuk beruntung karena saya sudah bersentuhan dengan komputer sejak kecil, meskipun secara tidak langsung. Ayah saya bergelut dalam dunia perkomputeran, khususnya pengolahan data, tanpa melalui pendidikan formal. Beliau hanya seorang tamatan sekolah ekonomi atas atau SMEA. Dulu, beliau sering membawa pulang gulungan besar berdiameter sekitar 30 atau 40 sentimeter pita berwarna hitam. Beberapa tahun kemudian saya baru mengetahui bahwa itu adalah gulungan pita magnetik.

Beberapa kali juga saya dibawanya ke sebuah ruang yang sangat dingin. Dalam ruangan itu terdapat jejeran kotak besi berukuran besar. Seperti kulkas dua pintu. Itu adalah ruang server. Dan di salah satu kotak tersebut, pita magnetik itu dipasang sebelum digunakan. Sangat memakan tempat dan tidak praktis.

Dalam perkembangan berikutnya, saya diajak bergaul dengan komputer pribadi atau Personal Computer (PC). Karena pandangan visioner ayah saya, saya sudah memiliki sebuah PC dengan kemampuan ala kadarnya di rumah. Saya kemudian “dipaksa” menggunakan program-program yang terdapat di dalamnya. Mungkin masih ada di antara anda yang pernah bersentuhan dengan program WS untuk mengetik dan LOTUS untuk pengolahan data sederhana. Saya sempat memahami beberapa fungsi dalam kedua program tadi.

Pun ketika teknologi komputer itu semakin berkembang dengan program Windows® yang kerap berubah sesuai jaman, saya tergolong cepat untuk berinteraksi dengannya. Hubungan saya dengan teknologi komputer melambat ketika saya mulai kuliah. Pada masa tersebut, teknologi internet mulai merambah Indonesia. Perlahan saya mulai mengenalnya melalui media warnet (warung internet). Saya mulai paham apa itu surfing, browsing, chatting, downloading dan segalanya.

Ternyata, komputer bukan lagi hanya sekadar sarana untuk mencari informasi secara mudah. Dengan mewabahnya situs pertemanan friendster, orang menjadikan internet sebagai sarana berinteraksi sosial. Semua orang harus bergabung dengan friendster, yang tidak punya account di friendster dianggap tidak gaul atau kuno. Saya agak terlambat untuk bergabung di friendster. Itu juga tidak terlepas dari tempat kerja saya yang tidak didukung oleh sambungan internet.

Meskipun begitu, pada dasarnya saya memang tidak terlalu antusias dengan keberadaan si friendster tadi. Saya kurang merasa nyaman mengekspose diri saya kepada publik. Untuk saya, lebih baik saya membuka diri saya selebar-lebarnya kepada orang yang saya kenal dengan baik secara fisik. Bukan hanya secara virtual. Lebih lagi ketika saya harus mengevaluasi diri saya dengan menyebutkan apa yang saya suka, buku apa yang menjadi favorit saya, dan segala macam informasi seperti itu. Teman-teman saya bahkan banyak yang tidak mengetahui detil informasi tentang saya. Kalaupun ada yang mengenal saya dengan baik, itu butuh waktu berbulan-bulan dan tidak hanya sekejap saja. Mengenal seseorang tidak hanya semudah menekan klik pada tikus elektronik anda.

Era friendster pun segera berlalu dengan terbitnya Facebook. Demam facebook ternyata lebih dahsyat. Epidemi facebook secara cepat melanda seluruh penjuru dunia. Semua orang berlomba-lomba mengambil tempat di situs pertemanan elektronik tersebut. Kelebihan facebook dibandingkan friendster adalah fitur yang lebih lengkap dan akses yang lebih mudah. Selain ada ukuran jumlah teman kita yang sudah mengenal kita, facebook juga menawarkan sarana untuk berkomunikasi antar teman melalui fasilitas chat dan wall-to-wall. Lebih jauh lagi, kita juga dimungkinkan untuk memantau apa yang sedang dilakukan teman kita dengan membaca status mereka. Pengelola facebook juga memudahkan para pengguna untuk menampilkan foto-foto koleksi pribadi mereka.

Bayangkan, saya terkejut bukan kepalang ketika seorang teman secara tidak dinyana menampilkan foto saya pada waktu awal kuliah. Tidak lama kemudian, ada seorang teman lain yang sudah lama sekali tidak bertemu menampilkan foto ketika saya masih di kelas 6 SD. Di satu sisi memang saya merasa senang dan lucu melihat foto saya ada di sana. Tapi kemudian saya juga merasa aneh mengetahui bahwa ada kemungkinan orang di seluruh penjuru dunia melihat bahkan mengambil foto saya ketika saya masih polos dan belum ternoda seperti itu.

Untuk saya, itu sudah merupakan pelanggaran domain pribadi. Tapi saya tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun terhadap teman saya yang menampilkan foto tersebut. Bukan karena tidak ada sarananya, tapi saya tidak punya biaya untuk mengakses sarana tersebut. Kalau pun ada biaya tersedia, saya agak malas untuk melakukannya. Jadi, ya sudahlah. Tetap saja itu tidak membenarkan siapapun untuk masuk ke ranah personal tanpa ijin dari pihak-pihak yang terlibat. Bayangkan, jika ada foto tidak senonoh yang melibatkan saya dan banyak orang lain sebagai korban. Apakah itu tidak membuat saya kemudian menjadi depresi dan traumatik?

Selain itu juga, saya mencoba melihat facebook ini dari sudut pandang The Changcutters. Facebook racun dunia... Memang pada kenyataannya facebook adalah racun otak. Sebuah artikel di suratkabar pernah mengatakan bahwa facebook telah membuat jutaan orang menjadi gila. Berapa orang sudah diracuni facebook untuk menjadi narsistik dengan menampilkan foto yang bertujuan untuk dilihat banyak orang dan dengan mengganti status setiap saat mereka melakukan kegiatan yang berbeda. Bahkan ada orang yang menuliskan status mereka sebagai “abis makan, neh...ngantuk”. untuk saya itu adalah kesia-siaan. Apa urusan saya dengan kenyataan bahwa anda baru saja makan? Itu toh tidak membuat saya menjadi kenyang. Saya memang tidak peduli, akan tetapi ketidakpedulian saya terusik dengan pengumuman bahwa teman saya itu telah mengganti statusnya menjadi seperti yang saya sebut di atas. Seketika ketidakpedulian saya membuat saya menjadi peduli untuk melihat status tersebut.

Sebuah komik strip di sebuah surat kabar nasional bahkan pernah mengangkat fenomena ini. Dua orang sahabat mengupayakan membeli dua buah komputer jinjing yang identik. Dalam scene selanjutnya digambarkan mereka mendaftar sesuatu secara on-line. Ketika proses pendaftaran selesai, mereka terlihat gembira dan mengatakan bahwa mereka sekarang menjadi teman di facebook. Saya menangkap ada sebuah satir dari kenyataan hidup yang telah mengubah makna dan paradigma pertemanan dari hubungan interaksi sosial antar individu menjadi interaksi secara maya antar individu.

Lebih menarik lagi kalau kita kembali ke khittah pembicaraan tentang mengapa teknologi itu dimunculkan. Apakah facebook itu juga merupakan sarana untuk mempermudah kerja dan meningkatkan kinerja? Mungkin iya dan mungkin tidak.

Bagi seorang Barrack Obama yang kini menjadi Presiden AS ke-44, facebook memainkan peranan yang sangat penting dari kesukesannya menduduki tampuk tertinggi di negara adidaya tersebut. Dia bisa menjaring jutaan pendukung melalui situs sosial seperti facebook. Begitu efektifnya jejaring sosial ini untuk mengubah nasib seseorang.

Facebook juga perlu diakui lebih efektif dari friendster dalam mencari teman lama. Saya tidak pernah mengira bahwa saya akan bertemu secara tidak langsung dengan teman-teman SD saya. Kami sudah terpisah jarak dan waktu selama lebih dari lima belas tahun. Dengan jalan hidup yang berbeda antara satu dan lainnya, sangat sulit melacak jejak mereka di dunia yang sangat luas ini. Mungkin anda juga mengalami hal semacam ini, bertemu dengan mantan pacar yang kini sudah memiliki anak dua misalnya. Atau, mungkin saja anda bertemu dengan musuh bebuyutan anda ketika anda masih ingusan dulu, masih kesalkah anda padanya?

Namun, mungkin masih sangat banyak orang yang belum dapat memanfaatkan situs ini secara optimal untuk mendukung kerja dan kinerja mereka masing-masing. Facebook malah menjadi pelarian mereka dari beban kerja dan beban hidup. Facebook menjadi taman hiburan di mana setiap orang dapat bertemu, bertegur sapa, saling memamerkan kelebihan dan kesuksesan masing-masing. Facebook sudah menjadi sirkus virtual dengan segala macam arena permainan. Anda ingin bermain tembak-tembakan? Facebook menyediakannya. Anda ingin berpura-pura menjadi mafia? Facebook bisa memfasilitasi.

Memang selalu ada konsekuensi. Sekali anda kecanduan bertempat di facebook, aliran informasi ke piranti komputer anda akan terhambat. Kata orang-orang cerdas, itu yang disebut bandwidth. Ibarat manusia, bandwidth itu adalah pembuluh darah yang mengalirkan oksigen ke otak komputer. Nah, keberadaan facebook itu seperti kolesterol yang mempersempit pembuluh darah sehingga aliran tersebut menjadi terhambat. Akibatnya, komputer menjadi lambat dalam berpikir bahkan mungkin saja mengalami serangan stroke yang membuat komputer tidak dapat melakukan apa-apa.

Saya tidak bermaksud menyalahkan atau menyerang orang yang mengakses facebook dengan fasilitas umum. Itu hak mereka, tapi saya tidak mendapatkan kenyamanan maksimal dari situs semacam itu. Jika ada pihak lain yang dirugikan dengan kegiatan semacam itu, maka itu adalah konsekuensi logis. Seperti ketika kita melihat data korban kecelakaan lalu lintas. Jumlah korban semakin banyak seiring dengan kemajuan dunia otomotif yang menghadirkan kendaraan sangat cepat dan supercepat. Saya yakin jumlah korban jiwa akibat tabrak lari ketika orang masih menggunakan kereta kuda tidak terlalu signifikan. Bahkan, dalam sebuah peperangan teknologi justru menghadirkan jumlah korban jiwa yang lebih banyak. Ketika peperangan masih menggunakan sarana seperti tombak dan panah, jumlah korban relatif sedikit. Ketika bahan peledak digunakan, jumlah kematian semakin banyak. Terlebih lagi ketika era nuklir dan bom curah seperti yang digunakan di Palestina.

Begitu kira-kira konsekuensi negatif dari penerapan teknologi. Mungkin yang perlu dilakukan adalah membuat suatu regulasi yang mengikat mereka saat mengakses teknologi. Kalau tidak salah, penggunaan nuklir pun sudah ada pembatasannya. Itu dimaksudkan untuk mengurangi kerugian bagi orang lain yang tidak terlibat langsung. Pun begitu pula dengan teknologi informasi. Pasti ada kerugian yang dialami orang lain selama penggunaan teknologi informasi tidak lakukan secara bertanggung jawab.

Jika seseorang memiliki komitmen yang kuat dalam bekerja, maka saya yakin yang bersangkutan tidak akan terdistorsi dengan keberadaan facebook. Semua yang kita lakukan berawal dari niat. Jika kita niat datang ke kantor untuk bekerja, maka kita secara tidak sadar telah menentukan target sasaran. Pada akhir hari, kita bisa mengukur keberhasilan kita mencapai target yang telah kita tentukan. Kalau tidak tercapai, apa masalahnya dan apa pula solusinya. Untuk itu, terkadang orang dibantu dengan sebuah buku agenda kerja. Sering kali buku agenda tersebut lebih dari satu.

Sering kali kita berangkat dari rumah menuju kantor tanpa niat yang bulat. Kita hanya berangkat karena memang itulah rutinitas yang harus kita kerjakan setiap hari. Masalah apa yang akan kita kerjakan kemudian, itu urusan belakangan. Sehingga kita kesulitan menentukan target kita dan mengukur keberhasilan kita.

Selain itu, terkadang kita terlalu permisif dan apologetik pada diri kita. Tatkala kita tidak dapat mencapai target individu, kita dapat dengan mudah memaafkan diri kita. Toh, besok masih bisa dilanjutkan. Itu alasan kita. Selain itu juga kita cepat mencari alasan pembenaran. Saya pikir tidak ada salahnya jika saya bersantai sejenak karena itu adalah hak saya setelah bekerja keras. Begitu alasan kita. Padahal, hal tersebut menunjukkan tidak kuatnya niat kita bekerja.

Lupakan masalah konsentrasi. Bohong kalau ada yang bilang kalau orang tidak bisa fokus bekerja sementara mengakses facebook. Tidak ada masalah jika kita tetap membiarkan situs itu terbuka selama kita mengerjakan tugas yang lain. Pada saat saya membuat tulisan ini pun, saya tengah berada dalam rapat untuk menentukan masa depan organisasi kantor. Saya akui memang saya tidak fokus 100 persen pada rapat ini. Tapi, saya menyangkal jika saya tidak mengikuti rapat ini dan saya tidak menangkap poin-poin penting yang dihasilkan.

Tutuplah akses facebook, hapuskan friendster selamanya. Itu hanya menyelamatkan bandwidth di kantor anda. Saya tetap agnostik dengan peningkatan kinerja pegawai anda serta anda sendiri seiring dengan penghalangan akses tersebut. Selama setiap dari kita tidak memiliki komitmen dan integritas yang kuat, tidak akan ada peningkatan hasil kerja dan kinerja.
4 Maret 2009

BERPIKIR POSITIF

Pernah denger lagu yang liriknya seperti ini....

You know I feel glad when you’re glad
I feel sad when you’re sad

Pastinya pernah dong, bahkan mungkin sebagian dari anda mulai menggumamkan lagu itu atau setidaknya di otak anda ada melodi yang mengalun. Judulnya ‘Can’t smile without you’ tapi saya lupa siapa yang nyanyi karena waktu dia nyanyi pertama kali, saya belum lahir. Kalaupun sudah, salah penyanyinya kenapa ndak kasih tau saya. Gak apalah karena bukan siapa yang menyanyi tapi apa yang dinyanyikan.

Memang melodinya cukup catchy, liriknya pun romantis; tapi berapa orang dari kita yang bisa melakukan apa yang tertuang dalam bait itu? Jujur aja, kalo kita tidak sedang jatuh cinta sama seseorang pasti sangat sulit melakukannya. Merasa senang ketika orang senang dan sedih kalo melihat orang sedih. Apalagi kalo yang sedih itu rival kita atau orang yang kita benci. Pasti kita senang sekali melihat dirinya sedih dan kita merasa senang ketika dia merasa sebaliknya.

Ternyata berpikir positif sangat susah sekali. Kalaupun bisa, lebih sulit lagi untuk tetap konsisten bertindak begitu. Selalu ada rasa cemburu dan iri dalam diri kita. Saya pun begitu. Berulang kali saya selalu menekankan pada diri saya untuk selalu berpikir positif. Tapi tidak selalu berhasil. Rasa iri sebenernya bagus untuk memacu diri kita supaya lebih baik lagi. Tidak stagnan pada kondisi yang sudah kita capai. Akan tetapi harus pada takaran yang tepat, karena kalo berlebih yang ada kita selalu memandang negatif pada orang lain.

Pun begitu, saya kembali diingatkan oleh orang lain soal hal satu ini. Ketika saya berhadapan dengan Bapak Noor Sidharta yang notabene adalah seorang kepala Biro. Saya menghadap beliau berkaitan dengan upaya saya meningkatkan kualitas diri melalui beasiswa yang ditawarkan negara tetangga. Dia bilang bahwa dia tau kalo keberadaan dia sebagai seorang kepala biro yang baru pasti mendapat banyak cibiran. Terutama karena dia masih tergolong muda dan ganteng, terlebih karena dia berasal dari instansi lain. Bagusnya dia juga bilang kalo dia gak peduli dengan apa yang dia istilahkan sebagai “omongan pasar”

Memang begitulah adanya orang di republik ini. Kalo ada orang yang berhasil, kita cenderung ambil jalan pintas untuk berpikir negatif. Pasti ada apa-apanya... padahal bapak itu apa-apanya ada. Mungkin itu ciri bangsa yang udah kelamaan dijajah. Pemikiran pun jadi feodal begitu untuk menghaluskan kata kuno. Seharusnya kalo ada orang yang berhasil, kita berupaya jadi orang pertama yang mengucapkan selamat. Beri jabat tangan bukan cibiran. Itu baru tanda seorang yang gentleman buat laki-laki. Kalo perempuan ya berarti tanda seorang lady.

Saya juga jadi ingat waktu saya dalam perjalanan ke daerah selatan Jakarta untuk suatu tugas. Pada waktu berkendara, seorang teman yang turut serta melihat ada rumah yang bertembok tinggi. Dia bilang “kalo ada pesta bugil dibalik tembok itu pasti gak ada orang yang tau!” sebuah ide yang vulgar apalagi ada seorang atasan di dalam kendaraan yang sama dengan kami berdua. Tapi dia bilang “apa salahnya? Kenapa kita harus berpikir negatif misalnya kalo ada perampokan, pasti gak ada orang yang tau?” benar juga.

Itu mungkin jadi stereotipe pemikiran lain dari aliran post-kolonialisme. Well, artinya sih sama aja dengan mantan daerah jajahan. Sifat yang berkembang jadi paranoid bukan berpikir maju. Ketimbang berpikir How, sebagian besar dari kita masih berpikir How come? Maksudnya kita tidak berpikir bagaimana caranya seorang bisa maju, tapi kita malah berpikir bagaimana bisa dia maju. Kalo ada berita Cina sudah berhasil menggunakan kereta yang bisa menempuh jarak 1.300 km dalam waktu 4 jam saja. Kita cenderung menggunakan eksepsi sebagai pembenaran. Terang aja mereka bisa, mereka kan orangnya rajin. Kenapa kita gak berpikir bagaimana caranya negara kita bisa seperti itu.

Jadi sodara-sodari, mari kita nyanyi bersama lirik di atas dan coba untuk menerapkan dalam kehidupan kita. Tolong jangan diubah itu lirik menjadi.....

You know I feel sad when you’re glad
I feel glad when you’re sad

Surat Terbuka

Jakarta, 23 Juni 2009

Kepada Yth.
Bapak dan Ibu Sekalian
Di Tempat Masing-Masing

Ijinkanlah saya memperkenalkan diri saya kepada Bapak dan Ibu Sekalian. Nama saya Yogi, Bapak dan Ibu. Lengkapnya adalah Yogi Djatnika. Mungkin di antara Bapak dan Ibu sekalian ada yang telah mengenal saya sebelumnya. Baik itu mengenal fisik di dunia nyata, maupun mengenal secara non-fisik melalui dunia maya. Yang saya maksud bukanlah Neng Maya yang tinggal di ujung jalan, atau Ibu Maya yang bekerja di pemerintahan. Yang saya maksud adalah dengan dunia maya adalah dunia internet, atau bahkan dunia Ide seperti yang pernah diungkapkan Eyang Plato berabad yang lalu. Tidak perlulah kiranya saya menceritakan siapa Eyang Plato dan silsilah keluarganya. Toh, anda tidak akan bisa bertemu lagi dengannya. Kalaupun ada Bapak atau Ibu yang berkenan mengetahui lebih lanjut, Bapak dan Ibu bisa mencari informasinya di Internet. Tapi tolong jangan tanya saya, karena saya sendiri pun tidak mengenalnya karena dia tidak pernah mengenal saya.

Saya bahkan yakin kalau banyak juga di antara Bapak dan Ibu yang mengenal saya dengan sangat baik. Tidak tertutup kemungkinan ada Bapak atau Ibu yang sudah hapal dengan kebiasaan saya, jam berapa saya bangun siang (saya susah sekali bangun pagi, Bapak dan Ibu!), apa yang saya makan setiap hari, atau lebih jauh lagi, kapan saya buang air dan buang gas. Untuk itu saya mengucapkan banyak sekali terima kasih karena sudi menyempatkan diri mengenal saya. Saya paham sekali, Bapak dan Ibu sekalian, bahwa saya bukanlah artis top ibukota apalagi ibu tiri. Tapi itu bukan salah saya dan sungguh bukan kemauan saya kalau saya jadi terkenal seperti sekarang ini. Takdir telah memilih saya untuk menjadi seperti ini.

Meskipun begitu, Bapak dan Ibu sekalian, saya perlu mengemukakan bahwa sebenarnya Bapak dan Ibu sekalian tidak atau belum mengenal saya dengan baik. Saya pun sering bertanya, siapakah saya ini? Apakah seorang Kapiten? Apakah Si gembala sapi? Ataukah hanya seorang lelaki? Bapak dan Ibu tidak perlu merasa bersalah karena tidak mengenal saya dengan baik. Tidak perlu Bapak dan Ibu menangis tersedu hanya karena masalah ini.

Pada dasarnya manusia itu selalu berubah setiap hari, Bapak dan Ibu. Selalu ada yang berbeda setiap hari. Rambut saya hari ini tidak sama panjang dengan kemarin. Baju saya hari ini pun akan berbeda dengan esok hari meski dengan jenis yang sama, warna yang sama, merk yang sama. Jadi meskipun Bapak dan Ibu melihat saya seolah menggunakan baju yang sama, itu sebenarnya tidak sama. Kalau pun saya menggunakan baju kemarin untuk hari ini, warnanya tidak sama karena pengaruh pergaulan dan keringat. Begitu pula dengan baunya.

Begitu juga dengan pemikiran saya. Selalu berubah setiap hari. Ada kalanya saya memikirkan hal yang serius walaupun kebanyakan pikiran saya tidak pernah serius. Adakalanya saya memikirkan hal yang berbau porno, tapi ada saat dimana saya memikirkan hubungan antara manusia dan Sang Pencipta. Mohon maaf, tapi saya tidak pernah berpikir sedikit pun untuk menjadi anak Shaleh, karena orang tua saya tidak ada yang bernama Shaleh. Cukuplah saya menjadi anak Supriyatna, bapak saya. Mungkin dapat disebut sebagai STMJ atau Serius Tetap, Melucu Juga.

Berkenaan dengan hal tersebut, Bapak dan Ibu sekalian, perlu saya sampaikan bahwa terkadang saya dapat melukai hati dan perasaan orang melalui perkataan saya secara lisan ataupun tulisan. Sekali lagi saya minta maaf atas akibat yang dimunculkan timbul, maksud saya akibat yang ditimbulkan muncul, atau apalah. Saya juga mohon maaf jika sering membuat Bapak dan Ibu sekalian tersenyum-senyum, bahkan tertawa terkentut-kentut. Saya sungguh tidak menginginkan hal itu terjadi, tapi saya tidak dapat melarang Bapak dan Ibu untuk tersenyum atau tertawa selama Bapak dan Ibu menggunakan mulut sendiri dan bukan mulut orang lain.

Mengapa saya merasa perlu membuat surat terbuka ini? Pastinya Bapak dan Ibu sekalian tidak tahu. Biarlah saya beri tai, maksud saya, beri tau. Maaf itu tadi salah ketik. Saya menyadari bahwa belakangan ini mengeluarkan pendapat di ruang publik tidak lagi sebebas dulu. Mengungkapkan pendapat atau perasaan di muka umum, dulu bisa dianggap seperti kentut. Ada bunyi dan disusul bau yang tidak sedap, tapi tidak lama kemudian menghilang. Bahkan, kalau itu menyangkut politik atau pejabat, tulisan dan pendapat saya masih ada. Justru saya yang akan hilang sebelum ditemukan dalam kantong plastik hitam.

Berbagai peraturan kini telah diterbitkan untuk mengatur apa yang boleh dan tidak dikemukakan di ruang publik. Ada Undang-Undang Pers, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Penyiaran dan sebagainya. Semua itu, katanya (entah kata siapa) bertujuan untuk melindungi masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat, sudah sewajarnya jika saya merasa harus mempercayai tujuan tersebut. Meskipun sebenarnya, saya lebih mempercayai Tuhan daripada mereka (entah siapa mereka itu).

Baru-baru ini mungkin Bapak dan Ibu mendengar atau membaca atau menonton atau apalah bahwa pendapat seseorang dapat berganjar hukuman pidana. Saya tidak perlu menyebutkan masalah tersebut supaya Bapak dan Ibu penasaran. Pendapat seseorang dapat dianggap mencemari nama baik orang lain. Tidak usah pula kita membahas apakah orang yang dimaksud tadi memang masih memiliki nama baik atau tidak. Dengan berpikir positif, saya merasa bahwa nama setiap orang itu baik; kecuali Okan Buruk, seorang pesepak bola dari Turki yang nama belakangnya memang Buruk.

Berkaca dari kejadian-kejadian tersebut, melalui surat ini saya memohon maaf atas perkataan saya baik lisan maupun tulisan, baik yang lalu ataupun yang sekarang dan masa depan. Saya hanya berusaha jujur mengungkapkan perasaan dan pikiran saya. Janganlah nila setitik dari perkataan saya merusak susu sebelahnya. Janganlah anda menuntut saya dengan alasan perkataan saya mencemari nama baik Bapak dan Ibu sekalian. Percayalah, saya tidak bermaksud untuk itu. Kalaupun Bapak dan Ibu melakukan hal yang sama, saya sudah maafkan sebelum Bapak dan Ibu melakukannya. Tapi tolong jangan diulangi lagi.

Demikianlah surat terbuka ini saya buat dengan sejujur-jujurnya secara sehat jasmani, entah rohani, dan tanpa paksaan dari pihak lain selain hati saya.

Atas perhatian dan kesediaan Bapak dan Ibu sekalian membaca surat ini, saya ucapkan terima kasih. Kepada Bapak dan Ibu sekalian yang tidak membaca surat ini, saya tidak mengucapkan terima kasih.

Hormat Saya,

Ttd

Yogi Djatnika

LUNCH...NOT BREAKFAST...AT TIFFANY’S


Hari ini sungguh luar biasa, aku ada janji makan siang dengan seorang wanita. Dia bukan istriku, dan justru itu yang membuat acara ini lebih menarik. Wanita itu adalah seorang yang kukenal di masa lalu. Entah sudah berapa lama kami tidak bertemu, sampai pada akhirnya kami punya kesempatan untuk berbincang dan memutuskan untuk bertemu, walau hanya sekadar untuk makan siang. Kenapa saya menerima ajakan itu? Well, saya cuma ingin tahu bagaimana keadaan dia sekarang. Tentunya apakah dia masih secantik yang aku kenal dulu.

Kami berjanji untuk bertemu di sebuah mall yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Saya tahu lokasinya, tapi memang pada dasarnya saya tidak terlalu akrab dengan mall. Bisa dihitung berapa banyak mall yang pernah merasakan injakan kaki saya. Tidak banyak. Lagi pula, paling hanya toko buku yang sering saya kunjungi. Buat saya, mall adalah perwujudan dari tekanan dari kapitalisme global yang berusaha memasyarakatkan paham konsumerisme. Saya hanya becanda, itu cuma cara untuk menutupi fakta bahwa saya tidak punya uang.

Anyway, pada saat yang telah disepakati, saya tiba di mall tersebut. Setelah memarkir mobil, saya lalu masuk ke dalam mall tersebut. Ternyata beginilah mall sekarang, tidak jauh berbeda dengan kunjungan terakhir saya ke tempat sejenis itu. Masih terdapat banyak orang berjualan. Ya iya lah... karena mall memang tidak beda dengan pasar. Saya berjalan berkeliling melihat-lihat sambil mencari teman saya. Saya berusaha keras untuk menutupi keluguan dan kecanggungan saya.

Tidak begitu lama, saya dapat menemukan teman saya tersebut. Dia masih tetap secantik dulu, Cuma kini rambutnya agak lebih panjang ketimbang waktu kami bertemu sebelumnya. Bahkan, menurut saya rambutnya yang sebahu lewat sedikit itu justru menambah keanggunan dirinya. Pada hari itu dia tidak menggunakan pakaian kerja. Menurutnya, tidak nyaman menggunakan pakaian kerja untuk berjalan-jalan. Okelah, karena toh dia sudah bebas tugas, sementara saya baru akan bertugas sepulangnya saya dari makan siang.

Kami segera mencari tempat makan. Setelah memesan makanan, kami berbincang kecil mengenai apa yang terjadi dengan diri masing-masing. Dia menceritakan tentang dirinya dan begitu juga dengan saya. Ah, senyum manis itu tidak pernah lepas dari wajahnya. Sungguh menarik sekali acara makan siang kali ini. Makanan yang istimewa, dengan orang yang istimewa, plus senyum yang istimewa. Waktu seakan begitu cepat berlalu, tiba-tiba makanan kami telah habis. Perasaan makanan itu tidak berasa masuk ke mulut, saya hanya merasa kenyang.

Akhirnya karena malu berlama-lama di tempat makan tersebut, kami memutuskan untuk berjalan-jalan sebelum pulang. Lagi pula, dia hendak mencari sesuatu untuk anaknya. Saat itu baru saya tahu bahwa rencananya setelah ini adalah pulang ke rumah. Saya putuskan untuk mengantarnya pulang, toh dia tinggal tidak terlalu jauh dari mall tersebut. Tidak apalah sekali tempo sampai ke kantor telat. Ternyata, saya pernah mengunjungi daerah tempat dirinya tinggal. Entah kapan, tapi saya merasa akrab dengan lokasi itu. Sepanjang perjalanan, kami ngobrol dengan akrab. Memang itulah daya tarik dirinya. Dia mudah sekali akrab dengan orang lain, dan dia adalah orang yang menyenangkan untuk diajak berbincang-bincang baik sesuatu yang serius atau santai. Mau yang serius atau santai, dia tidak menolaknya.

Dia menawarkan untuk mampir ketika kami tiba di rumahnya. Namun karena keterbatasan waktu karena saya harus lanjut ke kantor, selain karena takut suaminya marah, saya menolaknya. Sebenarnya saya bingung bagaimana caranya saya bisa kembali ke kantor. Saya tidak terlalu hapal rute perjalanan, tapi sudahlah. Selama masih menggunakan Bahasa Indonesia, saya bisa bertanya sama orang kalau saya tersesat. Akhirnya, saya berhasil mencapai jalan tol yang menghubungkan daerah tersebut dengan pusat ibukota.

Hari yang panas, tidak terlalu saya pikirkan. Saya sedang senang hari ini. Ternyata, hari itu jalan sangat macet. Tidak hanya di satu lokasi, tapi rasa-rasanya kemacetan terjadi di mana-mana. Saya heran, mau kemana orang-orang itu? Bukankah seharusnya mereka bekerja di kantor mereka di pusat kota? Kalau pun macet, itu seharusnya terjadi pada arah yang menuju ke pinggiran kota. Itu seharusnya berlawanan dengan arah tujuan saya ke pusat kota. Saya berusaha sabar dan menikmati kemacetan. Saya berusaha hanya memikirkan bahwa hari ini saya sedang gembira. Tapi kemacetan ini sudah hampir dua jam lamanya, dan tidak ada tanda akan segera terurai. Saya merasa sangat haus, tenggorokan ini rasanya sangat kering sekali. Biasanya, saya membawa sebotol besar air mineral dalam mobil saya. Tapi sayang sekali, saya hanya mendapati botol kosong yang berisi setetes atau dua.

Haduh, saya menjadi tidak sabar. Ingin rasanya saya segera tiba di kantor yang dingin, minum yang dingin. Mulut saya terasa kering, bibir juga rasanya mulai kering. Yang lebih terasa adalah tenggorokan. Panas, kering, dan agak serak rasanya. Dari belakang, saya mendengar bunyi bising suara....bukan...itu bukan bunyi klakson mobil yang berada dalam kemacetan yang sama. Saya tajamkan pendengaran...rasa-rasanya saya kenal bunyi itu...oh, itu bunyi suara alarm dari handphone saya.

Saya segera terbangun. Sial, ternyata itu hanya mimpi. Saya terbangun dengan tenggorokan kering, ternyata saya tidur dengan mulut terbuka semalaman. Lumayan juga sih sensasinya....

DUNIA BUKAN HUTAN BELANTARA

Seorang teman hari ini menceritakan berita baik pada saya. Sebenarnya itu juga masih belum dapat disebut berita karena kebenarannya masih simpang siur, bahkan ada kemungkinan berita itu tidak terjadi. Tapi tetap saya memandang hal itu adalah satu hal yang baik. Dia mengatakan bahwa ada rumor bahwa dirinya akan diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Jerman. Atasannya merekomendasikan namanya ketika tersebut bertemu dengan delegasi sebuah lembaga dari negara tersebut. Biarpun begitu, teman saya ini merasa hal ini masih merupakan suatu kenisbian. Karena sangat mungkin ada pihak yang tidak senang dengan keberhasilan dirinya, sekiranya terjadi, dan mengupayakan berbagai cara agar dia tidak mendapat apa yang dia inginkan.

Di satu sisi, memang dia merasa bahagia dengan rumor ini. Melanjutkan pendidikannya-terlebih di luar negeri-memang menjadi salah satu impian yang dia miliki. Akan tetapi, di sisi berseberangan, kebahagiannya itu terasa tidak bulat. Ada banyak kegalauan yang menyelimuti hati dan pikirannya. Selain masalah ketidakpastian akan kebenaran apakah rumor itu akan menjadi kenyataan seperti saya sebut di atas, dia juga merasa ada kendala bahasa. Yang terakhir ini seakan menjadi tembok besar yang menghalangi dia dan impiannya. “Bagaimana saya bisa memahami kuliah? Saya tidak bisa berbahasa Jerman sama sekali,” kira-kira begitulah yang dikatakannya.

Memang ada lembaga bahasa seperti Goethe Institut yang menyediakan kursus Bahasa Jerman, dan instansi yang akan memberi beasiswa kepadanya pasti merekomendasikan lembaga tersebut. Namun, dia mengatakan biaya untuk kursus tersebut tidak murah. Dia tidak mau mengeluarkan uang begitu besar untuk suatu yang tidak pasti. Bukan dia pelit, tapi masih banyak keperluan yang lebih penting dari sekedar kursus bahasa. Mungkin dia juga terimbas krisis ekonomi global. Akan tetapi, dia juga merasa perlu menyiapkan diri sebaik mungkin seandainya benar berita itu menjadi nyata. Dia tidak ingin pergi berperang tanpa membawa senjata.

Ini adalah masalah klasik. Saya yakin banyak sekali orang yang berpikir sama dengan teman saya tadi. Banyak yang terjebak dalam dilema psikologis semacam itu. Merasa tidak memiliki kemampuan yang cukup bahkan hanya untuk sekadar bertahan hidup. Sangat tidak menyenangkan memang menunggu dalam ketidakpastian. Bagaimana kita harus menyiapkan diri untuk sesuatu yang masih berada di awang-awang?

Kita terlalu banyak menghabiskan waktu dan perhatian kita untuk menyemai dan menumbuhkan benih ketakutan dalam diri kita. Kita terlalu sibuk memikirkan kemana kita akan melangkah, sampai kita lupa bahwa yang seharusnya kita lakukan adalah melangkah. Inilah yang terjadi dengan teman saya. Dia begitu sibuk memikirkan apa yang harus dilakukan seandainya berita itu benar mendatanginya, persiapan apa yang harus dilakukan, apakah dia akan bisa bertahan hidup selama sekitar dua tahun dalam menempuh pendidikan. Dia juga sibuk berandai-andai jika berita itu tidak benar-benar terjadi. Dia merasa rugi telah mengorbankan sesuatu yang sangat berharga dalam upaya menyiapkan diri untuk sesuatu yang tidak terjadi.

Saya yakinkan kepadanya bahwa yang paling penting adalah membenahi sikap mental terlebih dahulu. Itu merupakan persiapan yang sangat vital dalam upaya bertahan hidup. Dalam kasus ini, teman saya lupa bahwa yang seharusnya dia lakukan pertama adalah memastikan kebenaran dari rumor tersebut. Sebab, semua yang akan dilakukannya kemudian berawal dari titik tolak ini. Jika pun dia merasa tidak akan berhasil mencari tahu kemungkinan terjadinya, itu tidak menjadikan langit runtuh. Menunggu dan memantau segala perkembangan juga sudah menjadi bagian dari langkah awal. Namun, sementara menunggu, dia masih bisa menyiapkan diri untuk hal yang terburuk. Bagaimana seandainya dia tidak jadi berangkat?

Sebenarnya dia tidak dirugikan dalam bentuk apapun jika impiannya harus tertunda. Dia tetap harus bekerja seperti biasa, menerima gaji dalam jumlah biasa, menjalani rutinitas hidup sebagaimana layaknya. Tidak ada yang berubah. Mungkin memang belum rezeki dia, akan tetapi hidup belum berakhir. Masih ada kesempatan lain.

Jika kita masih menjadi seorang manusia yang mempercayai akan adanya Tuhan, maka kita juga akan percaya bahwa Tuhan sudah merancang sebuah skenario untuk hidup kita. Tuhan tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya. Saya harus berterus terang kalau teman saya ini jauh lebih relijius dari pada saya. Dengan channel yang tidak begitu baik dalam berhubungan dengan Tuhan, saya masih diberi banyak sekali kemudahan dan semua hal positif. Mengapa dia harus takut? Antena televisi UHF atau VHF tentu kalah dengan parabola dalam menangkap gelombang yang dipancarkan. Saya menganalogikan diri saya seperti memasang antena UHF sementara teman saya itu sudah menggunakan antena parabola.

Tidak seharusnya kita menempatkan ketakutan atau kekhawatiran di antara kita dengan impian kita. Sebaliknya, yang harus kita semai adalah rasa percaya diri dan keyakinan ditambah dengan tekad kuat untuk berhasil. Ketika seorang prajurit hanya mikirkan kekalahan, maka Ia hanya akan memikirkan cara untuk bertahan bukan menyerang dan kita tidak akan bisa menang jika kita tidak menyerang. Dan jauh sebelum itu, Pastikan dulu bahwa perang itu ada! Bukan hanya sekedar katanya...katanya...

Begitu pula dengan kekhawatiran bahwa dia akan kesulitan hidup, termasuk dalam menjalani perkuliahan, di negara lain dengan bahasa yang asing dalam waktu yang cukup lama. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa dalam setiap diri manusia telah terdapat alat untuk bertahan hidup (survival kit). Dan sebenarnya sejak lahir kita juga sudah mengembangkan mekanisme untuk bertahan hidup dalam kondisi bagaimanapun. Ingat bagaimana kita menyampaikan pesan kalau kita haus atau lapar ketika kita masih bayi dan belum bisa berbicara? Bagaimana kita menyampaikan kalau kita merasa gerah? Atau popok sudah waktunya diganti? Jawaban atas semua itu hanya menangis. Sedikit sekali orang yang tahu arti dari tangis bayi dan apakah ada perbedaan tangis dalam menyampaikan pesan tersebut. Tetap saja kita mendapatkan apa yang kita mau.

Jangan pernah membayangkan kalau kita berada di negeri orang dengan bahasa dan budaya yang berbeda seperti berada di hutan rimba belantara seorang diri. Ada sebuah bahasa universal yang dimengerti oleh orang di belahan dunia manapun, yaitu bahasa kalbu. Kalaupun orang Jerman tidak mengerti Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, kita masih dapat menggunakan bahasa tubuh seperti raut muka, gerakan tangan, bahkan sorot mata untuk menghantarkan pesan yang ingin kita sampaikan.

Saya telah membuktikannya ketika saya pertama kali pergi ke luar negeri. Dengan pemahaman yang hampir nihil tentang kultur dan sifat orang di Turki, saya berangkat dengan niat yang baik dan nekad. Pada akhirnya, saya dapat bertahan hidup dan dapat berkomunikasi dengan orang-orang di sana. Bahkan, saya hingga kini memiliki teman yang masih saling bertukar kabar.

Selain itu juga saya selalu teringat ucapan ayah saya dan mantan murid-murid saya yang kini menjadi atasan saya. Ayah saya pernah bercerita tentang seorang temannya pergi ke Belanda. Ternyata, di suatu tempat temannya tersebut bertemu dengan rekan sekantornya pula. Bayangkan, bahkan di suatu negara yang jauhnya ribuan kilometer dan dengan wilayah yang sangat luas, temannya masih bertemu dengan orang sebangsa dan senegara dengannya.

Pun begitu dengan mantan murid saya. Suatu ketika mereka menceritakan bahwa ketika mereka di Amerika Serikat mereka bahkan tinggal di satu apartemen dengan sesama orang Jawa, meskipun mereka tidak berangkat secara bersamaan. Mereka berkelakar bahwa sekembalinya mereka dari AS, Bahasa Inggris mereka tidak menjadi lebih baik, namun Bahasa Jawa mereka mengalami peningkatan yang sangat pesat.

Saya percaya itu juga akan terjadi dengan teman saya jika memang Ia jadi berangkat. Dunia kini sudah menjadi perkampungan besar. Sangat besar kemungkinan kita bertemu rekan se-tanah air di negara lain. Kita tidak akan pernah benar-benar sendiri. Akan selalu ada orang lain yang siap membantu kita, jika kita memang memiliki niat yang baik dan selalu berpikir positif. Jadi apa yang harus ditakutkan?