Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

Bondowoso: Secuplik Kisah

Akhir taun. Itu adalah masa yang sangat sibuk bagi instansi pemerintah. Tiba-tiba saja semua teringat akan rencana kerja awal tahun yang sudah disusun berbulan-bulan sebelumnya. Semua kembali melihat agenda kerja mana yang belum dikerjakan. Apalagi itu menyangkut jumlah anggaran tahun berikutnya. Semua panik, semua serba dikebut kalang kabut sampe terkentut-kentut. Pun begitu dengan tempat saya bekerja. Secara sekonyong-konyong, bermunculanlah pekerjaan yang selama ini menguap tak tersentuh.


Yang paling gencar dilakukan pada bulan ini adalah agenda sosialisasi. Itu bukan program untuk menjadikan negara ini menjadi negara yang sosialis. Itu adalah upaya menyebarkan informasi kepada khalayak umum tentang apa yang dikerjakan kantor tempat saya bekerja. Apakah hal itu perlu dilakukan? Ya tentu lah ya... kalau tidak kami harus lebih keras lagi mencari hal lain yang bisa dikerjakan. Dalam satu bulan ini saja tidak kurang dari 10 agenda sosialisasi harus dilaksanakan. Bukan hanya di Jakarta Raya, tapi juga ke daerah yang tidak dapat dijangkau dengan berjalan kaki satu minggu.


Nah, ternyata saya mendapat jatah untuk pergi menyambangi kota Bondowoso. Saya pikir itu masih di bagian Jawa Barat karena saya pernah mendengar hikayat Bandung Bondowoso. Ternyata saya salah, memang Bandung Bondowoso itu adalah legenda dan bukan rute bis angkutan. Tapi saya akhirnya mengetahui kalau Bondowoso itu berada di Jawa Timur. Menurut informasi dari sang peta, teman Dora Si Petualang, Bondowoso itu terletak sekitar satu telapak tangan dari Surabaya. Ah, tidak terlalu jauh bukan? Entah tahun berapa peta itu dibuat, atau mungkin saya yang salah mengira, ternyata Bondowoso itu masih teramat jauh dari Surabaya. Sudahlah, bagaimana pun itu adalah perintah, dan saya harus melaksanakannya. Anda pun tentu tidak bersedia menggantikan saya untuk pergi ke sana bukan? Buktinya anda tidak mengirim SMS ke saya atau menelpon saya sebelum saya berangkat. Teman macam apa anda ini?


Awalnya saya ingin menolak karena saya tidak tega meninggalkan anak saya satu-satunya (hingga saat ini) tanpa kehadiran kedua orang tuanya. Akan tetapi, setelah menyadari bahwa tidak ada orang lain yang tersedia maka saya memberanikan diri untuk menerima tantangan tersebut. Saya juga berpikir lebih baik saya menerimanya, cepat atau lambat saya harus mengalaminya. Lebih baik lah Bondowoso itu, saya khawatir jika pada agenda berikutnya saya akan dikirim untuk melakukan sosialisasi di Kutub Utara. Lagipula, saya belum pernah mengunjungi kota tersebut. Pengalaman baru memang sulit untuk ditolak.


Dan saat yang berbahagia itu pun tibalah. Saya mulai mengurus segala dokumen yang diperlukan untuk keberangkatan saya. Singkatnya dapat disebut dokumen untuk meminta uang. Saya pun telah berkasak-kusuk untuk bisa mendapatkan kamar hotel di kota itu tadi, baik kamar untuk saya dan untuk narasumber. Saya boleh merasa beruntung karena narasumber saya sama dengan teman saya yang bertugas ke Njember (begitulah konon orang membacanya). Jadi setidaknya saya memiliki latar belakang informasi yang cukup. Segalanya akhirnya dapat disiapkan dengan baik. Dan saya pun siap untuk berangkat.


Pak Narasumber meminta saya untuk tiba pukul 9 di rumahnya di Surabaya yang panas di mana debu-debu banyak berterbangan dihempas oleh bis kota yang sudah miring ke kiri oleh sesaknya para penumpang yang bergelantungan. Haduh....koq saya jadi menyanyi? Maafkan! Jadi pun saya memilih penerbangan pertama pada pukul 6 pagi. Dan itu berarti saya harus berangkat dari rumah pada pukul 4 pagi. Ini adalah tantangan pertama. Adalah satu masalah buat saya untuk bagun pagi buta seperti itu. Saya tidak mau menyakiti si ayam jago karena mendahului bangun sebelum dia bahkan berniat untuk berkokok. Selain itu saya belum pernah bepergian menggunakan burung besi sendiri saja. Bagaimana kalau tiba-tiba saya tersasar dan berakhir di bagasi atau terdampar di pesawat yang salah? Masih banyak lagi ketakutan dan kekhawatiran saya.


Semalam sebelum berangkat, saya sudah menyiapkan segalanya. Dan itu selesai pada pukul 12 malam. Mungkin karena menyadari akan ditinggal ayahnya bepergian, si kecil tidak tidur dengan tenang malam itu. Dia terus terbangun dan menyebut ayah....ayah...begitu berulang-ulang sampai dia hapal di luar kepala. Pada pukul 2 pagi, ketika anak saya tercinta sudah terlelap, tiba-tiba keadaan menjadi gelap gulana. Saya pikir itu karena kotoran mata yang sedemikian besar hingga menghalangi pandangan. Saya coba mengucek mata tidak dengan deterjen tentunya. Ternyata tidak berubah. Apakah saya buta? Saya menjadi buta! Ooooh...tidaaaak! Saya mendengar tangisan anak saya, tapi saya tidak dapat melihatnya. Ini buruk, sangat sangat buruk. Oh, itu suara mertua saya. Dimana beliau berada? Saya dengar dia berkata, “Pake acara mati lampu lagi....” Hmm....baiklah....saya gak jadi buta....itu cuma mati lampu saja.


Setelah beberapa saat saya memutuskan tidak peduli dan kembali tidur. Itu pun setelah anak saya terlelap juga. Lihat itu secara samar jam di dinding sudah menunjuk jam 3 tepat. Sudah semestinya saya bangun, tapi karena masih enak, saya tertidur lagi. Saya tergopoh-gopoh bangun pukul 3.30 dan bergegas mandi. Pada pukul 4 pagi sudah siaplah saya berangkat. Satu hal yang tidak pernah terjadi selama saya bekerja. Ternyata hanya sebuah Garuda Indonesia yang bisa memaksa si aku untuk bangun pagi buta. Dan pada pukul 6 pagi itu juga, saya sudah duduk di kursi pada sisi jendela pesawat.


Sejauh ini tidak ada masalah yang terjadi. Namun kecemasan itu tidak juga bisa hilang. Tugas masih jauh dari usai. Saya mencoba menikmati pemandangan di luar jendela untuk menenangkan saya dari kecemasan dan dari kondisi kurang tidur. Pemandangan yang sangat indah; tidak ada macet, tidak ada pedagang asongan, dan pengemis. Keindahan itu semakin bertambah ketika segelas kopi dan dua gumpal roti tersaji di hadapan saya. Itu adalah hadiah dari Ibu-Ibu Pramugari secara cuma-cuma. Mungkin mereka ingin menyuap saya untuk menggunakan maskapai penerbangan itu lagi, tapi apa peduli saya.


Dasar manusia tidak pernah puas, saya pun tergiur dengan jus buah yang ternyata boleh diminta tanpa paksaan. Segelas jus apel akan membuat awal hari ini makin sempurna pikir saya. Saya pun memutuskan untuk memintanya kepada Ibu-Ibu Pramugari tadi. “Pake es, pak? Jusnya?” saya hanya mengatakan “He eh”. Pada saat itu saya ingin mengatakan bahwa yang namanya Jus Apel ya harus pake es. Kan saya minta Jus Apel bukan Ju Apel, gimana seh?!?! Tapi saya simpan saja kata-kata itu dalam hati. Saya takut diminta turun sebelum saya sampai tujuan. Bukan soal ketinggian beribu-ribu kaki yang membuat saya takut. Saya takut karena tidak ada angkot yang bisa berhenti seenaknya di atas sana.


Dan selamatlah saya sampai Surabaya dengan diamnya saya itu. Seorang supir dari travel yang sudah dipesan sebelumnya, telah menunggu saya di pintu keluar. Menyenangkan juga melihat nama saya tertulis di secarik kertas dan dilihat orang banyak. Karena saya tidak mau seluruh orang tahu kalau manusia bernama Yogi itu saya, saya hampiri dia diam-diam dan saya katakan “Pak, itu saya loh”. Karena dia orangnya mudah percaya, tidak lama kemudian kami sudah dalam mobil menuju rumah Pak Narasumber.


Setelah menunggu beberapa saat di rumah Pak Narasumber, kami pun mulai menuju Bondowoso. Pun setelah melalui gunung dan laut, panas dan hujan, kami tiba 4 jam kemudian di sebuah hotel di Bondowoso. Enam jam kemudian, semua kini sepi. Pak Narasumber dan istrinya sedang beristirahat di kamarnya. Saya sedang mengetik tulisan ini di kamar saya. Dan pak supir pun sedang mengorok dalam tidurnya.