Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

KAUS KAKI

Membaca Koran, membuka facebook, mendengarkan musik digital melalui piranti telepon genggam, mengobrol dan bergosip, bertelepon. Apa kesamaan dari itu semua? Ya itulah yang dilakukan orang sembari menunggu bersama saya dalam ruangan ini.

Ruangan sama yang saya inapi untuk beberapa jam kira-kira setahun yang lalu. Ruangan berbentuk Aula yang lumayan besar untuk dimasuki sekitar seratusan orang lebih. Dan di situ, di ruangan itu pula semua kejadian berawal yang berujung pada kegagalan. Apakah saya sedih? Tidak. Tidak sedikit pun saya sedih. Saya memang kecewa, marah, galau, kusut, emosi, dan lain sebagainya. Tapi saya tidak sedih di ujung kontes itu. Dan sekali lagi, ruangan itu berhasil menciptakan tekanan batin yang sama dengan setahun lalu. Napas menjadi agak sesak, tekanan darah meningkat drastis, seluruh syaraf terasa menegang. Untung saja nafsu tidak ikut berbicara.

Di ruang itu, ada sejuta harapan terkembang. Masih ada optimisme terukir di wajah orang-orang yang sebagian sudah berdandan rapi dan cantik, meskipun ada juga sebagian yang masih bertampang kusut masai karena bersesakan di perjalanan atau bahkan (mungkin) baru bangun tidur dan tidak sempat mandi. Tentu saja, ini baru langkah awal. Seiring dengan perjalanan waktu, optimisme itu kian memudar. Kalau pun gagal atau berhasil, kita toh tidak akan berada di ruangan itu lagi.

Oh, lihat itu. Ada beberapa orang yang saya kenal dan mengenal saya. Walau hanya segelintir dan lebih banyak orang yang saya tidak kenal sama sekali. Ada yang saya kenal waktu masih kuliah dulu. Dia adik kelas saya dan memang sedari dulu saya tidak begitu akrab dengannya. Kami berbeda aliran. Sementara saya menganut aliran Hedonis Aristokratik, dia tergolong Religius Akademistik. Ya, saya hanya bertegur sapa seadanya dan kami pun kembali ke alam masing-masing.

Dan wanita itu, yang di sana itu, kami hanya berteman lewat jaringan facebook. Saya tidak mengenalnya secara personal. Ternyata facebook itu memang sangat artifisial dan tidak mencerminkan sedikit pun tentang dunia nyata. Jumlah teman di facebook belum tentu akurat dengan data pada kenyataan di dunia ini. Bisa jadi lebih banyak, bisa jadi lebih sedikit. Dengan sedikit keisengan, saya yakin seseorang dapat memiliki banyak sekali teman di jaringan sosial itu.

Bagaimana dengan wanita berbaju hitam itu? Nah, kalau yang satu ini memang teman saya. Kami sering berhubungan secara maya. Setidaknya saya mengenalnya jauh lebih baik daripada seantero orang di ruangan kotak ini. Seorang yang sangat menyenangkan untuk diajak berbicara, seorang yang tetap dalam pencarian dalam hidup, seseorang yang mungkin anda kenal dan mungkin juga tidak.

Sementara itulah saya, yang sedang duduk lesehan di lantai berkarpet sambil memainkan perangkat komunikasi elektronik saya. Saya yang sedang menunggu dengan harap-harap cemas kapan nama saya disebut oleh seorang wanita manis di ujung yang berlawanan. Oh, kalau anda pikir wanita itu menyebut nama saya karena mengenal saya, maka anda adalah salah. Dia memang bertugas menyebut nama orang-orang dalam ruangan ini satu per satu pada waktunya. Mungkin dia sedang menghapal nama dan wajah kami tujuannya.

Sementara juga itulah saya, yang tadi pagi tergopoh-gopoh bangun karena tidak ingin terlambat ke ruangan ini. Saya yang tidak biasa lagi bangun sepagi tersebut, harus mengumpulkan segenap niat hanya untuk bangun dan mandi. Saya yang karena terburu-buru pergi sehingga lupa meminjam sepatu bagus pada orang di rumah karena semua sepatu saya yang bagus dan agak bagus tertinggal di kantor. Saya yang akhirnya menggunakan sepatu capung bekas diklat prajabatan dengan ternoda lumpur di sana sini.

Lalu siapa laki-laki yang menghampiri saya dan tidak lama kemudian duduk di samping tidak jauh dari saya itu? Laki-laki yang memulai percakapan dengan cara yang unik dan tidak lazim. Percakapan itu dibukanya dengan menanyakan "kemana kaus kakinya?". Lalu saya jawab, "apakah itu suatu keharusan?" Dan dia melanjutkan dengan bertanya "Di kantor gak pake kaus kaki?" Karena saya sedang enggan berbicara, saya jawab singkat "tidak!" Dan terakhir dia menimpali perkataan saya dengan komentar "Susah memang kalo ga punya kesadaran!"

Pak, Om, Mas, Kak, Bang, Bung, apalah...siapakah sebenarnya anda? Apakah anda berhak mengatur apakah saya harus berkaus kaki atau tidak? Apakah benda bernama kaus kaki itu adalah sebuah benda keramat yang saya harus kenakan? Apakah saya berdosa kalau saya tidak memakai kaus kaki dan ketika saya mati, saya akan dikirim ke neraka yang penuh dengan kaus kaki? Sungguh Pak, Om, Mas, Kak, Bang, Bung, apalah... saya memiliki kesadaran. Saya sadar kalau saya tidak berkaus kaki. Tapi mohon maaf, saya tidak punya kaus kaki, setidaknya saat itu.

SI ANOM

Ya begitulah si Anom itu. Lucu, unik, baik hati walau kadang menjijikan. Tapi apalah artinya satu sifat jelek dibanding timbunan sifat baik lainnya. Jadi, apakah anda mengenal si Anom yang saya ceritakan? Lho, bagaimana anda bisa tahu? Bukannya saya belum cerita?

Mungkin saja anda sudah kenal dengannya. Tapi saya bercerita tentang si Anom yang adik ipar saya dan bukan adik ipar anda tentunya. Kalau pun dia orang yang sama dengan teman anda atau sodara anda, ya biar aja. Biar tau rasa dia. Biar aja dia sadar kalau dunia ini sempit.

Si Anom yang saya ceritakan ini adalah orang yang tiada peka akan nada, bagaimana pula dengan lirik? Sudah jelas dia tidak hapal dengan sukses. Yah begitulah si Anom yang gemar menyumbangkan lagu. Semua lagu pasti akan menjadi sumbang di mulutnya. Coba saja anda minta dia menyanyikan lagu anak-anak yang riang gembira. Anda akan mendengar lagu paling memilukan dan menyayat gendang telinga.

Ya si Anom itu pula yang tidak pernah belajar bagaimana kentut bergaya aristokratik. Sangat dimungkinkan dia adalah tokek dalam kehidupan sebelumnya, dan kini dia menjelma menjadi sesosok TOKENTUT. Itu adalah semacam siluman tokek yang bersuara lewat kentutnya. Prett...kaya...prett, miskin...prett, kaya...begitulah seterusnya.

Anda boleh memujanya untuk mendapatkan kekayaan secara mudah dan instan. Syaratnya gampang, tanpa bunga, dan uang muka rendah. Cukup anda sediakan segelas kopi hitam dan beberapa batang rokok. Taruh semua itu di kamar mandi, kemudian buka seluruh pakaian anda. Baca mantra yang diwajibkan sebanyak 5.976.832 kali. Ingat, itu tidak boleh lebih apalagi kurang. Anda juga dilarang menggunakan alat pengingat atau penghitung seperti sempoa, kalkulator atau sebangsanya. Selain itu, anda juga dilarang mencontek. Jika anda telah selesai, anda dipersilakan meninggalkan ruangan. Selamat bekerja. Lho koq seperti sedang mengerjakan SNMPTN?

Begitulah si Anom yang matanya sipit sebelah karena keseringan ngintip dari belakang lensa kamera. Si Anom yang sayang anak kecil, sayang ibu, sayang ayah, sayang adik kakak, pokoknya semua lah; termasuk anda, saya, dan mereka.

Saya tidak bermaksud memujinya karena dia sering membayari saya makan. Atau karena dia sering membelikan saya barang ini dan itu. Tidak sama sekali tidak. Itu fitnah sodara-sodara! Itu fitnah yang sangat keji! Saya melakukannya hanya ingin menggambarkan bagaimana si Anom itu adanya secara penuh keikhlasan, sungguh. Percayalah pada saya.

Jadi, apakah anda ada mengenalnya? Apakah Anom itu pula yang anda kenal dalam kehidupan anda sekalian? Jikalau anda ada bertemu dengannya, tolong sampaikan salam dari saya. Dia pastinya telah mengenal saya. Tolong katakan padanya untuk mengembalikan tali pocong saya yang dicurinya dari makam saya lima puluh tahun yang lalu.