Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

Surat Terbuka

Jakarta, 23 Juni 2009

Kepada Yth.
Bapak dan Ibu Sekalian
Di Tempat Masing-Masing

Ijinkanlah saya memperkenalkan diri saya kepada Bapak dan Ibu Sekalian. Nama saya Yogi, Bapak dan Ibu. Lengkapnya adalah Yogi Djatnika. Mungkin di antara Bapak dan Ibu sekalian ada yang telah mengenal saya sebelumnya. Baik itu mengenal fisik di dunia nyata, maupun mengenal secara non-fisik melalui dunia maya. Yang saya maksud bukanlah Neng Maya yang tinggal di ujung jalan, atau Ibu Maya yang bekerja di pemerintahan. Yang saya maksud adalah dengan dunia maya adalah dunia internet, atau bahkan dunia Ide seperti yang pernah diungkapkan Eyang Plato berabad yang lalu. Tidak perlulah kiranya saya menceritakan siapa Eyang Plato dan silsilah keluarganya. Toh, anda tidak akan bisa bertemu lagi dengannya. Kalaupun ada Bapak atau Ibu yang berkenan mengetahui lebih lanjut, Bapak dan Ibu bisa mencari informasinya di Internet. Tapi tolong jangan tanya saya, karena saya sendiri pun tidak mengenalnya karena dia tidak pernah mengenal saya.

Saya bahkan yakin kalau banyak juga di antara Bapak dan Ibu yang mengenal saya dengan sangat baik. Tidak tertutup kemungkinan ada Bapak atau Ibu yang sudah hapal dengan kebiasaan saya, jam berapa saya bangun siang (saya susah sekali bangun pagi, Bapak dan Ibu!), apa yang saya makan setiap hari, atau lebih jauh lagi, kapan saya buang air dan buang gas. Untuk itu saya mengucapkan banyak sekali terima kasih karena sudi menyempatkan diri mengenal saya. Saya paham sekali, Bapak dan Ibu sekalian, bahwa saya bukanlah artis top ibukota apalagi ibu tiri. Tapi itu bukan salah saya dan sungguh bukan kemauan saya kalau saya jadi terkenal seperti sekarang ini. Takdir telah memilih saya untuk menjadi seperti ini.

Meskipun begitu, Bapak dan Ibu sekalian, saya perlu mengemukakan bahwa sebenarnya Bapak dan Ibu sekalian tidak atau belum mengenal saya dengan baik. Saya pun sering bertanya, siapakah saya ini? Apakah seorang Kapiten? Apakah Si gembala sapi? Ataukah hanya seorang lelaki? Bapak dan Ibu tidak perlu merasa bersalah karena tidak mengenal saya dengan baik. Tidak perlu Bapak dan Ibu menangis tersedu hanya karena masalah ini.

Pada dasarnya manusia itu selalu berubah setiap hari, Bapak dan Ibu. Selalu ada yang berbeda setiap hari. Rambut saya hari ini tidak sama panjang dengan kemarin. Baju saya hari ini pun akan berbeda dengan esok hari meski dengan jenis yang sama, warna yang sama, merk yang sama. Jadi meskipun Bapak dan Ibu melihat saya seolah menggunakan baju yang sama, itu sebenarnya tidak sama. Kalau pun saya menggunakan baju kemarin untuk hari ini, warnanya tidak sama karena pengaruh pergaulan dan keringat. Begitu pula dengan baunya.

Begitu juga dengan pemikiran saya. Selalu berubah setiap hari. Ada kalanya saya memikirkan hal yang serius walaupun kebanyakan pikiran saya tidak pernah serius. Adakalanya saya memikirkan hal yang berbau porno, tapi ada saat dimana saya memikirkan hubungan antara manusia dan Sang Pencipta. Mohon maaf, tapi saya tidak pernah berpikir sedikit pun untuk menjadi anak Shaleh, karena orang tua saya tidak ada yang bernama Shaleh. Cukuplah saya menjadi anak Supriyatna, bapak saya. Mungkin dapat disebut sebagai STMJ atau Serius Tetap, Melucu Juga.

Berkenaan dengan hal tersebut, Bapak dan Ibu sekalian, perlu saya sampaikan bahwa terkadang saya dapat melukai hati dan perasaan orang melalui perkataan saya secara lisan ataupun tulisan. Sekali lagi saya minta maaf atas akibat yang dimunculkan timbul, maksud saya akibat yang ditimbulkan muncul, atau apalah. Saya juga mohon maaf jika sering membuat Bapak dan Ibu sekalian tersenyum-senyum, bahkan tertawa terkentut-kentut. Saya sungguh tidak menginginkan hal itu terjadi, tapi saya tidak dapat melarang Bapak dan Ibu untuk tersenyum atau tertawa selama Bapak dan Ibu menggunakan mulut sendiri dan bukan mulut orang lain.

Mengapa saya merasa perlu membuat surat terbuka ini? Pastinya Bapak dan Ibu sekalian tidak tahu. Biarlah saya beri tai, maksud saya, beri tau. Maaf itu tadi salah ketik. Saya menyadari bahwa belakangan ini mengeluarkan pendapat di ruang publik tidak lagi sebebas dulu. Mengungkapkan pendapat atau perasaan di muka umum, dulu bisa dianggap seperti kentut. Ada bunyi dan disusul bau yang tidak sedap, tapi tidak lama kemudian menghilang. Bahkan, kalau itu menyangkut politik atau pejabat, tulisan dan pendapat saya masih ada. Justru saya yang akan hilang sebelum ditemukan dalam kantong plastik hitam.

Berbagai peraturan kini telah diterbitkan untuk mengatur apa yang boleh dan tidak dikemukakan di ruang publik. Ada Undang-Undang Pers, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Penyiaran dan sebagainya. Semua itu, katanya (entah kata siapa) bertujuan untuk melindungi masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat, sudah sewajarnya jika saya merasa harus mempercayai tujuan tersebut. Meskipun sebenarnya, saya lebih mempercayai Tuhan daripada mereka (entah siapa mereka itu).

Baru-baru ini mungkin Bapak dan Ibu mendengar atau membaca atau menonton atau apalah bahwa pendapat seseorang dapat berganjar hukuman pidana. Saya tidak perlu menyebutkan masalah tersebut supaya Bapak dan Ibu penasaran. Pendapat seseorang dapat dianggap mencemari nama baik orang lain. Tidak usah pula kita membahas apakah orang yang dimaksud tadi memang masih memiliki nama baik atau tidak. Dengan berpikir positif, saya merasa bahwa nama setiap orang itu baik; kecuali Okan Buruk, seorang pesepak bola dari Turki yang nama belakangnya memang Buruk.

Berkaca dari kejadian-kejadian tersebut, melalui surat ini saya memohon maaf atas perkataan saya baik lisan maupun tulisan, baik yang lalu ataupun yang sekarang dan masa depan. Saya hanya berusaha jujur mengungkapkan perasaan dan pikiran saya. Janganlah nila setitik dari perkataan saya merusak susu sebelahnya. Janganlah anda menuntut saya dengan alasan perkataan saya mencemari nama baik Bapak dan Ibu sekalian. Percayalah, saya tidak bermaksud untuk itu. Kalaupun Bapak dan Ibu melakukan hal yang sama, saya sudah maafkan sebelum Bapak dan Ibu melakukannya. Tapi tolong jangan diulangi lagi.

Demikianlah surat terbuka ini saya buat dengan sejujur-jujurnya secara sehat jasmani, entah rohani, dan tanpa paksaan dari pihak lain selain hati saya.

Atas perhatian dan kesediaan Bapak dan Ibu sekalian membaca surat ini, saya ucapkan terima kasih. Kepada Bapak dan Ibu sekalian yang tidak membaca surat ini, saya tidak mengucapkan terima kasih.

Hormat Saya,

Ttd

Yogi Djatnika

LUNCH...NOT BREAKFAST...AT TIFFANY’S


Hari ini sungguh luar biasa, aku ada janji makan siang dengan seorang wanita. Dia bukan istriku, dan justru itu yang membuat acara ini lebih menarik. Wanita itu adalah seorang yang kukenal di masa lalu. Entah sudah berapa lama kami tidak bertemu, sampai pada akhirnya kami punya kesempatan untuk berbincang dan memutuskan untuk bertemu, walau hanya sekadar untuk makan siang. Kenapa saya menerima ajakan itu? Well, saya cuma ingin tahu bagaimana keadaan dia sekarang. Tentunya apakah dia masih secantik yang aku kenal dulu.

Kami berjanji untuk bertemu di sebuah mall yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Saya tahu lokasinya, tapi memang pada dasarnya saya tidak terlalu akrab dengan mall. Bisa dihitung berapa banyak mall yang pernah merasakan injakan kaki saya. Tidak banyak. Lagi pula, paling hanya toko buku yang sering saya kunjungi. Buat saya, mall adalah perwujudan dari tekanan dari kapitalisme global yang berusaha memasyarakatkan paham konsumerisme. Saya hanya becanda, itu cuma cara untuk menutupi fakta bahwa saya tidak punya uang.

Anyway, pada saat yang telah disepakati, saya tiba di mall tersebut. Setelah memarkir mobil, saya lalu masuk ke dalam mall tersebut. Ternyata beginilah mall sekarang, tidak jauh berbeda dengan kunjungan terakhir saya ke tempat sejenis itu. Masih terdapat banyak orang berjualan. Ya iya lah... karena mall memang tidak beda dengan pasar. Saya berjalan berkeliling melihat-lihat sambil mencari teman saya. Saya berusaha keras untuk menutupi keluguan dan kecanggungan saya.

Tidak begitu lama, saya dapat menemukan teman saya tersebut. Dia masih tetap secantik dulu, Cuma kini rambutnya agak lebih panjang ketimbang waktu kami bertemu sebelumnya. Bahkan, menurut saya rambutnya yang sebahu lewat sedikit itu justru menambah keanggunan dirinya. Pada hari itu dia tidak menggunakan pakaian kerja. Menurutnya, tidak nyaman menggunakan pakaian kerja untuk berjalan-jalan. Okelah, karena toh dia sudah bebas tugas, sementara saya baru akan bertugas sepulangnya saya dari makan siang.

Kami segera mencari tempat makan. Setelah memesan makanan, kami berbincang kecil mengenai apa yang terjadi dengan diri masing-masing. Dia menceritakan tentang dirinya dan begitu juga dengan saya. Ah, senyum manis itu tidak pernah lepas dari wajahnya. Sungguh menarik sekali acara makan siang kali ini. Makanan yang istimewa, dengan orang yang istimewa, plus senyum yang istimewa. Waktu seakan begitu cepat berlalu, tiba-tiba makanan kami telah habis. Perasaan makanan itu tidak berasa masuk ke mulut, saya hanya merasa kenyang.

Akhirnya karena malu berlama-lama di tempat makan tersebut, kami memutuskan untuk berjalan-jalan sebelum pulang. Lagi pula, dia hendak mencari sesuatu untuk anaknya. Saat itu baru saya tahu bahwa rencananya setelah ini adalah pulang ke rumah. Saya putuskan untuk mengantarnya pulang, toh dia tinggal tidak terlalu jauh dari mall tersebut. Tidak apalah sekali tempo sampai ke kantor telat. Ternyata, saya pernah mengunjungi daerah tempat dirinya tinggal. Entah kapan, tapi saya merasa akrab dengan lokasi itu. Sepanjang perjalanan, kami ngobrol dengan akrab. Memang itulah daya tarik dirinya. Dia mudah sekali akrab dengan orang lain, dan dia adalah orang yang menyenangkan untuk diajak berbincang-bincang baik sesuatu yang serius atau santai. Mau yang serius atau santai, dia tidak menolaknya.

Dia menawarkan untuk mampir ketika kami tiba di rumahnya. Namun karena keterbatasan waktu karena saya harus lanjut ke kantor, selain karena takut suaminya marah, saya menolaknya. Sebenarnya saya bingung bagaimana caranya saya bisa kembali ke kantor. Saya tidak terlalu hapal rute perjalanan, tapi sudahlah. Selama masih menggunakan Bahasa Indonesia, saya bisa bertanya sama orang kalau saya tersesat. Akhirnya, saya berhasil mencapai jalan tol yang menghubungkan daerah tersebut dengan pusat ibukota.

Hari yang panas, tidak terlalu saya pikirkan. Saya sedang senang hari ini. Ternyata, hari itu jalan sangat macet. Tidak hanya di satu lokasi, tapi rasa-rasanya kemacetan terjadi di mana-mana. Saya heran, mau kemana orang-orang itu? Bukankah seharusnya mereka bekerja di kantor mereka di pusat kota? Kalau pun macet, itu seharusnya terjadi pada arah yang menuju ke pinggiran kota. Itu seharusnya berlawanan dengan arah tujuan saya ke pusat kota. Saya berusaha sabar dan menikmati kemacetan. Saya berusaha hanya memikirkan bahwa hari ini saya sedang gembira. Tapi kemacetan ini sudah hampir dua jam lamanya, dan tidak ada tanda akan segera terurai. Saya merasa sangat haus, tenggorokan ini rasanya sangat kering sekali. Biasanya, saya membawa sebotol besar air mineral dalam mobil saya. Tapi sayang sekali, saya hanya mendapati botol kosong yang berisi setetes atau dua.

Haduh, saya menjadi tidak sabar. Ingin rasanya saya segera tiba di kantor yang dingin, minum yang dingin. Mulut saya terasa kering, bibir juga rasanya mulai kering. Yang lebih terasa adalah tenggorokan. Panas, kering, dan agak serak rasanya. Dari belakang, saya mendengar bunyi bising suara....bukan...itu bukan bunyi klakson mobil yang berada dalam kemacetan yang sama. Saya tajamkan pendengaran...rasa-rasanya saya kenal bunyi itu...oh, itu bunyi suara alarm dari handphone saya.

Saya segera terbangun. Sial, ternyata itu hanya mimpi. Saya terbangun dengan tenggorokan kering, ternyata saya tidur dengan mulut terbuka semalaman. Lumayan juga sih sensasinya....