Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

SUDAHLAH

Sudahlah jangan kau ucapkan
Nama Tuhanmu secara sia-sia
Jika kau tidak tulus dari hati
Dan kau tetap berlaku durjana


Sudahlah jangan kau mengaku suci
Dan sibuk urus akhlak orang lain
Pikirkan saja kapan kau mati
Atau urusan dirimu yang lain


Sudahlah jangan merasa mangabdi
Dan meminta orang berlaku sama
Jika kau meminta orang mencium kaki
Sementara kau berdiri pongah jumawa


Sudahlah tak perlu kau ceritakan
Semua yang telah kau lakukan
Hanya untuk dibilang hebat
Dan menjadikanmu semakin kuat


Sudahlah aku lelah berkata-kata
Tentang apa yang telah kau lakukan
Jadi lebih baik kuhentikan saja
Biar tak seperti yang kau kerjakan

SEBUAH PAKET UNTUK ANAKKU



Hari itu anakku Qonita mendapat sebuah hadiah yang berwujud paket. Sebenarnya sih saya yang mendapat itu paket. Kan itu paket memang dikirimkan ke saya. Lagipula paket itu di kirimkan ke kantor saya, tempat saya bekerja. Anak saya sih belum kerja. Sekolah pun dia baru akan mulainya beberapa tahun lagi. Tapi ya sudahlah tak perlu kita bahas banyak-banyak. 


Paket itu di kirim secara jauh, dari negara Turki. Ah itu sudah pasti dikirim oleh Jeng Nurdan dan Kakang Kadir. Tadinya saya sudah hampir berbangga karena saya menerima sebuah paket untuk diri saya, ternyata itu untuk anak saya. Ternyata mereka lebih peduli dengan anak saya. Yah wajarlah, karena memang anak saya lebih lucu, imut, menggemaskan. Sementara saya hanya lucu dan menggemaskan saja.


Untuk siapa pun itu, saya tetap bangga karena saya mendapat sebuah paket dari negara yang jauh. Dan dari orang-orang yang bahkan tidak bertautan darah dengan saya. Orang-orang yang baru mengenal saya dalam kurun waktu yang amat singkat. Jarang sekali orang yang beruntung mengalami hal semacam ini. Terlebih lagi di kantor saya. Atau mungkin saya saja yang tidak mengetahui bahwa sebenarnya banyak juga yang pernah mengalami kejadian seperti ini? Entahlah, saya tidak mau ambil pusing. Toh yang lain juga tidak mau ambil pusing dengan saya.  


Saya tidak ingin mengaitkan hal ini dengan gratifikasi karena sudah pasti ini tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas saya.  Bahkan, hal ini malah membuat saya berpikir. Apa yang membuat saya mengalami kejadian seperti ini. Apa yang membuat mereka terngiang-ngiang dengan anak saya sehingga mereka mengirimkan paket sebagai hadiah ulang tahun untuk anak saya.


Saya sempat berpikir, ini memang rejeki anak saya. Dia memang anak yang sangat beruntung dan membawa keberuntungan. Saya jadi teringat proses kelahirannya dua tahun lalu. Pada saat itu, dia harua dilahirkan melalui sebuah proses operasi. Dan pada saat yang sama tersebut, saya baru saja merintis karir di kantor ini. Tanpa tabungan yang memadai, kenapa dia harus dilahirkan melalui proses yang berbiaya mahal?


Tapi memang Tuhan Maha Pemurah dan Penyayang. Entah bagaimana, ibunya dirujuk ke sebuah rumah sakit yang bahkan banyak orang tidak tahu bahwa rumah sakit itu ada. Walhasil, operasi tersebut hanya membutuhkan setengah dari biaya yang harus dikeluarkan di rumah sakit besar. Toh, dengan biaya rendah tersebut, pelayanan dan perawatan yang diberikan sudah memenuhi standar. Yang ditiadakan hanya faktor kemewahan dan sedikit kenyamanan lebih. 


Tapi kita bicara soal rumah sakit di sini. Rumah sakit memang sudah semestinya tidak terlalu mengumbar kemewahan. Cukuplah jika si pasien merasa nyaman dan tidak melulu memikirkan penyakitnya. Jika sebuah rumah sakit begitu mewah, saya malah khawatir pasiennya kehilangan niat untuk sembuh. Atau mungkin, jika pun rumah sakit itu mewah, pasien tidak akan mau berlama-lama karena jika mereka akan dibunuh perlahan dengan. biaya perobatan yang teramat mahal. 


Nah, kembalilah kita ke topik awal. Meskipun hanya membutuhkan biaya yang relatif rendah, angka nominal yang dibutuhkan pada waktu itu madih di luar jangkauan saya. Sempat pula saya merasa khawatir bagaimana saya dapat membayarnya. Untunglah orang tua saya masih berbaik hati meminjamkan saya sejumlah uang yang dibutuhkan. 


Kekhawatiran saya tidak hanya berhenti sampai di situ. Saya masih bingung bagaimana saya dapat melunasi pinjaman tersebut. Tapi sekali lagi Tuhan membukakan jalan. Secara tidak terduga, saya mendapat sejumlah besar uang yang dapat melunasi pinjaman tersebut. Masih ada sisa pula. Saya percaya bahwa ini adalah rejeki yang dibawa serta anak saya dengan kelahirannya.


Dengan mengingat peristiwa tersebut, saya selalu menganggap anak saya adalah seseorang yang rejekinya bagus. Begitu pula dengan masalah paket tadi, saya menganggap itu bagian dari rejeki yang dibawanya pula. Si pengirim bahkan baru bertemu anak saya satu kali dan itu pun dalam waktu satu hari saja. Namun nampaknya hal tersebut sudah cukup berkesan baginya. Sehingga dia tetap ingat dan tergerak untuk menghadiahi anak saya. 


Namun, istri saya sedikit tidak sependapat dengan hal tersebut. Menurutnya, selain karena faktor anak saya, hal itu juga tidak terlepas dari bagaimana saya berhubungan dengan si pengirim paket tersebut. Entahlah, kalau saya mengiyakan hal tersebut, saya khawatir akan menjadi sombong. Tapi kalau saya menyangkalnya pun saya akan terlihat lebih sombong lagi. Serba salah memang. 


Saya memang berhubungan baik dengan mereka. Dalam kunjungan kerja mereka ke negara ini, saya memang berusaha melayani mereka dengan baik. Jika bicara dalam konteks pekerjaan, saya merasa memang sudah seharusnya saya melakukannya karena saya membawa kredibilitas institusi dan juga negara. Selain itu juga, saya merasa berutang budi karena saya diperlakukan dengan sangat baik ketika saya mengunjungi negara mereka. 


Mereka pula yang pada awalnya menganggap saya sebagai saudara jauh mereka. Sehingga ketika mereka berada di Indonesia, saya pun menganggap diri saya sedang menjamu saudara jauh saya yang sudah lama tidak bertemu. Hal itu menurut saya lebih mulia daripada sekadar menganggap diri saya sedang menjalankan tugas menjamu tamu negara. Hal itu pula yang membuat saya tidak mengharapkan imbalan apapun dari pihak mana pun. 


Saya masih ingat walaupun secara samar bagaimana pada akhirnya kami menasbihkan diri sebagai sebuah keluarga besar. Kami semua bersaudara meskipun kami baru saja bertemu. Bukankah pada hakikatnya semua manusia memang bersaudara? Tanpa bermaksud menyombongkan diri, apakah karena ketulusan semacam itu yang akhirnya membuat saya merasa beruntung bisa mendapatkan perlakuan seistimewa ini? Bisa jadi, setidaknya itulah pendapat istri saya.


Memang tanpa disadari, banyak orang yang menyatakan dirinya melakukan segala sesuatu secara tulus. Namun jika benar mereka tulus, mengapa mereka menginginkan imbalan? Mengapa mereka membutuhkan pengakuan dari orang lain atas apa yAng sudah mereka kerjakan? Mengapa pula ada yang kecewa jika sudah melakukan sesuatu namun orang lain yang mendapatkan pujian atas kerjaan tersebut?


Tulus ternyata memang sebuah ide yang mudah diucapkan akan tetapi sulit dilaksanakan. Sulit bagi kita melupakan hal baik yang sudah kita lakukan. Bagi saya, mengingat apa yang sudah saya lakukan hanya boleh saya lakukan dengan diri saya sendiri. Hal itu tidak lain hanya sebagai forum introspeksi dan retrospeksi. Jika saya melakukan suatu hal yang buruk, maka saya harus melakukan evaluasi sehingga saya tidal akan mengulanginya lagi. Pun jika saya telah melakukan hal yang baik, maka saya harus dapat mengulanginya lagi. 


Bagi saya, ada suatu kenikmatan setelah saya melakukan perbuatan yang baik. Namun kenikmatan itu tidak akan dapat dimengerti oleh orang lain. Jadi untuk apa saya menceritakan kepada orang lain? Lalu jika saya menikmati hal tersebut, untuk apa pula saya mengharapkan pujian dari orang lain. Biar hanya saya, diri saya dan Tuhan saja yang tahu.

KARTU DEBIT

Hari Jumat itu saya libur. Bukan karena saya begitu malas sehingga meliburkan diri, tapi memang sudah tertulis dalam guratan kalender dengan tinta merah. 


Itulah saya dan anak saya berjalan-jalan bersama orang tua saya, adik saya dan suaminya. Tepatnya berkendara-kendara. Soalnya kami hanya duduk dalam mobil dan biar mobil itu saja yang melaju. Barulah kami tiba di sana, sebuah tempat istimewa, kami berjalan kaki memasuki 
sebuah rumah makan. Karena tidaklah mungkin kami membawa mobil hingga masuk kesana. 


Setelah kami mendapatkan sebuah meja panjang beserta beberapa kursi yang cukup untuk kami semua duduk satu orang satu kursi tanpa harus berebutan.


Itulah kami beberapa saat kemudian. Setelah memesan beberapa porsi makanan dan tidak lupa minuman, kami pun menunggu hidangan tersebut tersaji. Sambil menunggu, saya mengajak anak saya melihat akuarium besar yang ada di sana. 


Oh, ternyata di dalamnya ada beberapa ekor ikan hiu mini lengkap dengan badan dan kepalanya. Ini patut saya sampaikan sehingga anda tidak berpikir ikan tersebut hanya ekornya saja. Tanpa badan, tanpa kepala, dan tanpa tulang belakang. Selain ikan hiu, ada banyak lagi jenis binatang laut di sana. Ada ikan bawal bakar bumbu kecap, ada ikan gurame goreng kering, cumi goreng tepung pun ada selain kepiting asem manis dan udang saos padang. 


Semua nampak berjalan baik-baik saja dengan penuh kewajaran. Nanti dulu, apakah menunggu dalam waktu yang cukup lama itu juga termasuk wajar? Bolehlah demikian. Karena kami, khususnya saya berpendapat bahwa sebuah restoran padat pengunjung wajar membuat kami menunggu agak lama. 


Dan pada akhirnya pun meja di hadapan kami pun penuh dengan hidangan yang menggugah selera. Saya pun dengan bangga menyilakan mereka untuk melahap semua makanan yang ada. Tentu saya sudah mewanti-wanti mereka untuk menyisakan sebahagian untuk saya. Semoga anda tidak bertanya mengapa saya yang menyilakan mereka untuk makan, dengan rasa bangga pula. Karena jika ada seorang dari anda yang bertanya, maka saya harus menjelaskan kalau saya adalah satu-satunya dari keluarga saya yang sudah pernah makan di restoran itu. 


Maka pula saya harus memberitahu anda kalau sayalah yang mengajak mereka semua pergi ke sana. Maka pula saya yang akan membayar biaya makan saat itu. Maka pula akhirnya anda akan menilai saya sebagai orang yang sombong. Jadi, demi menghindarkan saya dari perbuatan riya yang tidak disukai orang lain termasuk anda, sebaiknya kita jangan mempermasalahkan hal tersebut.


Lihat itu kami semua makan dengan lahapnya. Mereka terlihat sangat menikmatinya seakan mereka baru kali itu makan di restauran tersebut. Tapi kenyataannya memang itulah kali pertama buat semua orang kecuali saya dan anak saya si Qonita. Kami sudah pernah ke tempat tersebut sebelumnya karena kami mampu, baik secara fisik dan secara finansial. 


Di sepertiga makan terakhir, saya baru ingat kalau saya tidak membawa uang tunai. Tapi tidak masalah, toh masih bisa menggunakan kartu debit untuk membayar. Biar pun saya baru saja kehilangan satu kartu debit saya, toh saya masih bisa menggunakan kartu debit bank yang lain. Meskipun itu adalah kartu debit milik istri saya yang sedang merantau ke Australia, toh itu adalah uang bersama. 


Sekonyong-konyong, saya merasa ada yang salah. Tersadarlah saya kemudian. Kartu debit istri saya memang bisa saya pakai untuk mengambil uang tunai karena saya sudah menghapal kodenya. Akan tetapi, jika ingin menggunakannya untuk keperluan membayar maka saya membutuhkan tanda tangan istri saya. 


Terpaksalah saya harus meminta pertolongan adik saya untuk membayar dulu acara makan-makan tersebut. Saya berjanji akan menggantinya kemudian. Saya jadi teringat tagline sebuah iklan "Don't leave home without it". Bagi saya, slogan tersebut akan berbunyi, "Don't leave home without it, especially without your wife's signature".