Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

JODOH

Suatu ketika gue pernah berbincang dengan ibu anak gue tentang pernikahan dan kaitannya dengan jodoh. Menurut gue, kalo ada dua orang menikah belum tentu mereka adalah jodoh masing-masing. Isteri gue merasa tidak sependapat dengan gue. Dia berpendapat kalo orang menikah itu pasti karena jodoh. Dia menentang argumen gue, katanya dengan berpendapat seperti itu, maka akan mudah sekali orang bercerai hanya bermodal perkataan bahwa mereka tidak jodoh.

Seperti sudah sering disinggung dalam Islam, sejak dalam kandungan Allah telah menuliskan tiga rahasia besar mengenai rezeki, jodoh, dan usia. Menurut gue ketiga hal ini akan menjadi garis akhir setelah kita menjalani proses untuk mencapainya. Kita tidak akan pernah tau berapa lama kita ditugaskan hidup di dunia ini. Batas usia kita baru akan diketahui setelah ajal menjemput, itu juga orang lain yang tau bukan kita si pelaku.

Begitu juga dengan konsep rezeki bagi gue. Allah memang sudah memberi kita sejumlah rezeki. Akan tetapi, kita tetap harus berupaya mencarinya. Kita tidak pernah tau seberapa besar mata air rezeki kita. Tapi seberapa besar saluran pengeluarannya tergantung dari usaha kita menggalinya. Kalau kita hanya berdiam diri di kamar, menunggu Allah mengirimkan rezeki yang sudah menjadi jatah kita, kapan kita berhasil. Uang tidak jatuh begitu saja dari langit, coy! Jangan pula kita marah apalagi dendam pada Allah kalau kita bekerja lebih giat dari tetangga kita, tapi dia lebih makmur. Setelah kita mengupayakan segala cara yang ada, hasil yang kita dapat itulah batas rezeki kita. Allah Maha Adil dalam menciptakan keseimbangan kaya dan miskin. Kesenjangan ini membuat roda ekonomi berputar. Kemiskinan juga sarana Allah untuk membuka kesempatan orang kaya untuk menambah amalnya. Jadi bukan hanya orang miskin yang banyak amalnya karena doanya didengar Allah.

Allah pun juga sudah menyiapkan mekanisme intervensi dalam proses pencarian rezeki kita. Doa merupakan salah satu channel untuk meminta Allah menggunakan hak intervensi-Nya. Namun, sekali lagi, kita tidak pernah tau seberapa besar tambahan rezeki untuk kita sampai kita mengupayakannya.

Kembali ke masalah jodoh, kita baru akan tau siapa jodoh kita setelah kita menjalani kehidupan bersama hingga akhir hayat. Adapun pernikahan itu hanyalah salah satu sarana untuk pencarian jodoh hakiki kita. Pastilah kita menikah karena kita merasa cocok dengan pasangan. Hal itu tidak gue pungkiri. Tapi untuk mengatakan dia jodoh gue, masih jauh awan dari bumi.

Proses seleksi jodoh pun sebenernya sudah dimulai dengan proses pertemanan. Kita sudah menyisihkan kandidat yang tidak sesuai dengan kriteria pencarian. Selanjutnya, dari kandidat yang tersisa akan dipilih satu orang-bisa juga lebih-untuk dijajaki dalam hubungan pacaran atau pengenalan lebih lanjut. Dan dari sekian banyak pacar serta mantan pacar, kita masuk ke tahapan seleksi lanjutan melalui lembaga pernikahan.

Jika seseorang memang berniat serius dalam mencari jodoh sejati, maka ia akan menjalani kehidupan berumah tangga secara serius. Mereka akan mengupayakan segala cara untuk bisa mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka. Percuma saja dua orang menikah karena mereka merasa jodoh, tapi mereka tidak mau mengupayakan solusi ketika mereka bertemu masalah.

Memang ada suatu mekanisme perceraian jika sebuah pernikahan tidak dapat dipertahankan lagi. Dalam agama pun perceraian tidak dianggap sebagai sebuah dosa. Allah tidak melarang perceraian akan tetapi Ia membencinya. Jadi perceraian adalah suatu hal yang dilegalkan dengan persyaratan yang ketat. Itu menjadi upaya yang bersifat final setelah upaya lain ditempuh. Pengadilan agama atau pengadilan umum juga tidak dengan mudahnya mengabulkan permohonan perceraian. Mereka akan melakukan upaya mediasi terlebih dahulu.

Allah juga sudah menyiapkan sistem koreksi atas sebuah perceraian dengan adanya talak 1 sampai 3. Katakanlah sebuah pasangan merasa tidak cocok dan memutuskan bercerai. Namun, setelah dievaluasi ternyata itu adalah keputusan yang keliru. Keduanya tetap dapat menikah kembali selama memenuhi ketentuan yang berlaku.

Jadi perceraian bukan berarti tidak jodoh. Keputusan bercerai juga tidak seharusnya dibuat secara tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan matang. Akan tetapi, jika setelah segala cara ditempuh untuk mengatasi masalah, jika sudah tidak ada lagi kata sepakat, maka proses bercerai dapat ditempuh. Dan mungkin dengan begitu, baru seseorang dapat berkata bahwa mantan pasangan menikahnya tersebut bukan jodohnya.
Meminjam lirik dari lagu Iwan Fals berjudul “Entah”, “Aku cinta kau saat ini. Entah esok pagi...entah esok hari...entah”.

13 Agustus 2008

MENIKAH

Menikah memang sudah menjadi salah satu “kebutuhan” manusia. Gue pake tanda kutip pada kata kebutuhan sebagai satu catatan bahwa ternyata ada juga manusia yang merasa tidak butuh menikah. Entah karena memang komitmen dirinya yang tidak mau berkomitmen (sebenernya itu juga sudah merupakan satu komitmen, bukan?) atau ada faktor eksternal yang menghalangi dirinya untuk menikah. Misalnya, faktor biaya, siapa pun tau kalo hidup di dunia ini butuh uang. Kencing aja kita harus membayar padahal kita yang memberi air seni pada toilet umum. Gue gak cuma bicara masalah biaya untuk resepsi, yang umumnya berkisar pada hitungan juta. Dari pengalaman gue satu-satunya-karena memang gue baru sekali itu menikah-kita juga harus mengeluarkan uang untuk selembar surat ijin bersetubuh secara legal. Untuk menikahkan gue, sang penghulu meminta uang sekitar 500 ribu. Itu juga masih belum termasuk biaya administrasi lain. Sungguh ironis! Mereka bekerja di departemen yang berhubungan dengan Tuhan, tetapi mereka makan dengan mengkomersilkan agama.

Selain itu ada juga faktor peraturan yang menghalangi. Salah satu peraturan yang ada menyulitkan pernikahan beda agama, tapi di sisi lain mewajibkan pernikahan beda jenis kelamin. Kalau memang benar agama berada di domain pribadi warga negara, maka seharusnya negara tidak berhak melarang pernikahan beda agama. Yang terpenting adalah pernikahan tersebut tercatat secara resmi dalam arsip pemerintah. Atau mungkin ada banyak faktor lain yang gue sendiri belum tau.

Kira-kira kenapa kita mau menikah? Kalau dari sudut pandang agama, menikah itu adalah sarana untuk menghindarkan kita dari perzinahan. Pada kenyataannya, banyak juga orang yang berzina ketika mereka telah menikah. Kalau semua orang beralasan seperti itu, maka bukankah seharusnya tingkat perzinahan itu berada di titik rendah?

Ada juga orang yang bilang kalo mereka menikah karena sudah merasa cocok antara satu dengan yang lainnya dan tidak bisa hidup tanpa pasangannya tersebut. Gak salah juga kalo orang menikah atas nama cinta mati. Apa itu artinya mereka tidak membutuhkan seks? Gue jadi teringat sebait lirik lagu “Kelamin Uber Alez” buah karya The Panas Dalam, “Mengaku punya cinta murni...ujung-ujungnya minta kelamin”

Tapi gak sah juga kalo kita menikah hanya mendasarkan pada pemuasan syahwat. Bahasa sopannya adalah memiliki keturunan. Karena dari 100 persen waktu yang kita habiskan dalam pernikahan, mungkin gak sampe 40 persen waktu yang kita butuhkan untuk belajar bahasa inggris sederhana oh yes...oh god...oh no... lagipula, kalo hanya kepingin punya keturunan tidak perlu menikah. Yang perlu adalah berhubungan dengan lawan jenis. Toh, anak yang lahir kemudian hanya perlu tau siapa ayah biologisnya, dia tidak akan menanyakan apakah ayah dan ibunya menikah atau tidak.

Pasti ada juga yang pengen bertanya alasan kenapa gue menikah. Jawaban paling singkat mungkin karena gue pengen. Tapi secara logis, gue menikah karena negara mewajibkan gue menikah supaya anak keturunan gue diakui oleh negara. Negara gak mau mengeluarkan akte kelahiran seorang anak tanpa adanya ikatan pernikahan antara kedua orang tuanya.

Selain itu, pastinya urusan urat dan syahwat tadi. Gue ngebayangin kalo gue tiba-tiba butuh melampiaskan nafsu, kemana gue harus mengadu kelamin? berzina? Itu bukan proses yang mudah, bung! Kalaupun harus berzina dengan pacar, itu juga harus memperhitungkan situasi dan kondisi. Belum lagi kalau terjadi resiko kehamilan, toh gue juga akan diminta untuk menikah. Jadi menikah sebelum dinikahkan hansip. Gue juga bukan lelaki yang seneng jajan. Ngapain buang duit kalo bisa nyari yang gratisan dan aman pula? Jadilah gue menikah.

13 Agustus 2008

Bunda...

Bunda...
Gimana rasanya ada di Negara lain, benua lain? Pasti pertama kali menginjakkan kaki di aspal Ostrali, bunda merasakan kekaguman yang luar biasa atau setidaknya ada kegairahan yang beda. Hmm...aku juga dulu ngerasa kayak gitu koq. Banyak yang beda dengan Indonesia. Baik orang-orangnya, lingkungan dan gedung-gedungnya, maupun cuacanya. Biar kata sama-sama panas, pasti kita ngerasa beda aja.

Bunda...
Ini baru aja hari pertama. Tapi jujur aja aku udah ngerasa kehilangan. Bener kalo orang bilang, kita terlalu sering take for granted sama yang ada di sekitar kita. Pas udah jauh, baru kita ngerasa ada yang ilang. Terlebih lagi kalo ngeliat Tya. Untung aja dia belum terlalu ngerti kalo dia bakal ditinggal bundanya untuk waktu yang agak lama. Dia gak rewel sama sekali. Biar gitu, entah kenapa tadi pagi dia gak terlalu ceria seperti biasanya. Gak nangis sih...Cuma agak lebih pendiam aja. Entah itu perasaan aku aja atau emang beneran begitu.

Bunda...
Semalem yayah pulang bareng Oom Odong-Odong sama mama Ade. Aku anterin si Ade dulu ke kos-nya baru ngedrop Om Odong-Odong. Ternyata dia kos di dekat Sampoerna Strategic Square. Dari situ yayah ke kantor dulu. Ternyata, eh ternyata...itu sidang belon selesai! Tapi ya udahlah...yayah pulang aja. Sampe rumah jam setengah dua belasan. Si eneng udah tidur sama Kakek dan Nenek di depan tipi. Kata Nenek, dia gak mau tidur di kamar, jadilah betigaan di depan tipi. Daripada ngebangunin dia, yayah pulang aja sendiri ke rumah.

Ternyata rombongan papa juga gak cepat-cepat amat sampe di rumah. Mbak Sum minta dianterin ke daerah Priok untuk ngambil mobilnya. Gimana sih tu orang? Emang gak bisa apa diambil besok pagi aja? Tapi ya udahlah...toh mereka juga akhirnya sampe.

Bunda...
Tidur di rumah sendirian ternyata ada enak dan gak enaknya. Enaknya sih sepi...tenang...hehehe...apalagi si eneng tidur di atas. Santaiiii.... tapi gak enaknya tidur kebablasan. Apalagi semalem ujan...wah makin enak aja tidur. Akhirnya aku bangun pun jam setengah delapan. Alamat telat lagi sampe kantor. Sekalian aja aku berangkat agak siang, maen dulu sama si eneng.

Nenek laporan kalo semalem si eneng tidurnya gak tenang. Bukan karena mikirin kamu koq...gak usah geer gitulah! Mungkin karena gerah, dia minta dikipasin terus. Nenek sama Kakek kena piket ngipas semaleman. Kasian sih tapi gimana? Enak sih. Udah gitu popoknya tembus lagi. Pas tadi pagi mau aku gendong, Nenek ngelarang karena dia belom mandi dan dia celananya basah.

Bunda...
Jangan lupa telpon ke rumah ya. Kakek, Nenek, dan semua yang ada di rumah pasti pengen denger kabar dari kamu. Jangan Cuma telpon yayah aja. Terus jangan lupa emailnya dan mulailah tulis itu jurnal...

9 Juni 2009


FACEBOOK...OH...FACEBOOK

Teknologi harusnya memudahkan manusia. Itu setidaknya yang saya percaya. Sebelum ada teknologi, manusia harus melakukan segalanya secara manual. Manusia pun segera menyadari perlunya alat untuk memudahkan pekerjaan mereka. Dengan bakat inovasi yang dimilikinya, manusia lalu berusaha memikirkan cara untuk meringankan beban mereka. Satu per satu perkakas kemudian diciptakan. Mulai dari yang sederhana, seperti misalnya mata tombak atau mata panah untuk mendapatkan hewan buruan.

Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia, kebutuhan manusia juga semakin bertambah dan semakin kompleks. Dan entah karena alasan itu atau lainnya, pada suatu ketika di daratan eropa, terjadilah perubahan besar-besaran. Suatu perubahan dalam tatanan masyarakat yang kelak dikategorikan sebagai satu era baru yaitu reformasi teknologi. Pada era tersebut, banyak sekali penemuan (invention) yang terjadi. Seperti misalnya penciptaan mesin uap, mesin cetak dan mobil. Sekali lagi, semua itu dalam upaya mendukung kinerja manusia dalam mencapai tujuannya.

Saya juga menilai, salah satu penemuan terhebat setelah arus listrik adalah komputer. Pada awalnya, yang namanya komputer itu hanya bisa membaca bilangan biner saja. Hanya angka 1 dan 0 yang mampu dibaca komputer. Sangat sederhana namun piranti yang dibutuhkan teramat rumit dan besar. Saya tidak begitu memahami sejarah perkomputeran, tapi saya masih ingat pengalaman ketika saya masih kecil yang berhubungan dengan komputer.

Saya termasuk beruntung karena saya sudah bersentuhan dengan komputer sejak kecil, meskipun secara tidak langsung. Ayah saya bergelut dalam dunia perkomputeran, khususnya pengolahan data, tanpa melalui pendidikan formal. Beliau hanya seorang tamatan sekolah ekonomi atas atau SMEA. Dulu, beliau sering membawa pulang gulungan besar berdiameter sekitar 30 atau 40 sentimeter pita berwarna hitam. Beberapa tahun kemudian saya baru mengetahui bahwa itu adalah gulungan pita magnetik.

Beberapa kali juga saya dibawanya ke sebuah ruang yang sangat dingin. Dalam ruangan itu terdapat jejeran kotak besi berukuran besar. Seperti kulkas dua pintu. Itu adalah ruang server. Dan di salah satu kotak tersebut, pita magnetik itu dipasang sebelum digunakan. Sangat memakan tempat dan tidak praktis.

Dalam perkembangan berikutnya, saya diajak bergaul dengan komputer pribadi atau Personal Computer (PC). Karena pandangan visioner ayah saya, saya sudah memiliki sebuah PC dengan kemampuan ala kadarnya di rumah. Saya kemudian “dipaksa” menggunakan program-program yang terdapat di dalamnya. Mungkin masih ada di antara anda yang pernah bersentuhan dengan program WS untuk mengetik dan LOTUS untuk pengolahan data sederhana. Saya sempat memahami beberapa fungsi dalam kedua program tadi.

Pun ketika teknologi komputer itu semakin berkembang dengan program Windows® yang kerap berubah sesuai jaman, saya tergolong cepat untuk berinteraksi dengannya. Hubungan saya dengan teknologi komputer melambat ketika saya mulai kuliah. Pada masa tersebut, teknologi internet mulai merambah Indonesia. Perlahan saya mulai mengenalnya melalui media warnet (warung internet). Saya mulai paham apa itu surfing, browsing, chatting, downloading dan segalanya.

Ternyata, komputer bukan lagi hanya sekadar sarana untuk mencari informasi secara mudah. Dengan mewabahnya situs pertemanan friendster, orang menjadikan internet sebagai sarana berinteraksi sosial. Semua orang harus bergabung dengan friendster, yang tidak punya account di friendster dianggap tidak gaul atau kuno. Saya agak terlambat untuk bergabung di friendster. Itu juga tidak terlepas dari tempat kerja saya yang tidak didukung oleh sambungan internet.

Meskipun begitu, pada dasarnya saya memang tidak terlalu antusias dengan keberadaan si friendster tadi. Saya kurang merasa nyaman mengekspose diri saya kepada publik. Untuk saya, lebih baik saya membuka diri saya selebar-lebarnya kepada orang yang saya kenal dengan baik secara fisik. Bukan hanya secara virtual. Lebih lagi ketika saya harus mengevaluasi diri saya dengan menyebutkan apa yang saya suka, buku apa yang menjadi favorit saya, dan segala macam informasi seperti itu. Teman-teman saya bahkan banyak yang tidak mengetahui detil informasi tentang saya. Kalaupun ada yang mengenal saya dengan baik, itu butuh waktu berbulan-bulan dan tidak hanya sekejap saja. Mengenal seseorang tidak hanya semudah menekan klik pada tikus elektronik anda.

Era friendster pun segera berlalu dengan terbitnya Facebook. Demam facebook ternyata lebih dahsyat. Epidemi facebook secara cepat melanda seluruh penjuru dunia. Semua orang berlomba-lomba mengambil tempat di situs pertemanan elektronik tersebut. Kelebihan facebook dibandingkan friendster adalah fitur yang lebih lengkap dan akses yang lebih mudah. Selain ada ukuran jumlah teman kita yang sudah mengenal kita, facebook juga menawarkan sarana untuk berkomunikasi antar teman melalui fasilitas chat dan wall-to-wall. Lebih jauh lagi, kita juga dimungkinkan untuk memantau apa yang sedang dilakukan teman kita dengan membaca status mereka. Pengelola facebook juga memudahkan para pengguna untuk menampilkan foto-foto koleksi pribadi mereka.

Bayangkan, saya terkejut bukan kepalang ketika seorang teman secara tidak dinyana menampilkan foto saya pada waktu awal kuliah. Tidak lama kemudian, ada seorang teman lain yang sudah lama sekali tidak bertemu menampilkan foto ketika saya masih di kelas 6 SD. Di satu sisi memang saya merasa senang dan lucu melihat foto saya ada di sana. Tapi kemudian saya juga merasa aneh mengetahui bahwa ada kemungkinan orang di seluruh penjuru dunia melihat bahkan mengambil foto saya ketika saya masih polos dan belum ternoda seperti itu.

Untuk saya, itu sudah merupakan pelanggaran domain pribadi. Tapi saya tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun terhadap teman saya yang menampilkan foto tersebut. Bukan karena tidak ada sarananya, tapi saya tidak punya biaya untuk mengakses sarana tersebut. Kalau pun ada biaya tersedia, saya agak malas untuk melakukannya. Jadi, ya sudahlah. Tetap saja itu tidak membenarkan siapapun untuk masuk ke ranah personal tanpa ijin dari pihak-pihak yang terlibat. Bayangkan, jika ada foto tidak senonoh yang melibatkan saya dan banyak orang lain sebagai korban. Apakah itu tidak membuat saya kemudian menjadi depresi dan traumatik?

Selain itu juga, saya mencoba melihat facebook ini dari sudut pandang The Changcutters. Facebook racun dunia... Memang pada kenyataannya facebook adalah racun otak. Sebuah artikel di suratkabar pernah mengatakan bahwa facebook telah membuat jutaan orang menjadi gila. Berapa orang sudah diracuni facebook untuk menjadi narsistik dengan menampilkan foto yang bertujuan untuk dilihat banyak orang dan dengan mengganti status setiap saat mereka melakukan kegiatan yang berbeda. Bahkan ada orang yang menuliskan status mereka sebagai “abis makan, neh...ngantuk”. untuk saya itu adalah kesia-siaan. Apa urusan saya dengan kenyataan bahwa anda baru saja makan? Itu toh tidak membuat saya menjadi kenyang. Saya memang tidak peduli, akan tetapi ketidakpedulian saya terusik dengan pengumuman bahwa teman saya itu telah mengganti statusnya menjadi seperti yang saya sebut di atas. Seketika ketidakpedulian saya membuat saya menjadi peduli untuk melihat status tersebut.

Sebuah komik strip di sebuah surat kabar nasional bahkan pernah mengangkat fenomena ini. Dua orang sahabat mengupayakan membeli dua buah komputer jinjing yang identik. Dalam scene selanjutnya digambarkan mereka mendaftar sesuatu secara on-line. Ketika proses pendaftaran selesai, mereka terlihat gembira dan mengatakan bahwa mereka sekarang menjadi teman di facebook. Saya menangkap ada sebuah satir dari kenyataan hidup yang telah mengubah makna dan paradigma pertemanan dari hubungan interaksi sosial antar individu menjadi interaksi secara maya antar individu.

Lebih menarik lagi kalau kita kembali ke khittah pembicaraan tentang mengapa teknologi itu dimunculkan. Apakah facebook itu juga merupakan sarana untuk mempermudah kerja dan meningkatkan kinerja? Mungkin iya dan mungkin tidak.

Bagi seorang Barrack Obama yang kini menjadi Presiden AS ke-44, facebook memainkan peranan yang sangat penting dari kesukesannya menduduki tampuk tertinggi di negara adidaya tersebut. Dia bisa menjaring jutaan pendukung melalui situs sosial seperti facebook. Begitu efektifnya jejaring sosial ini untuk mengubah nasib seseorang.

Facebook juga perlu diakui lebih efektif dari friendster dalam mencari teman lama. Saya tidak pernah mengira bahwa saya akan bertemu secara tidak langsung dengan teman-teman SD saya. Kami sudah terpisah jarak dan waktu selama lebih dari lima belas tahun. Dengan jalan hidup yang berbeda antara satu dan lainnya, sangat sulit melacak jejak mereka di dunia yang sangat luas ini. Mungkin anda juga mengalami hal semacam ini, bertemu dengan mantan pacar yang kini sudah memiliki anak dua misalnya. Atau, mungkin saja anda bertemu dengan musuh bebuyutan anda ketika anda masih ingusan dulu, masih kesalkah anda padanya?

Namun, mungkin masih sangat banyak orang yang belum dapat memanfaatkan situs ini secara optimal untuk mendukung kerja dan kinerja mereka masing-masing. Facebook malah menjadi pelarian mereka dari beban kerja dan beban hidup. Facebook menjadi taman hiburan di mana setiap orang dapat bertemu, bertegur sapa, saling memamerkan kelebihan dan kesuksesan masing-masing. Facebook sudah menjadi sirkus virtual dengan segala macam arena permainan. Anda ingin bermain tembak-tembakan? Facebook menyediakannya. Anda ingin berpura-pura menjadi mafia? Facebook bisa memfasilitasi.

Memang selalu ada konsekuensi. Sekali anda kecanduan bertempat di facebook, aliran informasi ke piranti komputer anda akan terhambat. Kata orang-orang cerdas, itu yang disebut bandwidth. Ibarat manusia, bandwidth itu adalah pembuluh darah yang mengalirkan oksigen ke otak komputer. Nah, keberadaan facebook itu seperti kolesterol yang mempersempit pembuluh darah sehingga aliran tersebut menjadi terhambat. Akibatnya, komputer menjadi lambat dalam berpikir bahkan mungkin saja mengalami serangan stroke yang membuat komputer tidak dapat melakukan apa-apa.

Saya tidak bermaksud menyalahkan atau menyerang orang yang mengakses facebook dengan fasilitas umum. Itu hak mereka, tapi saya tidak mendapatkan kenyamanan maksimal dari situs semacam itu. Jika ada pihak lain yang dirugikan dengan kegiatan semacam itu, maka itu adalah konsekuensi logis. Seperti ketika kita melihat data korban kecelakaan lalu lintas. Jumlah korban semakin banyak seiring dengan kemajuan dunia otomotif yang menghadirkan kendaraan sangat cepat dan supercepat. Saya yakin jumlah korban jiwa akibat tabrak lari ketika orang masih menggunakan kereta kuda tidak terlalu signifikan. Bahkan, dalam sebuah peperangan teknologi justru menghadirkan jumlah korban jiwa yang lebih banyak. Ketika peperangan masih menggunakan sarana seperti tombak dan panah, jumlah korban relatif sedikit. Ketika bahan peledak digunakan, jumlah kematian semakin banyak. Terlebih lagi ketika era nuklir dan bom curah seperti yang digunakan di Palestina.

Begitu kira-kira konsekuensi negatif dari penerapan teknologi. Mungkin yang perlu dilakukan adalah membuat suatu regulasi yang mengikat mereka saat mengakses teknologi. Kalau tidak salah, penggunaan nuklir pun sudah ada pembatasannya. Itu dimaksudkan untuk mengurangi kerugian bagi orang lain yang tidak terlibat langsung. Pun begitu pula dengan teknologi informasi. Pasti ada kerugian yang dialami orang lain selama penggunaan teknologi informasi tidak lakukan secara bertanggung jawab.

Jika seseorang memiliki komitmen yang kuat dalam bekerja, maka saya yakin yang bersangkutan tidak akan terdistorsi dengan keberadaan facebook. Semua yang kita lakukan berawal dari niat. Jika kita niat datang ke kantor untuk bekerja, maka kita secara tidak sadar telah menentukan target sasaran. Pada akhir hari, kita bisa mengukur keberhasilan kita mencapai target yang telah kita tentukan. Kalau tidak tercapai, apa masalahnya dan apa pula solusinya. Untuk itu, terkadang orang dibantu dengan sebuah buku agenda kerja. Sering kali buku agenda tersebut lebih dari satu.

Sering kali kita berangkat dari rumah menuju kantor tanpa niat yang bulat. Kita hanya berangkat karena memang itulah rutinitas yang harus kita kerjakan setiap hari. Masalah apa yang akan kita kerjakan kemudian, itu urusan belakangan. Sehingga kita kesulitan menentukan target kita dan mengukur keberhasilan kita.

Selain itu, terkadang kita terlalu permisif dan apologetik pada diri kita. Tatkala kita tidak dapat mencapai target individu, kita dapat dengan mudah memaafkan diri kita. Toh, besok masih bisa dilanjutkan. Itu alasan kita. Selain itu juga kita cepat mencari alasan pembenaran. Saya pikir tidak ada salahnya jika saya bersantai sejenak karena itu adalah hak saya setelah bekerja keras. Begitu alasan kita. Padahal, hal tersebut menunjukkan tidak kuatnya niat kita bekerja.

Lupakan masalah konsentrasi. Bohong kalau ada yang bilang kalau orang tidak bisa fokus bekerja sementara mengakses facebook. Tidak ada masalah jika kita tetap membiarkan situs itu terbuka selama kita mengerjakan tugas yang lain. Pada saat saya membuat tulisan ini pun, saya tengah berada dalam rapat untuk menentukan masa depan organisasi kantor. Saya akui memang saya tidak fokus 100 persen pada rapat ini. Tapi, saya menyangkal jika saya tidak mengikuti rapat ini dan saya tidak menangkap poin-poin penting yang dihasilkan.

Tutuplah akses facebook, hapuskan friendster selamanya. Itu hanya menyelamatkan bandwidth di kantor anda. Saya tetap agnostik dengan peningkatan kinerja pegawai anda serta anda sendiri seiring dengan penghalangan akses tersebut. Selama setiap dari kita tidak memiliki komitmen dan integritas yang kuat, tidak akan ada peningkatan hasil kerja dan kinerja.
4 Maret 2009

BERPIKIR POSITIF

Pernah denger lagu yang liriknya seperti ini....

You know I feel glad when you’re glad
I feel sad when you’re sad

Pastinya pernah dong, bahkan mungkin sebagian dari anda mulai menggumamkan lagu itu atau setidaknya di otak anda ada melodi yang mengalun. Judulnya ‘Can’t smile without you’ tapi saya lupa siapa yang nyanyi karena waktu dia nyanyi pertama kali, saya belum lahir. Kalaupun sudah, salah penyanyinya kenapa ndak kasih tau saya. Gak apalah karena bukan siapa yang menyanyi tapi apa yang dinyanyikan.

Memang melodinya cukup catchy, liriknya pun romantis; tapi berapa orang dari kita yang bisa melakukan apa yang tertuang dalam bait itu? Jujur aja, kalo kita tidak sedang jatuh cinta sama seseorang pasti sangat sulit melakukannya. Merasa senang ketika orang senang dan sedih kalo melihat orang sedih. Apalagi kalo yang sedih itu rival kita atau orang yang kita benci. Pasti kita senang sekali melihat dirinya sedih dan kita merasa senang ketika dia merasa sebaliknya.

Ternyata berpikir positif sangat susah sekali. Kalaupun bisa, lebih sulit lagi untuk tetap konsisten bertindak begitu. Selalu ada rasa cemburu dan iri dalam diri kita. Saya pun begitu. Berulang kali saya selalu menekankan pada diri saya untuk selalu berpikir positif. Tapi tidak selalu berhasil. Rasa iri sebenernya bagus untuk memacu diri kita supaya lebih baik lagi. Tidak stagnan pada kondisi yang sudah kita capai. Akan tetapi harus pada takaran yang tepat, karena kalo berlebih yang ada kita selalu memandang negatif pada orang lain.

Pun begitu, saya kembali diingatkan oleh orang lain soal hal satu ini. Ketika saya berhadapan dengan Bapak Noor Sidharta yang notabene adalah seorang kepala Biro. Saya menghadap beliau berkaitan dengan upaya saya meningkatkan kualitas diri melalui beasiswa yang ditawarkan negara tetangga. Dia bilang bahwa dia tau kalo keberadaan dia sebagai seorang kepala biro yang baru pasti mendapat banyak cibiran. Terutama karena dia masih tergolong muda dan ganteng, terlebih karena dia berasal dari instansi lain. Bagusnya dia juga bilang kalo dia gak peduli dengan apa yang dia istilahkan sebagai “omongan pasar”

Memang begitulah adanya orang di republik ini. Kalo ada orang yang berhasil, kita cenderung ambil jalan pintas untuk berpikir negatif. Pasti ada apa-apanya... padahal bapak itu apa-apanya ada. Mungkin itu ciri bangsa yang udah kelamaan dijajah. Pemikiran pun jadi feodal begitu untuk menghaluskan kata kuno. Seharusnya kalo ada orang yang berhasil, kita berupaya jadi orang pertama yang mengucapkan selamat. Beri jabat tangan bukan cibiran. Itu baru tanda seorang yang gentleman buat laki-laki. Kalo perempuan ya berarti tanda seorang lady.

Saya juga jadi ingat waktu saya dalam perjalanan ke daerah selatan Jakarta untuk suatu tugas. Pada waktu berkendara, seorang teman yang turut serta melihat ada rumah yang bertembok tinggi. Dia bilang “kalo ada pesta bugil dibalik tembok itu pasti gak ada orang yang tau!” sebuah ide yang vulgar apalagi ada seorang atasan di dalam kendaraan yang sama dengan kami berdua. Tapi dia bilang “apa salahnya? Kenapa kita harus berpikir negatif misalnya kalo ada perampokan, pasti gak ada orang yang tau?” benar juga.

Itu mungkin jadi stereotipe pemikiran lain dari aliran post-kolonialisme. Well, artinya sih sama aja dengan mantan daerah jajahan. Sifat yang berkembang jadi paranoid bukan berpikir maju. Ketimbang berpikir How, sebagian besar dari kita masih berpikir How come? Maksudnya kita tidak berpikir bagaimana caranya seorang bisa maju, tapi kita malah berpikir bagaimana bisa dia maju. Kalo ada berita Cina sudah berhasil menggunakan kereta yang bisa menempuh jarak 1.300 km dalam waktu 4 jam saja. Kita cenderung menggunakan eksepsi sebagai pembenaran. Terang aja mereka bisa, mereka kan orangnya rajin. Kenapa kita gak berpikir bagaimana caranya negara kita bisa seperti itu.

Jadi sodara-sodari, mari kita nyanyi bersama lirik di atas dan coba untuk menerapkan dalam kehidupan kita. Tolong jangan diubah itu lirik menjadi.....

You know I feel sad when you’re glad
I feel glad when you’re sad