Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

Ke Dokter

08 Agustus 2008

Udah tiga hari anak gue buang-buang air. Sehari bisa buang air sampe tujuh kali. Mana lagi sekarang musim kemarau. Air susah dicari. Tapi itu pun jauh lebih baik daripada buang-buang duit. Itu gue punya isteri udah puyeng aja mikirinnya. Mungkin dia mikir kalo kelamaan anak gue buang-buang air, dia bisa kurang tidur karena harus sering ganti popoknya. Belum lagi mikirin duit buat beli popoknya. Yang terakhir kali dia beli aja belon gue ganti pengeluarannya….hihihi…. kasian amat ya jadi istri gue. Tapi gue yakin dia gak berpikir seperti itu, dia cuma khawatir soal kondisi anak kami. Bunda kan baik hati.

Ada yang bilang kalo anak kecil sering buang air besar itu tandanya ilmunya mau nambah, gue juga bingung bil susah untuk percaya. Emang anak gue kursus waktu di dalem perut? Biarlah. Karena gue juga sebenernya khawatir, gue setuju dengan pendapat isteri tercinta untuk membawa Tya ke dokter. Lagipula apa dayaku untuk menolak permintaan tersebut secara dia itu kan ibunya, gue cuma investor.

Jadilah kami pergi berkunjung ke Pak Dokter. Setelah gue minta ijin pada atasan gue yang baik hati dan tentunya tidak sombong, kami berthreesome pergi pada pagi hari yang cerah itu. Syahdan si dokter memulai prakteknya jam 7 pagi. Wah rajin banget si dokter cari duit, tentu itu cuma perkataan gue dalem hati. Kami tiba dengan kompaknya jam 8. ternyata eh ternyata itu si dokter belum. Akhirnya si dokter itu muncul jam 8 pagi. Sewaktu dia seharusnya mengakhiri masa prakteknya pagi itu.

Ah, akhirnya datang juga giliran kami. Masuklah kami kesana, ke tempat kau berada wahai dokter. Waktu dibilang masalahnya, si dokter cuma menyarankan agar supaya anak gue tidak dikasih makanan padat dulu dan ganti susunya dengan yang rendah laktosa. Dia tulis resep dengan tulisannya yang lebih jelek dari tulisan gue, mungkin biar gue gak bisa baca atau gue terpacu untuk nulis lebih baik lagi, udah selesai. Segitu aja kami harus keluar uang 80 rebu.

Emang sih gue sadar kalo gue itu ada berkunjung ke dokter bukan tempat mencari kepuasan. Tetap saja gue tidak puas. Gak ada penjelasan yang ilmiah yang sulit gue cerna dengan kemampuan gue yang pas-pasan, yang membuat gue merasa pantas mengeluarkan uang sebanyak itu. Dokter payah!

Cacatan ke Turki - Prologue

PROLOGUE


5 Juni 2008

Suatu hari di bulan Mei. Gue sedang sibuk di ruang kerja gue, media center MKRI. Tiba-tiba secara tak terduga dan sekonyong-konyong telepon di ruangan berbunyi. Melalui alat deteksi yang ada di telepon itu diketahui bahwa si penelpon adalah sekretarisnya Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi. Singkat cerita, itu memang benar dari sekretarisnya Bapak Janedjri M. Gaffar, sang Sekretaris Jenderal dan isi pesan dari percakapan di telepon itu mengatakan bahwa beliau ingin bertemu diriku.

Sebenernya sih gue gak suka dipanggil Sekjen. Bukan kenapa, tapi saat ini gue cuma CPNS, belum jadi Sekjen. Yah…suatu hari nanti lah. Tapi karena ini adalah masalah serius, gue dengan sukarela menyerahkan diri untuk bertatap muka dengan Bapak Sekjen. Gue udah tau kalo beliau itu orang yang baik hati, akan tetapi kalo seseorang diminta menghadap beiliau tanpa orang lain itu bisa jadi pertanda buruk. Apa salah dan dosaku?

Emang biasanya kalo seseorang diminta menghadap Sekjen, yang bersangkutan berarti telah melakukan kesalahan fatal. Tapi gue bukan orang yang biasa, itu gak ada hubungannya dengan kesalahan gue. Beliau cuma ingin meminta gue ke rumahnya untuk mengajarkan (atau mengajari? Entahlah) pelajaran Bahasa Inggris untuk persiapan ujian nasional. Tapi gak cuma itu, ada pesan berikutnya dari beliau yang sangat mengejutkan.

Beliau berkata singkat “Kamu berangkat ya, ke Turki!” gue terhenyak, gue syok tapi gue senenglah. Kesamber petir gue kalo bohong! Beliau bilang gue berangkat pertengahan Mei sekitar tanggal 12. Gue mau bilang apa, toh gue juga belon pernah ke luar negeri hehehe… tapi beliau minta informasi itu dirahasiakan dulu

Gue berusaha tenang karena gue pikir gue masih punya waktu lama untuk mempersiapkan mental, dan yang lainnya. Gue mengira waktu itu masih bulan April. Ternyata gue cuma punya waktu beberapa hari untuk mempersiapkan semuanya. Ternyata juga gue berangkat berdua dengan Pak Muhidin, Kepala Bagian Administrasi Perkara.

Keesokan harinya berita itu sudah menyebar. Bapak, sumpah mati bukan saya yang menyebarkan informasi tersebut! Mungkin karena gue ngetop kali ya? Eh, bukan. Mungkin karena MK itu instansi yang kecil jadi berita apa pun cepat menyebar. Atau mungkin karena gue akan berangkat dengan seorang ikon MK. Biarlah, toh gue harus menyiapkan banyak hal terutama paspor dan dokumen lainnya.

Banyak sekali orang baik di MK ini. Gue harus berterima kasih pada banyak orang yang memberi informasi baik apa yang harus dipersiapkan, bagaimana prosedur di bandara, apa yang harus dibawa dan lain sebagainya. Mereka bilang semuanya akan baik-baik saja. Gue harus anggap ini adalah liburan dan bukan tugas. Terima kasih, teman-teman atas segalanya.

Ini adalah penugasan pertama gue secara individu. Ini adalah pengalaman pertama gue naik pesawat. Ini juga pertama kalinya gue punya paspor. Itu berarti perjalanan ini adalah pertama kali gue ke negeri lain. Gue udah menduga bahwa perjalanan ini akan menjadi sesuatu yang menakjubkan dan tak dapat terlupakan. Dan dugaan gue itu menjadi kenyataan.

Cacatan ke Turki - 1

YOU WILL NEVER WALK ALONE

13 Mei 2008

Siapa pernah nyangka kalo gue akhirnya bisa mewujudkan impian gue sejak kecil. Emang gak muluk-muluk, gue cuma pengen bisa naek pesawat dan pergi ke luar negeri. Well ada lagi sih yang lain, jadi Presiden RI tapi gue kudu tunggu sampe usia gue minimal 40 tahun seperti ketentuan di UUD 1945.

Mungkin emang udah rejeki gue, sekalinya naek pesawat ke luar negeri yang jauh. Dengan banyak pertimbangan yang gue sendiri gak tau, gue diminta menemani Pak Muhidin untuk study banding ke Turki. Turki memang salah satu negara yang pengen gue kunjungi kalo bisa ke luar negeri. Selain mayoritas penduduknya muslim yang akan memudahkan gue untuk mencari makanan Halal, Turki juga punya peranan dalam penyebaran agama Islam. Banyak monumen yang cantik, selain wanitanya yang emang cantik. Lagi-lagi siapa pernah nyangka.

Siapa juga pernah nyangka kalo gue akan pergi dengan satu orang yang sangat populer di Mahkamah Konstitusi RI. Banyak sekali bantuan yang gue terima. Terlepas dari bantuan dana yang mungkin memang seharusnya gue terima, seluruh orang di Mahkamah Konstitusi tiba-tiba diributkan dengan keberangkatan kami. Gak cuma staf, bahkan sampai Bapak Tito Sujitno yang merupakan seorang Kepala Biro Umum ikut kami repotkan. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih.

Siapa pernah nyangka kalo teman-teman di Mahkamah Konstitusi sangat perhatian dengan kesulitan temannya yang awam dengan kegiatan di airport. Pemberitahuan keberangkatan kami yang sangat mendadak, waktu persiapan kami yang sangat terbatas ternyata tidak menjadi halangan bagi kami karena ada teman-teman yang sangat perhatian dan siap membantu. Gue sempet agak khawatir dengan apa yang harus gue kerjakan setibanya gue di Bandara Soekarno-Hatta. Sekonyong-konyong rekan-rekan di bagian Protokol mengulurkan tangan mereka untuk membimbing kami. Mereka membantu pengurusan surat ke Sekretariat Negara dan Departemen Luar Negeri, mereka juga membantu pengurusan paspor dinas dan tiket keberangkatan kami. Bahkan mereka juga membimbing kami sampai titik terakhir yang dapat mereka lakukan di airport. Untuk pak Putra, Kang Asep dan Kang Medi saya ucapkan terima kasih.

Pun begitu dengan perjalanan kami. Awalnya gue mengira kalo begitu masuk pesawat kami sudah harus melepaskan ke-Indonesiaan kami karena gue naik maskapai penerbangan asing dengan awak kabin yang tidak bisa berbahasa Indonesia, dengan peraturan yang akan disampaikan dalam bahasa Inggris. No Bahasa. Siapa yang pernah nyangka, ternyata instruksi dalam pesawat Emirates yang kami naiki disampaikan dalam banyak bahasa termasuk Bahasa Indonesia. Kalau pun tidak, ternyata ada juga awak kabin yang berasal dari Indonesia. Sayang kami gak pernah bercakap-cakap.

Siapa pernah nyangka kalo ternyata sejak di bandara kami bertemu dengan orang-orang yang kami kenal. Ketika kami sudah Boarding dan sedang menunggu keberangkatan pesawat, kami bertemu dengan orang penting yang wajahnya cukup familier buat kami. Ternyata dalam pesawat yang sama, ada rombongan anggota DPR yang terhormat. Salah satunya adalah Bapak Patrialis Akbar. Beliau merupakan sosok yang sangat perhatian dengan MKRI selain memang beliau juga ramah. Gue tiba-tiba merasa tenang. Kalau sampai terjadi apa-apa, setidaknya ada yang bisa kami mintakan bantuan.

Siapa yang pernah nyangka juga kalo di Bandara Changi Internasional di Singapura ketika transit Pak Muhidin bertemu dengan salah seorang mantan muridnya. Muridnya tersebut ternyata ikut dalam rombongan anggota dewan yang terhormat untuk menuju Argentina. Memang ternyata dunia itu sempit.

Siapa pernah nyangka kalo setibanya kami di Dubai untuk transit lagi kami sempat bertemu Konjen Indonesia untuk Dubai. Memang kami tidak saling mengenal, tapi setidaknya kami sudah lapor secara informal keberadaan kami di Dubai.

Siapa pernah nyangka kalo gue kepikiran untuk menarasikan perjalanan ini ketika kami sedang beristirahat di Dubai. Memang pada saat ketikan ini gue buat, kami sedang dalam masa transit 8 jam sebelum terbang lagi ke Istanbul dan diteruskan ke Ankara.

Ah… memang siapa pernah nyangka…

Cacatan ke Turki - 2

SURPRISE…SURPRISE!!!

13 Mei 2008

Ternyata transit selama 8 jam di Dubai International Airport tidak separah yang gue bayangkan. Seperti yang banyak orang beritakan, Dubai telah menjelma menjadi sebuah wilayah yang sangat maju. Begitu pula dengan airportnya. Selain sangat luas dan tertata rapi, Bandara Internasional Dubai juga dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang cukup memadai. Kalo kita mau belanja, di sana tersebar banyak toko. Ada yang bebas cukai ada juga yang masih dikenakan cukai atas barang yang dibeli. Mungkin ada yang berpikir masalah mata uang. Ternyata berkat kecanggihan teknologi, kita juga bisa membayar menggunakan VISA elektronik. Gue beli air minum tiga botol yang notabene tidak sampai satu dolar pun bisa membayar menggunakan kartu debit tersebut.

Kalo anda lapar, banyak resto dan café. Jangan khawatir dengan selera, jika anda merupakan orang yang pemilih soal makanan ada resto internasional seperti McDonald maupun Dunkin Donut. Bahkan jika anda harus transit lebih dari 4 jam dengan menggunakan Emirate Airways ada satu lokasi yang akan menyediakan makanan gratis. Sayangnya kami tidak mencoba. Selain karena perut yang masih kenyang, gengsi dong masa pegawai Mahkamah Konstitusi minta makanan gratis. Emangnya gak dibekali duit untuk beli makan.

Lebih mengejutkan lagi, mereka telah mengantisipasi kelelahan para penumpang pesawat dengan menyediakan sleeping lounge. Jangan membayangkan hotel kalau mendengar kata tersebut. Tapi juga tidak separah kamp pengungsi perang. Mereka menyediakan banyak kursi yang bisa kita gunakan untuk meluruskan kaki. Cukup nyaman, apalagi untuk orang yang tidak mau mengeluarkan biaya. Ada juga sih hotel di Airport tersebut kalo anda punya gengsi tinggi dan mengutamakan kenyamanan serta punya dana melimpah.

Sebelum mendarat di Dubai, gue cukup merasa malu dengan tingkah segerombolan wanita asal Indonesia. Mereka itu mungkin TKW. Ternyata di Dubai gue ngeliat gerombolan lain yang lebih parah. Orang-orang India ternyata juga gak kalah semrawut. Mereka dengan tenang mengkudeta sleeping lounge tersebut untuk tidur. Gak jarang juga yang menggunakan selimut. Gue jadi kepikiran apa di India terjadi perang ketika gue berangkat dan membuat orang-orang itu minta suaka politik ke Dubai. Tapi memang bandara di Dubai sangat nyaman.

Dalam perjalanan lanjutan ke Istanbul, gue pun mendapatkan kejutan lain. Ternyata dalam pesawat yang sama ada satu orang pramugari yang cantik yang berasal dari Indonesia. Ada kemajuan lah dari sebelumnya cuma instruksi aja yang berbahasa Indonesia. Mbak Eva yang katanya berasal dari Bali tersebut ternyata (lagi) baru menjalani penerbangannya yang pertama. Luar biasa bukan? Dalam perjalanan yang pertama langsung ketemu gue. Dengan adanya mbak Eva, yang pasti nama depannya bukan Maria, gue cukup nyaman minta apa aja dalam bahasa Indonesia.

Tapi puncak kejutan terjadi di bandara Ataturk, Istanbul. Entah siapa yang harus disalahkan, tetapi hampir saja kami tidak sampai di Ankara. Setiba kami di Istanbul, kami harus melewati pos pemeriksaan paspor untuk yang kesekian kali. Antriannya panjang sekali. Karena semua penumpang Emirates Airlines dengan tujuan kemana pun harus melewati pos yang sama. Karena kami ingin mengikuti tradisi bangsa yang sudah maju dengan mengantri, kami harus menunggu cukup lama. Setelah selesai pemeriksaan paspor, kami langsung mengambil bagasi kami. Tanpa dinyana, ketika barang bawaan kami sudah lengkap, waktu sudah menunjukkan pukul 8 waktu setempat. Itu juga saat yang sama dengan penerbangan kami dari Istanbul ke Ankara. Itu berarti kami telah ketinggalan pesawat. Itu berarti kejutan terbesar ketika kami diharuskan membeli tiket yang baru oleh petugas di bagian check-in.

Gue gak bisa bayangin kalo kami berangkat dengan pembiayaan yang semula diberikan kepada kami yaitu 30 USD sehari atau sekitar 630 USD selama 21 hari. Bagaimana kami sanggup membeli tiket seharga 400 Euro atau sekitar 600 USD atau sekitar 6 juta rupiah lebih jika cuma ada 630 USD di kantong kami? Mungkin aja bisa, tapi selama kami di Ankara sampai kembali ke Jakarta, kami cuma bisa minum air kran, dan tidak bisa membeli oleh-oleh. Hidup dengan sekitar 10 USD seminggu tidak mudah disini.

Setelah berusaha menghubungi beberapa kontak kami baik di Turki maupun di Indonesia. Kami mendatangi pusat penjualan tiket untuk meminta kejelasan. Pada awalnya petugas penjual tiket juga tidak mau bertanggung jawab karena dia bilang itu kesalahan Emirates bukan kesalahan mereka. Beruntung kami memesan tiket dari Jakarta dan tercantum bahwa pembelian tiket tersebut menggunakan Euro. Karena Euro dianggap sebagai mata uang tertinggi, maka petugas di bagian penjualan tiket dengan sigap menyediakan tempat buat kami di penerbangan selanjutnya.

Seharusnya kami tiba di Ankara sekitar pukul 9 atau 10 malam waktu setempat. Berhubung ada masalah tadi, kami baru bisa berangkat pukul 11 malam dan tiba tanggal 13 Mei 2008 di bandara Esenboga, Ankara sekitar tengah malam. Gue gak bisa ngebayangin kalo Mr. Janedjri M. Gaffar yang mengalami hal tersebut. Beliau memang ada punya rencana ke Turki dua minggu sekembalinya kami ke Jakarta. Semoga beliau tidak mengalami cobaan yang sama, atau semoga beliau berbaik hati mengajak seorang dari bagian Protokol ke Turki untuk membantu perjalanan beliau.

Bandara sudah sepi pada saat kami mendarat. Hanya ada beberapa orang sekuriti dan seorang petugas troli yang bisa disewa dengan harga 1 euro. Memang banyak supir taksi di luar bandara, tapi secara umum sudah sepi. Setelah mengambil koper, kami keluar dengan bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan yang akan menjemput kami. Kami tidak ada sanak saudara yang bisa dimintai pertolongan, KBRI di Ankara juga sudah tutup. Pada kenyataannya, kekhawatiran kami tidak menjadi kenyataan. Sudah ada dua orang berdasi yang sedang menunggu kedatangan seseorang.

Benar adanya. Mereka sedang menunggu kedatangan kami. Surprise! Ternyata seorang dari mereka yang berbadan tinggi besar, yang memasang wajah serius, yang berdasi merah, yang gue gak kenal, adalah Sang Sekretaris Jenderal Anayasa Mahkemesi atau Mahkamah Konstitusi Republik Turki. Gue sempet ngerasa gak enak hati. Gue ketemu dengan seorang petinggi dari institusi terhormat di negeri orang sementara gue ini tidak lebih dari seorang CPNS. Udah gitu gue belon mandi sejak keberangkatan dari Jakarta. Tapi cuek aja lah. Dia ini yang nyium bau badan gue. Setelah meninggalkan bandara dengan menggunakan kendaraan yang sangat bagus, kira kira seperti VW Caravelle, kami diajak untuk makan malam. Mereka bilang pada jam sedemikian tidak ada lagi makanan di hotel. Luar biasa penyambutan bagi kami.

Bapak-bapak dari Anayasa Mahkemesi, kami tidak dapat membalas budi baik bapak-bapak sekalian. Semoga Mahkamah Konstitusi dapat menjamu delegasi dari Anayasa Mahkemesi ketika berkunjung ke Jakarta sebaik anda menjamu kami. Kami akan beritai Sekretaris Jenderal kami tentang hal ini.

Cscatan ke Turki - 3

TURKI…OH TURKI

14 Mei 2008

Turki pada saat ini sedang mengalami musim semi. Saat terbaik untuk berkunjung kata pendamping kami saat penjemputan. Cuaca cerah yang kadang di selingi hujan, pohon-pohon mulai kembali menghijau, suhu udara yang sejuk dan relatif dingin untuk orang Jakarta yang biasa hidup dibakar di bawah matahari yang sudah banyak buka cabang.

Turki ternyata sangat indah. Tidak seperti berita yang pernah gue denger waktu di Jakarta bahwa Turki itu gersang. Bahkan saat pertama melayang di atas negara ini dalam pesawat Boeing 777, kami sudah dapat menikmati keindahannya. Berbeda dengan Jakarta yang relatif datar, Istanbul dan Ankara berada di daerah yang berbukit. Sayangnya gue sampe saat ini belum punya kesempatan berkelana di kedua kota tersebut. Mungkin nanti akan gue coba.

Jalan raya di Turki sangat mulus dan lebar, seperti jalan tol lingkar luar di Jakarta. Di beberapa titik, gue teringat dengan gambaran yang gue terima tentang jalan raya di beberapa negara di Eropa. Tapi gue sangat terkagum-kagum karena di sini masih terdapat banyak taman kota yang indah. Jauh lebih indah dari taman Monas atau taman Situ Lembang yang ada di Jakarta. Kapan ya, Jakarta punya taman kota yang representatif?

Meskipun begitu, mungkin ada beberapa hal yang bisa dibanggakan dari Indonesia. Yang pertama gue perhatikan adalah bandara, karena itu adalah tempat pertama yang gue kunjungi setiba kami di Turki. Bandara Ataturk yang merupakan satu bandara internasional masih kalah kalo dibandingkan dengan Soekarno-Hatta. Kami bahkan menyamakan bandara tersebut dengan Bandara di Surabaya atau kota lainnya. Bandaranya kecil tapi memiliki lapangan parkir pesawat yang sangat luas. Ketika kami hendak menaiki pesawat untuk penerbangan domestik, kami harus menaiki shuttle bus dari tempat boarding menuju pesawat. Memang di dalam bis paling lama kami hanya 5 menit, tapi itu menunjukkan luasnya lapangan parkir pesawat di bandara tersebut. Jujur gue sendiri gak tau tentang penerbangan domestik dari bandara Soekarno-Hatta, tapi gue pribadi ngerasa banyak yang harus dibenahi di Ataturk untuk bisa disebut bandara internasional.

Selain itu kelebihan orang Indonesia adalah keramahtamahannya. Di sini gue susah banget mendapatkan pelayanan yang dilengkapi dengan senyuman. Waktu gue bertanya tempat pengambilan koper dari bagasi di Ataturk, solusi yang gue dapet cuma disuruh mengikuti tanda yang sudah disediakan. Tanpa senyum. Pun begitu waktu gue di check point yang akhirnya gue ketinggalan pesawat, tidak ada senyuman. Mungkin begitulah adat di sini, semua orang tampangnya serius. Dua kali gue makan di restoran, dua kali juga gue menyadari hal tersebut. Apa sih susahnya senyum?

Soal makanan, gue baru nyoba beberapa hidangan. Pertama kali yang diberikan ke gue itu semacam sup dari lentil (kacang polong). Gue gak tau apa namanya, maklum aja gue cuma dikasih. Rasanya cukup enak, seperti sup krim asparagus yang biasa gue nikmati di Pizza Hut. Gurih tapi karena dibuat dari kacang polong, teksturnya agak kasar. Kalau gak hati-hati, bisa tersedak waktu suapan pertama. Untuk sarapan pertama kami juga mendapat sup dengan tekstur yang sama kasarnya, tapi kali ini rasanya asam karena dicampur pasta tomat. Cukup menyegarkan. Selain itu makanan tidak terlalu aneh. Nasi yang semalem diberikan dan ditemani beberapa potong lamb chop rasanya gak jauh dari nasi kebuli. Semua serba gurih, danging kambing potongan itu pun rasanya cuma dimasak dengan garam, merica dan mentega. Sederhana sekali. Yang berbeda mungkin sarapan. Pagi ini gue cuma makan beberapa potong smoked beef, telor rebus 2 buah, beberapa kerat roti dan dua macam keju. Buat gue itu gak masalah, tapi buat rekan seprofesi gue mungkin itu gak nendang. Maklum dia orang dengan reputasi internasional tapi dengan selera lokal.

Bagaimana pun ini baru penilaian awal gue tentang Turki. Bisa berubah setelah beberapa hari. Yang pasti suka gak suka gue akan tetap di sini sampai tiga minggu ke depan. Semoga gue betah.

Cacatan ke Turki - 4

86…LANJUT DAAAAN…

14 Mei 2008

Program kunjungan gue di Turki harusnya udah mulai pada hari ini. Tapi berhubung gue baru sampe hotel jam 3 pagi maka pihak Mahkamah Konstitusi Turki memutuskan untuk menunda program sampai besok hari. Mereka sangat paham bahwa kami butuh banyak istirahat sebelum memulai program kami. Jadi sebenernya hari ini gue bebas.

Tadinya gue mau jalan-jalan tapi berhubung semua rambu lalu lintas berbahasa Turki maka gue dan Mr. Muhidin memutuskan hanya tinggal di apartemen aja. Gue takut nyasar terus keluar-keluar ada di Arab seperti keinginan Pak Muh. Kalau pun ada kegiatan hari ini gue cuma berkunjung ke Kedutaan Besar RI di Ankara dan berkunjung ke Mahkamah Konstitusi. Rencananya malam ini ada acara makan malam bersama sekretaris jenderal MK Turki.

Lagi pula apartemen kami yang memang dikhususkan untuk para hakim baik konstitusi maupun bukan terletak di wilayah yang cukup sepi. Karena jauh dari keramaian, gue males kalo harus keluar jalan-jalan. Mungkin nanti gue akan jalan-jalan mencari keindahan wanita. Meskipun apartemen ini disebut berkualitas bintang 5, tapi menurut gue gak jauh dari hotel bintang 3 yang ada di Bandung, tempat dimana Tya anak gue diproses. Gue dikasih di lantai 1 kamar 112 sementara Gus Muh berada di lantai 6 tepatnya kamar 161.

Tapi sejelek-jeleknya, tetap aja lebih baik daripada harus mencari sendiri. gue dilayani dengan cukup baik. Gak ada yang lebih istimewa dari makanan gratis dan tidur nyenyak bukan?

Mungkin karena diperuntukkan bagi orang terpandang dan terhormat, pengamanan di sini cukup ketat. Ketika baru mau masuk kita harus minta dibukain pintu pagar secara elektronis pada penjaga yang ada. Hampir sama dengan di Indonesia yang pake portal. Enaknya di sini mobil gak perlu diperiksa pake kaca kaya kelakuan temen gue waktu SMP yang mau ngintip celana dalem temen perempuan. Penjaganya sendiri tidak main-main, mereka berteman dengan senjata laras panjang yang selalu dekat di hati. Coba kalo iseng kita bandingkan dengan keamanan di Indonesia. Satpam di hotel atau di pusat perbelanjaan cuma dilengkapi pentungan. Gimana bisa aman? Kalo ada pencuri kendaraan yang kemudian kabur, apa iya mereka mau ngelempar pentungan?

Oh iya, pihak kedutaan cukup baik menerima kami seperti seharusnya. Kami banyak bertanya tentang Turki dan akan dijadwalkan akan bertemu Bapak Awang Bahrin, Duta Besar Indonesia tapi waktunya belum dijadwalkan. Ternyata kedutaan di sana cuma menempati satu gedung dengan 3 lantai. Sempit banget. Bagusnya gedung itu sudah menjadi hak milik jadi gak mungkin digusur atau dipindah.

Selepas dari kedutaan, kami mengarah ke Anayasa Mahkemesi yang letaknya tidak jauh dari KBRI. Ini cuma kunjungan informal aja. Gak ada agenda yang mau dikerjakan. Ternyata keamanan memang seperti menjadi perhatian utama di Turki. Ketika memasuki Anayasa Mahkemesi kami dihadapkan dengan mesin sinar x dan detektor metal. Pihak keamanan sudah siap memasang wajah sangar. Kalo bukan karena undangan, gue gak mau masuk kesana. Di MKRI, metal detector seperti itu cuma dipasang sebelum memasuki ruang sidang. Setelah itu kami harus melewati palang otomatis seperti yang banyak terdapat di halte busway. Bukan main keamanannya, atau mungkin itu pertanda pentingnya Anayasa Mahkemesi dalam tatanegara Turki.

Selain bertemu Sekjen, kami akhirnya bertemu Mr. Bahadur yang kami kenal melalui email dan suara saja sebelumnya. Dia cukup bersahabat dan beliau memiliki ketertarikan dalam mempelajari Bahasa Indonesia. Selain beliau kami juga bertemu beberapa Judge Rapporteur. Dalam pertemuan itu kami membahas sedikit tentang program yang akan kami lakukan. Kami juga dibekali beberapa materi tentang Turki yang dikemas dalam tas cantik berbahan kulit. Terima Kasih banyak.

Lokasi kantor kami ada di lantai 6, di ruang tersebut selain gue dan Gus Muh ada satu orang Judge Rapporteur yang siap membantu kami. Ruangnya cukup sempit tapi menyenangkan. Judge Rapporteur lainnya juga ada di lantai yang sama. Jadi kalau kami membutuhkan sesuatu kami bisa minta pertolongan mereka.

Turki memiliki bangunan yang cukup unik. Di apartemen kami, lift memiliki pintu yang harus dibuka dan ditutup secara manual seperti jaman dulu. Lain di apartemen, lain di Anayasa Mahkemesi. Di sana setiap lantai hanya ada 1 toilet. Kalau lantai 6 toiletnya diperuntukkan bagi wanita, maka toilet lantai 5 khusus untuk laki-laki dan begitu seterusnya berselang-seling.

Cukuplah segitu tentang toilet. Kami juga melihat ruang sidang Pleno yang berbeda dengan di MKRI. Di sini ruang sidang tidak berbeda jauh dengan ruang kuliah. Di bagian depan memang ada meja panel hakim dan di depan meja panel hakim ada meja kecil yang mungkin untuk panitera. Kursi untuk pengunjung dibuat seperti di bioskop di Indonesia dan tanpa pembatas. Asumsi gue, karena masyarakat Turki cenderung lebih tertib maka pagar pembatas tidak dibutuhkan. Entah benar atau tidak.

Kami juga sempat melihat ruang rapat permusyawaratan hakim. Mereka membuat ruang RPH yang kedap suara. Selain dilengkapi bantalan tebal di pintu, mereka juga membuat pintu berlapis. Sehingga ketika kita membuka pintu masuk pertama kita juga harus membuka pintu kedua. Kerahasiaan pasti terjamin.

Serunya lagi di dalam ruang tersebut dipasang dua kamera CCTV. Pernah gak ya ada penampakan yang tertangkap kamera seperti di MKRI. Selain itu mereka juga menyediakan proyektor kalau ada yang ingin menampilkan slide powerpoint. Di sisi ini gue melihat MKRI harus belajar membenahi ruang RPH. Selain keamanan yang pasti terjamin karena cuma hakim dan judge rapporteur yang bisa masuk, dokumentasi mereka juga terjaga dengan adanya CCTV yang merekam seluruh pembicaraan dalam ruangan. Ditambah lagi, tidak ada TV dalam ruangan. Tidak seperti di Indonesia. Gue menilai ini menunjukkan keseriusan mereka dalam bekerja. Bukan gue mau bilang kalo hakim konstitusi di Indonesia tidak serius, tapi buat apa ada TV ketika bekerja? Gue acungkan empat jempol untuk itu.

Jadi kesimpulan gue hari ini, Turki sangat concern dengan keamanan. Meski itu membuat gue agak kurang nyaman, tindakan preventif seperti itu layak dilakukan dan mungkin begitulah seharusnya.

Cacatan ke Turki - 5

MAHMOUD BEY

16 Mei 2008

Dalam bahasa Turki Bey atau Bay artinya Tuan atau mister. Mahmoud Bey atau tuan Mahmud (bukan berarti Mamah Muda) bukan siapa-siapa. Dia bukan orang dari kalangan terhormat, tapi perlu gue hormati. Mahmoud Bey bukan orang kecil karena postur tubuhnya tinggi besar bahkan cenderung tambun. Mahmoud Bey juga tidak terlalu ganteng, tapi juga gak bisa dibilang jelek. Mahmoud Bey punya tampang yang khas Turki dengan garis wajah yang keras, sedikit sangar, terkesan serius meskipun dalam hatinya dia orang yang baik.

Itulah Mahmoud Bey yang selalu setia menjemput kami setiap pagi hari pukul 09.30 waktu Turki. Itulah Mahmoud Bey yang gak pernah telat untuk berada di ATGV Hakim evi tempat kami menginap. Itulah Mahmoud Bey yang selalu tergesa-gesa waktu mengendalikan mobil supaya baik jalannya. Itulah Mahmoud Bey yang berusaha untuk mengantar kami tepat waktu sampai di kantor. Itulah Mahmoud Bey yang selalu salip kiri dan salip kanan di tengah lalu lintas Ankara yang sebenarnya tidak pernah macet seperti Jakarta.

Percuma gue jelaskan tentang Mahmoud Bey yang selalu ingin berkomunikasi dengan kami meskipun dia cuma fasih bahasa Turki. Percuma juga gue jelaskan tentang usaha Mahmoud Bey untuk berkomunikasi meskipun dengan bahasa gerak tubuh ditambah Bahasa Inggris terpatah-patah dengan logat yang agak sulit dipahami yang baru dia pelajari di dalam kendaraan, waktu lampu merah di perempatan jalan sedang menyala, waktu dia sedang tidak sibuk. Percuma gue jelaskan tentang Mahmoud Bey yang menjadi bukti bahwa bahasa hati lebih universal daripada bahasa verbal.

Apa anda kenal dengan Mahmoud Bey yang tidak pernah mengeluh dalam melayani kami? Apa anda kenal dengan Mahmoud Bey yang selalu meminta gue duduk dengan tenang ketika kami sedang menunggu Pak Muhidin untuk tiba di lobby hotel? Apa anda kenal dengan Mahmoud Bey yang tersenyum tulus dan dengan gerakan tangannya berusaha meyakinkan kami bahwa dia tahu arah dan jalan tercepat untuk mencapai tempat tujuan kami?

Pasti anda tidak akan tahu siapa Mahmoud Bey yang diam-diam ikut sholat Jumat bersama kami di tengah lingkungan kerja dan lingkungan masyarakat yang sekuler. Pasti anda tidak tahu siapa Mahmoud Bey yang mengajarkan gue menggunakan mesin pemoles sepatu yang terletak di satu pojok dekat resepsionis hotel tempat kami bermalam. Pasti anda tidak akan tahu siapa Mahmoud Bey yang selalu agak kecewa kalo kami membuka dan menutup pintu mobil tanpa bantuan dia dan pasti anda tidak akan tahu siapa Mahmoud Bey yang agak terheran-heran waktu gue duduk di samping dia dalam mobil ketimbang duduk di belakang bersama Pak Muhidin.

Memang anda tidak perlu tahu dan gue gak perlu memberitahu anda siapa Mahmoud Bey karena dia bukan siapa-siapa. Dia cuma seorang supir yang bertugas mengantar Sekretaris Jenderal Anayasa Mahkemesi dengan tugas tambahan untuk menjemput dan mengantar dua orang tamu tempat dia bekerja.

Cacatan ke Turki - 6

ANAYASA MAHKEMESI

16 Mei 2008

Seandainya saja Mahkamah Konstitusi seperti Anayasa Mahkemesi yang ketika jam kerja tidak ada orang yang berlalu-lalang di koridor tanpa kerjaan selain office boy dan cleaning service dan pengantar minum. Semua orang berada di ruangan masing-masing yang kerap kali tertutup. Bukan untuk main game di komputer atau chatting lewat fasilitas komputer, tapi mereka sibuk bekerja.

Seandainya saja Mahkamah Konstitusi seperti Anayasa Mahkemesi yang setiap siang menyediakan makan siang lengkap untuk seluruh hakim dan pegawainya. Makan siang lengkap itu dimulai dengan makanan pembuka yang dapat berupa bermacam sup dan disusul dengan makanan inti lalu ada makanan penutup. Tidak hanya itu, acara makan siang diakhiri dengan secangkir teh atau kopi atau the herbal. Para pegawai tidak perlu keluyuran mencari makan di warung-warung di luar kantor sehingga waktu kerja mereka akan lebih efektif. Makan siang bersama juga bisa digunakan untuk membahas pekerjaan yang belum selesai ketika jam makan siang sudah tiba. Para pegawai juga punya kesempatan untuk saling bertegur sapa dan berbincang-bincang secara langsung tanpa harus bergantung pada keberadaan komputer.

Seandainya saja Mahkamah Konstitusi seperti Anayasa Mahkemesi yang jarang sekali pulang lewat waktu. Semua orang masuk kantor tepat waktu dan pulang pun tepat waktu. Penggunaan listrik bisa dikurangi dan semua orang masih memiliki waktu untuk keluarga. Mungkin bukan hanya listrik yang bisa dihemat, air bersih pun bisa dihemat ketika orang sudah meninggalkan kantor pada waktu yang telah ditentukan. Begitu pula dengan hari libur. Tidak ada kegiatan di kantor berarti penghematan.

Seandainya saja Mahkamah Konstitusi seperti Anayasa Mahkemesi yang jarang mengadakan rapat yang tidak efektif. Rapat yang cuma untuk mendengarkan hal yang sama berulang kali. Semua pegawai akan dapat menjalankan tugasnya dengan lebih fokus tanpa terbebani masalah pembuatan kebijakan institusi yang seharusnya dapat dilakukan oleh seorang atau beberapa orang pejabat tertentu saja.

Seandainya saja Mahkamah Konstitusi seperti Anayasa Mahkemesi yang tidak pernah mengadakan kegiatan selain yang berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi institusi tersebut. Tidak ada acara pinjam meminjam gedung untuk acara seseorang atau kelompok orang tertentu yang tidak ada sangkut pautnya dengan lembaga tersebut secara langsung. Jadi orang tidak bingung apakah itu lembaga terhormat atau event organizer yang bernama seperti sebuah lembaga terhormat.

Seandainya saja Mahkamah Konstitusi seperti Anayasa Mahkemesi yang memiliki seorang pemimpin yang ramah dan rendah hati. Seorang yang tidak mencari popularitas dan tulus mengerjakan tugasnya hanya demi kepentingan institusi tanpa mempedulikan kepentingan pribadi. Seluruh bawahannya pasti akan meniru untuk mengerjakan tugas secara tulus dan tentunya akan menghormati atasannya tanpa harus diminta atau merasa takut.

Seandainya saja Mahkamah Konstitusi seperti Anayasa Mahkemesi yang telah berusia 47 tahun dan bertahan diantara sekian banyak amandemen konstitusi. Gue yakin empat puluh tahun ke depan Mahkamah Konstitusi akan jauh lebih baik daripada Anayasa Mahkemesi.

Cacatan ke Turki - 7

TAMAM…TAMAM

18 Mei 2008

Gue sangat beruntung bisa dikirim ke Turki. Mungkin gue harus sangat berterimakasih sama Bapak Janedjri M. Gaffar yang mengijinkan gue menemani Gus Muh kesini. Di sini gue baru merasakan nikmatnya jadi orang Indonesia. Biasanya yang gue tau kalo ada TKI di negeri orang, beritanya kalo gak disiksa, disiram air panas, atau disuruh kerja tanpa digaji. Orang Indonesia, terutama kami berdua, di Turki sini kami dianggap seperti sodara. Setidaknya mereka merasa sodara seiman karena mereka tau mayoritas orang Indonesia beragama Islam. Sangat menyenangkan dianggap sodara seiman di tengah negara yang mengaku sekuler.

Selain di Anayasa Mahkemesi, banyak sekali yang gue pelajari dari perjalanan ini. Gue sebelumnya gak pernah tau kalo bunga tulip itu asalnya dari Turki. Memang negara yang terkenal dengan sebutan Negeri Bunga Tulip adalah Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun. Dasar penjajah! Mereka tidak memberitahu kita kalo mereka sebenernya udah mencuri identitas bangsa lain. Waktu hari Jumat 1(16/5) gue diajak berkeliling kota dengan ditemani dua orang kawan yang menjabat Judge Rapporteur di Anayasa Mahkemesi. Maaf kalo gue lupa nama sodara sekalian, memang ini adalah kelemahan gue. Pertama kami diajak ke sebuah galeri seni. Sebenernya gue gak ngerti apa-apa soal seni tapi ya sudahlah gue nikmati aja. Di situ kami dihadapkan dengan sekelompok lukisan bunga tulip yang indah. Di situ kami juga diceritakan bahwa dinasti Ottoman yang dulu berkuasa di Turki terkenal dengan dinasti bunga tulip. Pada waktu itu ratusan jenis bunga tulip dapat ditemui di Turki. Kemudian Belanda mengambil beberapa jenis untuk digandakan di negeri kincir tersebut. Karena keterusan bunga tulip justru sekarang lebih banyak ada di Belanda ketimbang di Turki. Sekali lagi, buat orang Belanda, malu dong kalian mengakui identitas negara lain.

Selain itu siapa yang nyangka kalo kata ‘yoghurt’ itu juga asalnya dari Turki. Di Bandung ada satu tempat favorit gue yang menjual yoghurt aneka rasa. Gue gak pernah peduli darimana asal muasal benda yang berasal dari susu yang difermentasi tersebut. Ternyata sekarang gue baru tau. Pengertian yoghurt di Turki sangat berbeda dengan pengertian orang Indonesia tentang benda yang sama. Kalo di Indonesia, yoghurt itu bentuknya cair menyerupai susu dan biasanya telah dipermanis dan diberi rasa. Ternyata di Turki, yoghurt itu bentuknya kental hampir menyerupai krim kocok. Kalo udah diencerkan dengan tambahan air, namanya berubah menjadi ‘ayran’. Kedua benda tersebut merupakan sajian favorit di Turki di setiap hidangan makan. Keduanya juga dinikmati dingin dan tanpa ditambah gula. Jadi rasanya asam-kecut sebagaimana layaknya.

Gue juga baru tau kalo penduduk Turki merupakan penggila teh dan kopi. Teh atau yang dalam bahasa Turki disebut Çay (chay) disajikan dalam gelas mungil yang lucu ditemani dua bongkah gula. Orang Turki bisa minum sampe dua puluh gelas teh setiap hari. Setiap gelas teh yang disajikan itu biasanya sangat pekat. Gak seperti di Indonesia, apalagi di warteg, teh cuma buat pewarna aja. Di Turki teh juga jadi minuman sosial. Setiap ketemu kawan atau rekan kerja atau siapa saja, pasti mereka akan ditemani secangkir teh.

Begitu juga dengan kopi yang juga menjadi minuman andalan. Bahkan orang Turki wajib minum kopi setelah sarapan. Bahkan kata Bahadir Bey, sarapan yang dalam bahasa Turki disebut ‘Kahvalte’ berasal dari dua kata; ‘kahve’ yang berarti kopi dan ‘alte’ yang artinya sebelum. Jadi secara harfiah, sarapan itu berarti ‘sebelum kopi’. Luar biasa bukan? Sekedar informasi, kalo kita ada di café atau restoran dan kita memesan kopi, biasanya kita akan ditawarkan dua macam kopi, nescafe atau kopi turki.

Yang dimaksud dengan nescafe itu kopi instan seperti yang banyak di supermarket di Indonesia. Yang berbeda adalah kopi Turki. Dari cara masak, cara menyajikan dan rasanya sangat unik. Secara tradisional, bubuk kopi Turki dimasukkan kedalam cangkir kecil bertangkai panjang yang terbuat dari tembaga kemudian diguyur dengan air mendidih. Setelah beberapa saat, kopi itu dituang kedalam cangkir, yang lagi-lagi, mungil. Kopi itu udah bisa dinikmati dengan tambahan beberapa bongkah gula. Rasanya? Memang berbeda dengan kopi di Indonesia yang biasanya wangi, kopi Turki cenderung kurang kuat wanginya. Tapi waktu pertama masuk tenggorokkan, wuih...pahit dan kental banget. Mak nyosss...mata langsung terang, jantung berdebar, kepala sedikit pusing. Tapi kalo udah beberapa kali, apalagi kalo gratis, rasanya enak banget. Mungkin karena gratis kali ya...

Lanjut dengan perjalanan gue keliling kota, gue sempet mampir di salah satu mall di Turki yang ternyata ada ruang untuk resepsi pernikahan. Gak penting sih memang, yang hebat adalah bangunan disebelahnya Atakuleye (dibaca ‘atakulee’ dengan bibir sangat memble). Atakuleye itu seperti Monas, sebuah menara yang dari atasnya kita bisa melihat seluruh kota. Ternyata banyak sekali gedung yang didepannya digantung bendera. Bukan dikibarkan tapi digantung dari atas gedung ke bawah dengan ukuran yang sangat besar. Gak jarang juga di sampingnya ada foto Mustafa Kemal Ataturk, Bapak bangsa Turki. Gue sangat kagum dengan nasionalisme bangsa Turki.

Terlepas dari bendera dan foto bapak bangsa, di setiap titik di kota Ankara sangat kentara sekali aroma Turki. Banyak tempat makan yang menjual kebap yang merupakan makanan asli Turki meskipun ada beragam jenis kebap yang dijual. Terlebih lagi semua toko menggunakan bahasa Turki daripada sok menggunakan bahasa Inggris. Coba liat Jakarta yang udah gak berasa ada di Jakarta. Banyak nama tempat yang menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Rumah di pinggir kali aja sekarang namanya River Side View. Belon lagi soal makanan, jarang ada rumah makan yang khusus jual makanan betawi yang lengkap dengan kerak telornya. Emang bener kata Prof. Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi, bahwa orang Indonesia sekarang udah krisis identitas. Kita cuma bisa niru kebudayaan orang lain dan dicampur aduk sedemikian rupa.

Mungkin kita harus niru Turki dalam urusan kebangsaan dan identitas negara. Mungkin kita emang butuh seorang figur yang dikagumi dan dihormati seluruh bangsa Indonesia. Mungkin butuh waktu lama agar bangsa dan negara kita bisa dibilang ‘Tamam...Tamam’


*) Tamam : Baik, oke

Cacatan ke Turki - 8

MR. KAYA YANG KAYA

19 Mei 2008

Dalam bahasa Indonesia, Kaya berarti memiliki banyak. Kaya harta berarti memiliki banyak harta, kaya ilmu berarti memiliki banyak ilmu, tapi kaya hati bukan berarti memiliki banyak hati. Kaya hati berarti orang tersebut memiliki hati yang mulia.

Kira-kira begitu juga orang yang bernama Mehmet Oguz Kaya ini. Beliau adalah seorang Judge Rapporteur yang diberi tugas tambahan sebagai Sekretaris Jenderal Anayasa Mahkemesi. Sebagai seorang Judge Rapporteur, beliau sudah pasti banyak ilmu. Di Turki tidak sama dengan di Jakarta. Itu sudah pasti. Menjadi seorang Judge Rapporteur bukan soal yang mudah. Semua Judge Rapporteur sebenernya adalah hakim di institusi peradilan yang lain. Memang di Anayasa Mahkemesi mereka hanya bertugas memberikan seluruh informasi yang dibutuhkan Hakim Konstitusi tentang perkara yang mereka tangani. Dengan bantuan Judge Rapporteur, para Hakim Konstitusi yang terhormat hanya perlu berdiskusi untuk menghasilkan putusan yang terbaik untuk semua pihak. Begitulah tugas seorang Mehmet Oguz Kaya. Tentu tidak sembarangan dia dipercaya sebagai seorang Judge Rapporteur di Anayasa Mahkemesi. Dia tentu memiliki kapabilitas dan kompetensi untuk berada di posisi tersebut. Jadi bolehlah kiranya kalau kita menganggap dia sebagai seorang yang kaya ilmu.

Tentu juga tidak sembarangan kalo dia dipercaya untuk mendapat tugas tambahan sebagai seorang Sekretaris Jenderal di sebuah institusi terpandang dan tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Turki. Sekali lagi, tentu dia memang kaya ilmu sehingga dia ditunjuk untuk menduduki posisi itu. Ada barang tentu ada harga, begitu kata orang. Maksudnya tugas tambahan yang diberikan kepadanya tentu juga diimbangi dengan tambahan penghasilan. Gue belon pernah tanya berapa gaji sebagai seorang Judge Rapporteur di Turki. Setidaknya gue bisa bayangin kalo hampir semua Judge Rapporteur memiliki kendaraan yang bagus, berarti mereka mendapatkan penghasilan yang jauh di atas rata-rata masyarakat lainnya. Nah, apalagi kalo seorang Judge Rapporteur ditambah tugasnya dengan menjabat posisi Sekretaris Jenderal. Gak salah kalo gue bilang seorang Mehmet Oguz Kaya memang seorang yang kaya akan harta.

Tapi bukan kekayaan atau keilmuan yang menentukan kualitas seseorang. Sikap dan kepribadian seseoranglah yang menjadikan seseorang itu dihormati atau tidak. Di sini kualitas seorang Mehmet Oguz Kaya melebihi kekayaan akan harta dan ilmunya. Dari sejak gue pertama ketemu dengan beliau, gue udah dibuat sungkan dan terperangah dengan kekayaan hati beliau. Mungkin udah pernah gue ceritakan bagaimana Mr. Kaya mau bersabar menunggu kami di bandara Esenboga meskipun kami telat tiga jam dari rencana semula. Memang itu bukan salah kami, tapi tetap kami merasa tidak enak dengan beliau karena biar bagaimana beliau adalah seorang Sekretaris Jenderal. Belum lagi kalau melihat penampilan kami yang lusuh dan tidak karuan setelah perjalanan panjang dan (maaf) kami belum mandi. Gue yakin tidak akan menemukan seorang Sekretaris Jenderal seperti Mr. Kaya di belantara Jakarta.

Gue terus dibuat terkesima dalam perjalanan dari Bandara ke tempat kami makan malam. Semula kami dijadwalkan langsung ke apartemen, tapi beliau berpikir kalo kami butuh makan malam sebelum kami beristirahat dan tidak mungkin kami mendapatkan makanan di apartemen pada tengah malam seperti itu. Sehingga beliau meminta sang pengemudi memutar halauan menuju sebuah restoran. Luar biasa sekali perhatian beliau.

Hal tersebut ditambah lagi dengan cara beliau duduk di dalam VW Caravelle yang membawa kami. Beliau mau bersusah payah menghadap ke belakang meskipun kursi dalam mobil tersebut tidak dibuat untuk bisa menghadap ke belakang. Kami merasa semakin sungkan. Sementara kenyataan bahwa kami belum mandi semakin membuat kami memojokkan diri supaya bau badan kami tidak mengganggu, dia terus menatap kami dan mengajak kami berkomunikasi dengan bantuan Bay Mustafa Baysal dengan ramah.

Dengan pertimbangan beliau pula kami memutuskan untuk tidak memulai program kami pada pagi harinya. Biarpun begitu kami menyempatkan diri mengunjungi Anayasa Mahkemesi. Mr. Kaya tidak henti-hentinya membuat kami terkesima. Dengan penyambutan yang ramah kami membahas program kerja kami dan kami diberi oleh-oleh sebuah tas cantik. Mungkin memang itu tradisi di Anayasa Mahkemesi, tapi untuk seorang pegawai seperti gue itu merupakan sebuah penghargaan yang tinggi.

Malamnya kami diberi kesempatan oleh Mr. Kaya untuk mencicipi sajian tradisional di sebuah restoran yang paling terkenal di Ankara. Di situ kami bertemu beberapa kolega yang juga berprofesi sebagai Judge Rapporteur. Kami tidak pernah mengira kalau kami akan diajak ke restoran yang sebagus itu. Mungkin kalo Sekretaris Jenderalnya bukan Mr. Kaya, kami hanya akan diajak makan di restoran yang seperti ketika kami baru menjejakkan kaki di Ankara.

Sejak saat itu, setiap kami bertemu di kantor, kami diajak bersalaman dengan cara khas keislaman yaitu dengan berpelukan. Itu menunjukkan keakraban antara kedua belah pihak. Itu berarti ada sentuhan emosional antara keduanya. Itu berarti Mr. Kaya telah menganggap kami sebagai kawan akrab atau bahkan sodara. Itu berarti bahwa Mr. Kaya menganggap kami setara dengan beliau. Itu berarti bahwa Mr. Kaya memang orang yang kaya hati. Itu berarti sekali lagi gue harus mengucapkan terima kasih.

Kemarin kami lagi-lagi merasakan keramahan dan kemurahan hati seorang Mr. Kaya. Kemarin kami diajak beliau mengunjungi Safran Bolu yang merupakan tempat yang bersejarah. Kemarin kami juga kembali dihadiahi oleh beliau sebuah baju yang dibuat oleh tangan dan sebuah sajadah cantik di Safran Bolu. Kemarin, dalam hati, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Mr. Kaya. Kemarin, juga dalam hati, kami mengatakan bahwa kami tidak dapat membalas kemurahan hati anda Mr. Kaya dan mungkin hanya Allah yang bisa. Kemarin kami mendoakan semoga Mr. Kaya akan semakin kaya.

Cacatan ke Turki - 9

YANG MULUS DI ULUS

23 Mei 2008

Keberadaan gue di Turki kayaknya memang sangat dimanfaatkan oleh orang-orang di Anayasa Mahkemesi. Mereka gak bisa ngeliat kami berleha-leha di Apartemen tempat kami menginap. Gue inget cuma dua hari kami bisa bangun siang. Selebihnya ada aja program acara yang harus kami ikuti. Kalo gak kerja, kami selalu diajak jalan-jalan. Maaf kepada rekan-rekan rapporteur-judge, saya hanya bercanda... kami senang koq bisa diajak jalan-jalan. Beneran deh...

Akhir pekan pertama kami di Turki memang diisi dengan jalan-jalan. Hari jumat, kami diajak ke Atakuleye Tower dan berkunjung ke art galeri. Pada keesokan harinya, Sabtu, kami diajak jalan-jalan ke Ulus oleh Mustafa (Çagatay) Bey dan Ahmed Bey. Ulus terletak di Ankara bagian utara, tapi gue lupa ngukur jaraknya jadi gue gak tau berapa jauh. Menurut rekan-rekan yang mengasuh kami, Ulus adalah kota tua Ankara. Di Ulus masih banyak bangunan yang telah berdiri sebelum adanya modernisasi di Ankara. Ketika modernisasi merambah Ankara, beberapa bagian wilayah Ankara mulai berubah menjadi daerah bisnis dan perkantoran. Daerah Çankaya (cangkaya...begitulah bacanya) misalnya, daerah dimana terdapat Anayasa Mahkemesi dan Kedubes RI itu sekarang menjadi kawasan elit tempat orang kaya bermukim. Mungkin harusnya nama daerah itu diubah menjadi Toskaya bukan lagi Cankaya karena dalam Basa Sunda Cankaya itu berarti belum kaya.

Sebelum kami tiba di Ulus, dan memang satu arah, kami diajak berkunjung ke mesjid Kocatepe. Kocatepe dalam bahasa Turki berarti bukit besar. Ternyata bukan hanya bukitnya yang besar, mesjidnya pun besar banget. Konon (mohon jangan dibaca dari belakang!) mesjid ini adalah yang terbesar di Turki. Ukuran bukan masalah, paling besar sekarang belum tentu begitu sepuluh taun lagi. Yang paling penting adalah keindahan mesjid ini. Mesjid yang pembangunannya berlangsung selama 10 tahun ini punya arsitektur yang sangat indah. Mesjid ini dihiasi kaca patri beraneka ragam warna yang sangat indah, jadi bukan cuma gereja aja yang punya. Di bawah kubah, tergantung (dalam arti sebenernya) bola yang tersusun dari ratusan bola lampu.

Yang mengejutkan buat gue adalah apa yang ada di bawah mesjid. Ada supermarket yang besar, ramai dan cukup lengkap! Gue jadi teringat waktu gue meliput kegiatan di Jakarta Islamic Center. Waktu itu salah satu point penting dari ceramah yang disampaikan seorang budayawan adalah saat ini cuma ada 2 kebudayaan besar yaitu kebudayaan masjid dan kebudayaan pasar. Dia juga bilang kalo kebudayaan mesjid harus berada di atas kebudayaan pasar. Pak...ternyata memang udah ada contoh konkretnya!

Kami gak berlama-lama di sana dan kembali melanjutkan perjalanan ke Ulus. Letak Ulus gak jauh dari Kocatepe, tapi kalo jalan kaki pasti capek. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah sebuah mesjid lainnya. Nama mesjid itu adalah Haci Bayram (Haji Bayram). Haji Bayram adalah seorang ulama yang berperan besar dalam menyiarkan islam di Turki. Menariknya lagi, lokasi mesjid yang dibangun pada abad ke-15 ini berada dekat lokasi istana kaisar Augustus pada jaman Romawi kuno. Kita masih bisa melihat sisa reruntuhan dari istana tersebut di sebelah mesjid Haci Bayram.

Di dekat masjid tersebut, ada pasar yang menjual perlengkapan muslim. Agak susah memang mencari perlengkapan muslim di Turki karena, sekali lagi, Turki memutuskan untuk menjadi negara sekuler. Tadinya gue mau mencari Fez di sana, tapi gak ada yang bagus. Fez adalah kopiah khas Turki. Gak seperti peci yang berwarna hitam. Fez warnanya merah dan agak tinggi. Selain itu Fez punya kuncir kuda yang dulu berfungsi untuk mengusir lalat. Itu adalah barang yang gue harus beli karena Fez cuma bisa ditemui di Turki.

Selepas melihat-lihat mesjid tersebut gue diajak melihat benteng Ankara yang juga dibangun pada kekaisaran Romawi. Tapi sebelumnya kami mampir di museum peradaban Anatolia. Anatolia adalah sebutan kawasan Turki yang ada di Asia, dan Anatolia juga sering disebut untuk mewakili kawasan Turki secara keseluruhan. Kami masuk dengan tiket khusus bagi pengunjung yang datang dengan urusan dinas di Turki. Kami bisa masuk dengan gratis. Luar biasa promosi Turki ini. Luar biasa juga apresiasi masyarakat Turki terhadap museum dan peninggalan bersejarah. Mereka sangat menjaga barang-barang warisan tradisi ini.

Benteng Turki berada di atas bukit yang cukup tinggi. Agak melelahkan memang jalan menuju benteng tersebut. Tapi ketika berada di puncaknya, pemandangan yang ada jauh lebih bagus dari yang gue liat dari Atakuleye. Seluruh kota bisa keliatan jelas. Sangat kentara perbadaan Ankara yang moderen dan Ankara yang tradisional dari atas sana.

Dan akhirnya kami berkunjung ke sebuah toko yang menjual barang tenunan. Di sana gue bisa membeli Fez (akhirnya...) dan di sana juga Gus Muh menjatuhkan setumpuk tas tenun dari rak. Di sana juga gue baru tau kalo kita menjatuhkan banyak barang seperti itu, yang punya toko senang bukannya marah. Dengan terlihat berantakan, yang punya toko berharap orang lain akan menganggap toko itu laku dan dikunjungi banyak orang. Jadi menjatuhkan barang di kawasan itu bisa dianggap sebagai penglaris. Kalo tau gitu, sekalian aja gue berantakin seluruh tokonya.

Gak ada yang lebih menyenangkan daripada bisa dapet barang yang gue incar. Beberapa Fez mulus yang akan gue bawa ke Jakarta, udah di dalam tas, pengalaman baru pun gue dapet. Çok Teşekkür Ederim! Thank you very much
!

Cacatan ke Turki - 10

SAFRANBOLU BUKAN KUE BOLU

23 Mei 2008

Safranbolu gak ada hubungannya sama sekali dengan kue bolu. Ini adalah nama satu daerah yang udah dijadikan situs bersejarah di Turki, tapi bukan asal dari kue bolu. Tempat ini ada sekitar 400 km dari Ankara dan terletak di antara Ankara dan Istanbul. Meskipun sebenernya kota ini udah deket banget sama laut mati (the black sea), bahkan termasuk dalam kawasan laut mati, tapi ketika gue berkunjung ke sana gue gak mampir ke laut mati. Gue pikir laut itu udah mati dari dulu, jadi sekarang pasti udah bau bangkai. Males ah.

Sebenernya bukan karena males gue gak ke laut mati, tapi gimana bisa? Gue ke Safranbolu aja, lagi-lagi, karena budi baik dan kemurahan hati serta belas kasihan Sekjen MK Turki dan rekan-rekan seprofesi (seprofesi dengan Sekjen maksudnya, bukan dengan kami berdua). Mau gak mau, suka gak suka, kami cuma bisa duduk manis dan ikut kemana supir menuju. Waktu kami diberitahu bahwa kami akan jalan-jalan ke suatu tempat di hari Minggu (19/5) yang lalu, gue pikir itu tempat deket atau setidaknya masih disekitar kota Ankara. Nama tempat itu memang disebut-sebut sebelumnya, berhubung kami masih awam dengan lokalisasi, maaf... maksudnya lokasi, di Turki kami iya ajah waktu dibilang mau diajak jalan-jalan.

Padahal hari itu kami juga udah cukup letih karena hari Sabtu sebelumnya kami juga diajak jalan-jalan. Jangan heran, gue sendiri juga bingung, kami dikirim ke Turki untuk kerja apa jalan-jalan. Tapi namanya diajak ya manut aja. Apalagi untuk itu gue harus bangun pagi-pagi. Di Turki paling enak tidur itu sekitar jam 6 pagi karena gak terlalu dingin seperti malamnya dan gak panas kaya siangnya. Tapi sekali lagi, ya sudahlah. Kami dijemput Mr. Mustafa Baysal bersama keluarganya dan kami menuju ke tempat dimana kami akan bertemu Mr. Bahadır Kilinç juga beserta keluarganya. Dalam perjalanan selanjutnya gue bareng keluarga Bahadır bey dan Gus Muh bareng Mustafa Bey.

Ternyata kami diajak ke luar kota. Setelah satu jam perjalanan, kami bertemu dengan keluarga Mr. Kaya. Dari tempat pertemuan, kami harus melanjutkan perjalanan sekitar 1 setengah jam lagi. Kami berhenti di satu restoran untuk makan pagi dan siang (brunch). Kami menghabiskan banyak waktu di sana, bahkan kami pikir acara hari itu cuma makan-makan terus pulang. Dugaan kami meleset. Kami lalu menuju ke daerah Safranbolu tadi. Sekitar tengah hari kami tiba di Safranbolu.

Safranbolu adalah kota kuno di Turki yang sekarang udah dijadikan cagar budaya oleh UNESCO. Bahkan katanya (entah kata siapa) Safranbolu pernah dibuatkan film layar lebarnya dengan judul A Night at Safranbolu. Katanya juga, film itu cukup tenar. Di kawasan itu kami bisa melihat bagaimana peradaban masyarakat Turki jaman dulu yang masih eksis. Dalam tur keliling dengan mobil golf, kami diakrabkan dengan daerah tersebut melalui rekaman informasi yang disampaikan. Bahkan di mesjid yang ada di Safranbolu, masih terdapat jam matahari. Bukan jam dengan logo matahari yang toko baju itu, tapi jam matahari beneran. Sekali lagi, Turki memang sangat menjaga warisan sejarahnya.

Selain tur keliling, kami juga mengunjungi museum yang ada di daerah tersebut dan pastinya belanja. Gue kurang tertarik belanja di sana, karena biar kata barangya khas sana tapi karena gak ada merk Turkinya gue takut orang Indonesia nyangka gue boleh beli di Tanah Abang. Tapi waktu kami lagi ngeliat-liat baju yang dijual, sekonyong-konyong Mr. Kaya membelikan kami sebuah baju bahkan kami boleh pilih sendiri mana yang kami suka. Gak hanya dia, kami juga dibelikan sebuah baju wanita untuk istri kami tercinta oleh Ny. Bahadır dan sebuah sajadah persembahan Tuan Bahadır. Terima kasih Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya sekalian, baju itu pasti akan kami persembahkan untuk belahan jiwa kami di Indonesia.

Setelah jalan-jalan dan jajan-jajan, kami makan malam di restoran yang juga sebuah hotel antik. Konon (lagi-lagi jangan dibaca dari belakang) tempat itu pada masa musafir dulu adalah tempat persinggahan. Kalau para musafir tersebut tidak memiliki makanan dan tempat berdiam, penduduk setempat akan menyediakannya sebelum mereka melanjutkan perjalanan.

Ada pengalaman menarik lainnya dalam wisata kami di Safranbolu. Di suatu saat, kami membutuhkan keberadaan WC. Memang aspirasi arus bawah itu tidak selamanya dapat ditampung saja, tapi juga harus disalurkan. Untuk itu kami nekad bertanya ke seorang polisi lalu lalang (karena mereka memang sibuk berlalu lalang mengatur lalu lintas) yang sedang bertugas. Dia menunjukkan kami lokasi WC yang ada di belakang mesjid. Dia juga tiba-tiba bertanya darimanakah gerangan kami berasal dan apakah kami muslim. Ketika dia tahu kalo kami dari Indonesia dan kami muslim, dia lantas berkata Alhamdulillah dan bilang Assalamu’alaikum kepada kami. Jangan bilang siapa-siapa kalo nama polisi itu adalah Mr. Adem Ova karena di Turki sangat berbahaya menunjukkan identitas keagamaan apalagi menyangkut tugas. Jadi cukup kita aja yang tau. Setelah menunaikan hajat, kami lalu meminta kesempatan berfoto dengan beliau yang disambut hangat.

Ketika sesi pemotretan selesai, sekali lagi dia menghaturkan Assalamu’alaikum kepada kami dan sebelum berpisah dia juga memberikan alamat email dia. Gak nyangka, hanya dengan satu pertanyaan menyangkut agama, orang-orang yang belum dan tidak saling mengenal bisa dengan cepat menjadi akrab. Dengan pertanyaan itu orang yang baru bertemu mau memberikan alamat emailnya dan bahkan beliau juga menawarkan kami untuk menikmati segelas teh sebagai bentuk penghormatan. Pak Polisi, sudahlah bapak atur saja lalu lintas yang semrawut itu! Tidak usahlah repot menawarkan kami teh karena toh kami juga terikat dengan orang lain! Lagipula keakraban kita yang kami simpan dalam hati jauh melebihi gelas teh mungil yang anda tawarkan.

Cacatan ke Turki - 11

KELUARGA BAHADIR YANG BAHAGIA

24 Mei 2008

Keluarga Bahadır tinggal di luar kota Ankara. Persisnya di Eryaman, sekitar 30 km jauhnya. Mereka tinggal di satu apartemen atau rumah susun pemerintah lantai 10. Memang tidak terlalu luas, tapi tempat mereka tinggal membiaskan kehangatan hubungan keluarga mereka. Di lantai atasnya juga tinggal rekan sejawat Pak Bahadır yaitu Pak Bekir yang akan mengajak kami ke Istanbul.

Keluarga Pak Bahadır dikaruniakan dua anak perempuan yang cantik, Roweida dan Hanife. Kedua anak Pak Bahadır tersebut sangat baik, sopan dan penurut, mereka juga nampak sangat menghormati bapaknya sebagaimana bapaknya juga sangat menghormati mereka. Sungguh beruntung Pak Bahadır punya anak seperti mereka.

Ibu Bahadır adalah seorang ibu rumah tangga. Dulu beliau berprofesi sebagai seorang dokter anak. Setelah kelahiran anak kedua dan setelah berkarir selama 13 tahun, beliau memutuskan untuk mengabdikan diri pada keluarga dan mengasuh anak-anak mereka. Mungkin juga hal itu yang menjadikan anak-anak mereka sebagaimana adanya kini.

Setiap hari Pak Bahadır pergi ke kantor dengan mobilnya. Perjalanan itu memakan waktu hampir satu jam lamanya. Di kantornya Pak Bahadır menjabat sebagai seorang rapporteur-judge. Sebuah pekerjaan yang berat terutama ketika dia sedang menangani sebuah perkara. Dia harus membuat laporan tentang perkara yang ditanganinya untuk diputuskan oleh majelis hakim konstitusi. Terlebih lagi kini dia juga dibebani tugas mengatur program untuk dua orang Indonesia yang terdampar di Turki. Maafkan jika kami merepotkan anda, Pak Bahadır.

Pak Bahadır memiliki pengetahuan yang sangat luas. Beliau juga memiliki ketertarikan untuk mempelajari bahasa. Beliau sangat fasih berbahasa Inggris, sebuah kemampuan yang jarang dimiliki orang Turki, dan beberapa bahasa asing lainnya. Pak Bahadır juga sekarang ingin belajar Bahasa Endonezya. Sayang, waktu persiapan kami yang terbatas sebelum berangkat tidak memungkinkan kami untuk membawakan beliau buku belajar bahasa Indonesia. Mungkin nanti akan kami kirimkan.

Pak Bahadır juga sebenarnya punya suara yang cukup merdu. Beliau sempat menyanyikan lagu tradisional Turki ketika kami dalam perjalanan pulang dari Safranbolu. Mungkin kalau tidak lagi menjabat di kantor, beliau bisa menjadi seorang penyanyi.

Keluarga Bahadır juga menyempatkan diri mengundang kami untuk makan malam di kediaman mereka. Tidak macam-macam memang, tapi makanan yang disuguhkan sangat enak, terutama jus cherry yang disajikan. Apalagi kami yang sudah hampir bosan dengan makanan di Hakimevi, apartemen tempat tinggal sementara kami, makanan buatan rumah terasa lebih lezat.

Kami juga sempat berbincang-bincang cukup lama tentang banyak hal di ruang tamu beliau bersama rekan lainnya. Tidak diduga bahwa kami bisa berbincang sekian lama, padahal kami baru bertemu satu minggu setengah. Itu pun hanya masalah kerjaan.

Tuan Bahadır, terima kasih telah mengenalkan kami dengan Erich berwarna hijau mengkilap itu. Erich yang membuat muka Pak Muhidin berkerut waktu pertama menyantapnya. Erich yang susah kalau dibandingkan dengan Durian yang belum anda kenal.

Tuan Bahadır beserta keluarga, kalau anda ada mampir di Jakarta beritahukan kami. Insyallah kami akan menyempatkan diri menemui dan melayani anda beserta keluarga semampu kami.

Cacatan ke Turki - 12

SARAPAN DI ASIA, MAKAN MALAM DI EROPA
(Istanbul episode 1)

25 Mei 2008

Pernah denger lagunya kelompok musik PSP atau Pancaran Sinar Petromak yang berjudul ‘Bapak Menang Lotere’? Lagu itu berisi cerita seorang bapak yang uang gajinya gak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Suatu hari dia menang lotere, dia kena sindrom Orang Kaya Baru. Dia akhirnya berfoya-foya sampe duitnya abis gak keruanan. Mau istirahat dia pergi ke Singapura, Mau buang air kecil dia pergi ke Hawaii. Akhirnya uangnya abis dan dia gak punya apa-apa.

Apa yang gue alami kemarin, ada samanya dengan lagu itu. Tapi gue gak berfoya-foya. Mungkin iya gue pergi karena menang lotere. Gue lagi mujur aja bisa pergi ke luar negeri. Yang lebih penting, kemarin adalah kali pertama gue menginjakkan kaki di Benua Eropa. Bagi orang mungkin, hal itu biasa aja tapi buat gue itu luar biasa melihat plang warna kuning bertulisan ‘Welcome to Europe’. Itu dia kehebatan Turki, satu-satunya negara di dunia yang berada di dua benua, Asia dan Eropa. Dan gue kebetulan ada di Turki jadi bisa ngerasain migrasi antar benua tanpa harus keluar dari batas negara.

Akhir pekan ini gue diajak ke Istanbul oleh Bekir Bey dan Kadir Bey. Gue agak tergopoh-gopoh karena harus berangkat jam 6 pagi. Itu berarti gue harus melawan dinginnya kota Ankara untuk mandi jam 5 pagi. Kami gak bisa berangkat siang karena perjalanan sejauh 500 km itu akan ditempuh selama 5 jam. Kalo kita berangkat jam 6 pagi, maka kita bisa sampe di Istanbul jam 11 an. Jadi kami akan menikmati brunch kedua selama di Turki.

Kami tiba lebih cepat dari rencana semula. Kami sampai di tempat kami akan menikmati gabungan antara sarapan dan makan siang. Tempat itu sangat indah, di bangunan yang dulu dibangun sebagai tempat tinggal Gubernur Mesir itu kini dibuat restoran taman. Sangat nikmat sekali makan di daerah berbukit dan dikelilingi oleh banyak pohon besar yang rindang dan di tepi Selat Bosphorus. Rasanya menikmati brunch dan kembali ke Ankara pun sudah cukup. Tapi rencana kami tetap berjalan. Kami akan mengunjungi Istanbul yang ada di Eropa.

Di atas jembatan Fatih Sutan Mehmet dan di atas mobil Bekir Bey yang sedang melaju di atas Selat Bosphorus, kami disambut dengan plang kuning yang menunjukkan bahwa kami telah pindah benua. Akhirnya gue bisa ke Eropa. Perjalanan itu ternyata menuju kawasan Istanbul lama yang bersejarah. Di lokasi tersebut kami mengunjungi Museum Topkapı, Monumen Ayasofya dan Mesjid Sultan Ahmet atau yang terkenal dengan mesjid biru.

Tempat yang pertama kami jelajahi adalah Museum Topkapi. Tempat ini dulunya adalah tempat tinggal sultan yang luasnya mencapai 7 hektar. Di sini tersimpan banyak barang bersejarah dari kekaisaran Ottoman dan benda bersejarah milik umat Islam. Kami bisa masuk dengan gratis karena kami dianggap dalam perjalanan dinas yang resmi. Selain itu kami juga di temani seorang pemandu.

Banyak yang gue pelajari dari kunjungan ke Topkapı, yang sangat mengejutkan adalah anggapan yang sama tentang Harem. Sebelumnya kalo menyebut kata Harem langsung terbayang wanita pemuas nafsu seksual raja. Menurut Zubaidah sang pemandu, ungkapan itu salah besar. Harem itu sebenernya berarti tempat yang tidak boleh dimasuki oleh laki-laki lain tanpa di dampingi Sultan. Memang ada penghuni harem yang dinikahi sultan secara tidak resmi atau dinikahi oleh kerabat sultan, tapi kebanyakan wanita pengguni harem bertugas menyiapkan makanan raja, mencuci piring dan pekerjaan rumah lainnya.

Ada kepentingan tertentu dibalik penyebaran isu bahwa raja sering berganti selir tiap hari. Raja bukan manusia super yang kerjaannya membuahi wanita saja. Di dalam harem ada sekitar seratus wanita. Jadi tidak mungkin, jadi upaya pendiskreditan umat Islam udah ada dari jaman dulu. Si Zubaidah pun lebih dari kesel kalo mendengar upaya menjelekkan Islam. Dia memberikan pembelaan bahwa kerajaan Ottoman adalah yang pertama menyediakan dokter khusus bagi perempuan. Bukan itu aja, ternyata di abad ke-15 kekaisaran Islam sudah punya teknologi WC! Jadi sodara-sodara umat manusia di seluruh dunia, Islam adalah agama yang beradab dan memiliki peradaban. Kami bukan orang biadab dengan nafsu badaniah yang tidak terkontrol.

Di bagian lain dari museum ini terdapat benda bersejarah umat Islam seperti pedang-pedang para sahabat Rasulullah SAW. Bukan cuma itu, di museum ini terdapat peninggalan gigi Rasulullah yang tanggal ketika perang, telapak kaki Baginda, Rambut, pedang dan busur Beliau. Selain itu juga ada peninggalan lain seperti pedang Nabi Daud AS, tongkat Musa AS, turban Nabi Ibrahim AS, dan beberapa peninggalan Nabi Yahya AS yang masih terdapat tulang belulang Beliau. Umat islam berutang budi pada kerajaan Ottoman. Kalo bukan karena mereka, itu barang-barang sekarang mungkin ada di Inggris negara yang mayoritas penduduknya nonmuslim.

Kenapa benda-benda bersejarah tersebut tidak di taruh di Arab Saudi? Gue gak tau apa gue yang kurang kerjaan punya pertanyaan kayak begitu apa orang lain juga bertanya-tanya tentang hal yang sama. Mungkin itu adalah satu rahasia Allah yang tidak terpikirkan manusia. Kalo meminjam istilah tatabahasa Inggris, Arab Saudi tempat dimana Kabah berada memang difokuskan Allah SWT untuk mengurusi masalah saat ini atau bahasa kerennya present time. Jutaan umat Islam dari penjuru dunia dateng ke Arab tiap tahun. Jumlah itu juga terus bertambah meskipun tiap negara dikenakan kuota jumlah calon hajinya. Bisa kebayang sibuknya pemerintah Arab Saudi mengurusi kepentingan jemaah haji.

Terus siapa yang mengurusi masalah masa lalu atau past time? Ada beberapa negara muslim yang sebenernya bisa mengurus hal itu. Tapi banyak yang memiliki kendala. Palestina misalnya, di negara yang terdapat kota suci tiga agama besar dunia yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi saat ini sedang tidak aman. Abis kerjaannya perang melulu tuh Palestina sama Israel. Kalo ditaruh di sana terus kena bom, bisa jadi baru ditemukan beberapa abad mendatang. Negara kawasan teluk lagi sibuk jualan minyak, jadi mungkin gak akan sempat ngurusin yang begituan.

Gimana dengan Indonesia? Negara yang katanya punya populasi umat Islam terbesar di dunia? Kekurangan orang Indonesia adalah tidak bisa menghargai sejarah dan peninggalannya. Gak bakal keurus tuh barang-barang. Apalagi kalo ditemuin sama orang Madura (maaf kepada seluruh kaum Madura!) bisa jadi barang-barang yang berbahan logam udah dikilo terus dijual atau dituker sama abu gosok (mungkin saat ini abu gosok udah gak jaman lagi, tapi gak apalah).

Tapi Allah Maha Besar, Ia pilih negara yang relatif aman karena jarang ikutan perang, negara yang punya sejarah panjang dalam kehidupan bernegara, negara yang mau dan bisa menghargai sejarah yaitu Turki. Biar kata sebagian besar negara itu ada di Asia, tapi mereka udah berhasil mengadopsi gaya Eropa dalam kehidupan masyarakatnya. Boleh aja mereka mendeklarasikan negara mereka sebagai negara yang sekuler, tapi masih banyak juga yang menjalankan syariat Islam. Lagipula Kerajaan Ottoman pada jaman baheula udah menjadi satu kerajaan besar yang diakui dunia. Setelah bubarnya kerajaan Romawi, kerajaan yang ngetop pada masa itu adalah Kerajaan Ottoman. Pas bukan?

Udah ah...jangan kepanjangan ngomongin soal itu, takut dikira gue saksi sejarah. Waktu gue di Istanbul juga dihabiskan dengan mengunjungi museum Aya Sofia atau Hagia Sophia. Sebelum jadi museum, tempat ini adalah gereja romawi yang pada masa (lagi-lagi) Ottoman diubah menjadi mesjid. Perpaduan yang unik karena di dalamnya kita bisa temui elemen-elemen kedua agama besar dunia tersebut. Aya Sofia kebalikan dari yang ada di Granada. Di daerah yang masuk wilayah Spanyol (bukan separo nyolong!) itu ada mesjid yang diubah menjadi gereja karena kejatuhan kawasan Andalusia pada perang salib. Itung-itung impas dah...

Kawasan dimana terletak museum Topkapı (ternyata bacanya Topkape) juga sangat unik karena di lokasi itu ada tiga mesjid besar pada jaman dulu. Yang dua, Topkapı dan Aya Sofia, udah jadi museum tapi mesjid Sultan Ahmed tetap digunakan menjadi mesjid. Mesjid itu ngetop dengan sebutan mesjid biru karena di dalamnya dipenuhi nuansa warna biru. Sayangnya pemerintah Turki, karena sekuler, kurang menghargai tempat sholat yang suci ini. Banyak pengunjung yang non-muslim seliweran keluar masuk. Udah gitu sering kali mereka tidak berpakaian yang pantes. Enak dipandang mata manusia, terutama gue, tapi gak enak dipandang mata Allah.

Abis mengunjungi ketiga tempat bersejarah tersebut, kami berkunjung ke kawasan Grand Bazzar. Tempat ini udah jadi pasar dari jaman Ottoman dulu. Pertama masuk kita akan menemui lorong tertutup yang panjang, di kedua sisinya banyak toko, mungkin bisa dibayangkan seperti kawasan di bawah terminal Blok M. Di dalemnya, lorong itu bercabang dan setiap cabang memiliki nama sesuai dengan barang yang dijual. Kalo di jalan tailor atawa tukang jait, bisa dipastikan yang dijual adalah pakaian dan teman-teman. Hampir segala barang buat oleh-oleh bisa dicari di sana. Mungkin cuma telor asin ama dodol doang yang gak dijual di situ.

Masih di Eropa, masih di Istanbul, masih di Turki. Malemnya kami diajak makan seafood sama Bekir Bey dan Kadir Bey. Meskipun seafood, tempatnya gak sama dengan Muara Karang yang bau amis apalagi kalo laut lagi pasang. Kami makan di restoran dong! Di seberang hotel punya kepolisian, di tepi selat Bosphorus. Semilir angin musim semi yang dingin ternyata cocok untuk makan ikan. Padahal gue benci banget ama ikan, tapi daripada mati kelaperan gue paksain makan. Lagian gak enak ama yang ngajak. Sembari nunggu musuh besar gue rampung dibakar (rasain! Emang enak dibakar?!?) nikmat sekali memandangi selat Bosphorus yang sesekali dilalui perahu pesiar, memandangi daratan seberang yang udah beda benua, memandangi jembatan yang melintasi selat itu yang letaknya gak jauh dari tempat gue bengong.

Dalem hati gue berkata ternyata sebuah benua cuma ditandai dengan sebuah plang kuning bertulisan hitam. Plang yang dengan sabar berdiri di tepi jalan yang sepertinya melambaikan tangan kepada lalu lintas yang gak pernah mati, kepada orang-orang yang melaju di atas kendaraan. Terima kasih hai plang kuning...tanpamu kami tidak akan pindah benua. Tanpa keberadaanmu, gue gak bisa sombong karena udah pernah mengunjungi Eropa. Sekali lagi Teşekkur Ederim!

Cacatan ke Turki - 13

LONG AND WINDING ROAD TO ANKARA
(Istanbul episode 2)

26 Mei 2008

Pagi-pagi menyusuri tepian Selat Bosphorus ternyata juga nikmat sekali. Jalan kaki tapi udah mandi. Biar belon sarapan, badan kedinginan, gak apa demi pengalaman. Kapal kargo perlahan hilang dari pandangan menuju Laut Hitam. Rajin banget, pagi-pagi udah melaut.

Hari kedua di Istanbul dimulai di Dolmabahce. Itu juga museum. Itu juga tempat sultan yang moderen. Itu juga tempat tinggal Mustafa Kemal Atatürk. Itu juga tempat dia meninggal. Lagi-lagi kami masuk tanpa biaya karena ketua museum itu teman Bekir Bey. Orang itu juga wakil gubernur Istanbul. Orang itu juga berpakaian rapi sementara gue pake kaos dan celana tanggung. Biarin deh...kan gue turis.

Teman Bekir Bey itu pernah mengunjungi Jakarta dan merupakan teman Hidayat Nur Wahid yang ketua MPR itu. Karena beliaulah kami juga bisa ditemani tour guide selama mengunjungi Dolmabahce. Tempat itu sangat luas dan di dalamnya banyak ruangan rapat baik resmi maupun kumpul keluarga sultan jaman dulu. Yang paling menarik adalah keberadaan lampu kristal gantung terbesar di dunia yang beratnya 6 ton. Selebihnya bisa dibilang biasa aja. Lagian kalo diceritain di sini, orang nanti milih baca tulisan ini daripada main kesana. Pokoknya kalo ada yang ke Istanbul, gue rekomendasikan mengunjungi tempat ini.

Kami sempat diberi suguhan teh dan kopi setelah kami menyusuri bangunan itu dan sebelum lanjut ke tempat berikutnya. Tujuan selanjutnya adalah mesjid Eyub Sultan. Tempat itu menjadi tempat bersejarah bagi Umat Islam Turki. Eyub Sultan, yang juga dimakamkan di sekitar mesjid tersebut, pada masa hidupnya adalah sahabat Rasulullah SAW yang diutus untuk menaklukan Turki. Beliau tidak berhasil, tapi beliau akhirnya menetap di Istanbul dan melanjutkan syiar Islam di daerah tersebut. Karena itulah muslim Turki sangat menghargai jasa beliau.

Di sekitar mesjid, ada pasar yang menjual benda-benda islami. Mau cari kain untuk jilbab? Di sini banyak yang bagus-bagus. Harganya juga gak mahal banget, cuma dengan 10 lira kita udah dapet kain yang bagus. Jangan diitung dengan rupiah karena 10 lira bisa berarti sekitar 80 ribuan. Siapa suruh Rupiah gak bernilai.

Suasana keagamaan di Istanbul berbeda jauh dengan Ankara, sekitar 500 kilometer. Kalo di Ankara orang, terutama yang di pemerintahan, takut-takut kalo mau shalat di mesjid. Di Istanbul, setiap sholat mesjid pasti penuh. Suasana sekularisme tidak begitu berasa di Istanbul. Kalaupun mau dibahasakan secara ilmiah, Istanbul lebih mengesankan kebebasan beragama. Orang mau beragama atau tidak, itu bukan masalah dan menjalankan kewajiban agama pun tidak dilarang. Mungkin itu hal yang menarik dari Istanbul selain tempat-tempat bersejarah yang ada.

Target hari kedua di Istanbul memang belanja dan cuci mata. Jadi setelah kunjungan tersebut dan sedikit belanja, kami meluncur ke Ankara. Sedikit beda dengan berangkat, kami tidak melalui jembatan Fatih Sultan Mehmet, kalo di Jakarta jembatan itu mungkin namanya Fatih Sultan Mamat. Memang ada dua jembatan trans-benua yang melalui Selat Bosphorus. Jembatan ini namanya Jembatan Bosphorus. Jembatan ini juga nyambung sama jalan tol Istanbul-Ankara jadi sekalian deh.

Kami tiba dengan selamat, pastinya dengan Bekir Bey dan Kadir Bey juga, di Ankara jam 8 malam dengan disambut udara dingin. Setelah dua hari yang sangat menyenangkan, dan menghabiskan 180 lira, dan menempuh jarak 1000 kilometer, kami harus bersiap kembali bergelut dengan laporan kami.

Dalam perjalanan gue bilang ke Bekir Bey kalo perjalanan ini terasa sangat menyenangkan. Bahkan gue harus bilang kalo ini adalah yang paling menyenangkan dari semua perjalanan dan kunjungan yang gue lakukan selama di Turki. Tanpa mengecilkan rekan-rekan lain yang telah menggiring kami ke tempat-tempat yang gak kalah bagus, gue merasa perjalanan ini lebih santai dan bersahabat. Bekir Bey yang udah bersedia mengemudi sementara kami bertiga tidur dengan pulas, dan tidak putus mengajak kami berkomunikasi. Kadir Bey yang ternyata sangat religius dan telah membelikan kami sebuah tasbih yang menarik dan menyediakan kacang-kacangan sebagai kudapan dalam perjalanan. Serta mereka berdua yang telah memberi kami oleh-oleh berupa kaos bergambar bendera turki. Mana mungkin kami bisa melupakan kalian berdua.

Akhirnya kami bisa tidur dengan nyenyak tanpa dibebani pikiran tentang membeli oleh-oleh. Petualangan di Turki hampir selesai tapi semua akan kami bawa ke Jakarta dengan sejuta tanya kapan kami bisa kembali mengunjungi Turki.

Cacatan ke Turki - 14

NEVER SAY GOODBYE


28 Mei 2008

Semakin mendekati hari kepulangan ke Jakarta, gue semakin berat meninggalkan Turki. Bisa jadi gue udah jatuh cinta sama negara ini. Biar kata udah diajak jalan-jalan ke tempat yang eksotis selama tiga minggu kami di sini, tapi semakin hari gue ngerasa semakin banyak tempat yang belum sempat gue kunjungi. Gak hanya itu, gue juga semakin ngerasa bahwa masih banyak ilmu yang belon sempet gue pelajari. Tiga minggu ini sebenernya udah dipenuhi dengan pengetahuan baru tentang hukum, tatanegara, sejarah dan hal lain; bahkan kalo mau jujur, gue udah seperti kuliah S2 singkat. Tapi rasa ingin tau gue belum sepenuhnya terpuaskan. Mengingat ini adalah program uji coba, mungkin seharusnya gue bersyukur dengan apa yang udah gue dapet.

Saking cintanya sama negara ini, gue pikir tanggal 30 Mei ketika gue harus angkat kaki dari Ankara itu hari Sabtu. Ternyata orang di dunia udah menetapkan kalo tanggal itu bertepatan dengan hari Jumat. Ah...biarlah apa kata dunia. Ketika tau bahwa waktu gue tinggal dua hari lagi, gue berpikir bagaimana menikmati saat terakhir eksistensi gue di Turki dan tentunya bagaimana gue harus menghabiskan uang Turki yang gue punya. Soalnya uang Lira gak laku di Jakarta, dul!

Itulah target gue hari ini. Pagi ini gue diajak mengunjungi parlemen dan Menteri Kehakiman. Di Turkish Grand National Assembly, gue bertemu dengan Ketua Komisi Hukum. Mr. Iyimayam sebelum jadi ketua Komisi Hukum merupakan seorang pengacara terkenal. Seorang yang ramah dengan kewenangan yang dia miliki serta keluasan ilmu yang dia kuasai. Dia juga menekankan hubungan erat antara Turki dan Indonesia yang udah dijalin bahkan jauh sebelum NKRI ada. Dia juga bilang kalo bangsa Indonesia udah dianggap sebagai sodara bagi bangsa Turki karena hal itu. Tinggal gue aja yang bengong. Seinget gue, informasi itu gak ada dalam pelajaran sejarah waktu gue sekolah dulu. Atau gue aja yang gak menyimak? Entahlah, tapi gue ngerasa bangga dengan pengakuan tersebut. Pantes juga kalo penyambutan kedatangan kami agak berlebihan menurut sudut pandang kami.

Kalo boleh gue berkata jujur, dan pasti boleh karena tulisan ini gue yang buat, perhatian orang-orang Turki di sini lebih besar daripada orang-orang Indonesia sendiri yang udah jelas satu bangsa. Dua kali gue ke KBRI, dua kali juga gue gak disuguhin apa-apa. Gue tau kalo mereka juga mungkin punya duit cekak. Tapi masak iya gak sanggup untuk beli teh buat tamu, atau paling nggak air putih. Toh kita gak tau apa itu air kemasan atau air keran. Sementara pedagang pakaian di Safranbolu aja mau memberi teh buat kami yang sekitar 10 itu. Untung gue diurus dengan baik, soalnya gak sekali pun orang kedutaan yang melakukan kontak dengan kami! Mereka malah nyindir kalo kami begitu sibuknya sampe lupa menghubungi mereka. Please deh! Yah...mungkin itu resiko jadi warga negara dunia ketiga yang hampir degradasi ke dunia keempat. Pak! Kalo negara ini udah susah diatur, jual aja...

Pun begitu dalam kunjungan ke Departemen Kehakiman. Sekretaris Menteri menyambut kami dengan sangat ramah. Beliau juga menekankan arti penting hubungan Indonesia-Turki dan betapa bertambah eratnya hubungan itu setelah tsunami yang hampir menenggelamkan Aceh Sumatra, begitu istilah orang Turki. Sekali lagi keluar pengakuan kalo Turki adalah sodara tua Indonesia. Dalam hati gue berkata, akhirnya gue punya sodara di luar negeri. Dia juga berharap kalo program yang kami lakukan juga bermanfaat dalam meningkatkan hubungan bilateral antara kedua negara.

Gue harus mengakui kalo gue berbohong sama Sekmen tersebut. Gue bilang rakyat Indonesia juga menganggap kalo bangsa Turki adalah sodara. Sebenernya gue gak tau seberapa serius Pemerintah RI menganggap keberadaan Republik Turki. Emang sih Ketua MK, Ketua MPR, dan anggota dewan udah pernah berkunjung ke Turki, bahkan Istanbul dan Jakarta udah memiliki program sister city di bawah kepemimpinan Sutiyoso, tapi menurut informasi KBRI Presiden RI belum pernah mengunjungi Turki. Sayang sekali mendengar informasi tersebut. Tapi kalo gue jadi Presiden, Turki akan menjadi negara sahabat sedekat hubungan RI dengan negara-negara ASEAN. Doakanlah!

Selesai program tersebut Gus Muh diantar kembali ke Hakimevi sementara gue ikut ke kantor. Lumayan dalam 1 jam sebelum pulang, gue masih bisa bales email dari Gandes di Ostrali. Karena inget masa hidup gue tinggal dua hari di Turki, gue memutuskan pulang jalan kaki. Selain gue mau menikmati keindahan kota Ankara, gue juga penasaran apakah jarak antara Anayasa Mahkemesi dengan Hakimevi sejauh ketika gue dan Gus Muh pertama kali pulang jalan kaki. Gue yakin pasti ada jalan pintas ketimbang menempuh jalan kendaraan bermotor yang agak memutar.

Ternyata benar. Di jalan Hosdere yang jadi jalan utama, gue memutuskan untuk belok kiri dan melewati celah antara dua apartemen. Dari situ gue lanjutkan dengan masuk ke kawasan taman hutan kota. Gue inget kalo taman ini ada di antara kawasan Sokulu tempat Hakimevi berada dengan jalan Hosdere itu tadi. Taman itu sangat rindang, dan juga sangat luas. Panjangnya ada sekitar 3 kilometer dan lebarnya sekitar 500 meter. Jadi berapa luasnya? Hitung sendiri aja. Di dalam taman tersebut seperti biasa ada bangku untuk duduk-duduk, tapi gak hanya itu aja. Taman itu juga dilengkapi jogging track, air mancur yang dilengkapi air terjun mini, dan ada juga tempat makan. Gue gak tau apa itu restoran, cafe, atau apa. Tapi tempatnya terlihat sangat nyaman untuk makan.

Kapan Jakarta punya taman hutan kota seluas dan selengkap itu? Mungkin hanya Tuhan yang tau. Gue jadi mengagumi Pemerintah Turki. Dengan jumlah penduduk yang masih sedikit, mereka sudah memaksa orang-orang untuk tinggal di apartemen ketimbang di rumah. Lahan yang tersisa mereka gunakan untuk membuat taman. Bahkan setiap lembaga tinggi negara memiliki kawasan taman yang luasnya paling tidak 2 sampai 3 hektar. Ankara memang memiliki masalah kurangnya ketersediaan air bersih, apa itu satu upaya untuk menampung air? Ah...seandainya ada banyak taman hutan kota yang rimbun seperti di Turki. Mungkin kita bisa banyak ngeliat orang pacaran.

Dengan bantuan dua orang polisi yang gak bisa bahasa Inggris, gue akhirnya bisa kembali ke jalan yang benar. Ternyata jalan yang gue tempuh itu lebih cepat sekitar 15 menit. Jadi gue masih bisa tidur sebelum melanjutkan acara berikutnya yaitu makan malam bersama rekan sejawat.

Makan malam kali ini memang ditujukan sebagai farewell party buat kami berdua. Dilangsungkan di sebuah restoran mewah di luar kota Ankara, acara kali ini dihadiri oleh empat orang selain kami berdua. Selain Sekjen MK dan Bahadır Bey, Alpaslan Bey dan Bekir Bey juga ikut bergabung dengan kami. Bahkan Bahadır Bey memakai baju batik yang kami berikan padanya sebelumnya. Itu merupakan suatu penghargaan buat kami.

Kami seperti disiksa dengan makanan di acara tersebut. Kebap combo yang merupakan campuran dari seluruh kebap yang disediakan restoran itu terasa sangat besar porsinya untuk perut dua orang Indonesia yang sudah mulai buncit ini. Tetap saja itu menyenangkan. Makan malam itu ditutup dengan ucapan terimakasih dari kami berdua atas seluruh bantuan, informasi, pengetahuan dan lain sebagainya yang diberikan kepada kami selama program ini berlangsung. Kami juga memberikan kenang-kenangan kepada Öğüz Bey, sang Sekretaris Jenderal, berupa sebuah baju batik, sebuah plakat, dan dua buah wayang kulit.

Beliau sangat antusias dengan ‘hadiah’ tersebut, bahkan dia langsung memakai batik yang kami berikan. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa jauh sebelum kedatangan kami di Turki, beliau menganggap sedang menunggu kedatangan dua orang sodara yang tinggal di luar negeri. Bahkan, beliau juga sudah menginformasikan kedua orang tua beliau di Bursa (ini nama kota...bukan tempat jualan saham) bahwa kami berdua akan berkunjung ke sana. Sayang waktunya tidak sempat jadi rencana itu dibatalkan. Acara ini juga bukan untuk melepas kepergian kami dalam arti kata kita tidak akan berjumpalitan, maaf maksudnya berjumpa lagi. Acara ini diadakan untuk melepas seorang sodara yang akan bepergian ke luar negeri dengan harapan suatu saat akan kembali lagi.

Gue juga menambahkan kalo kami, insyallah, akan kembali lagi ke Turki. Kami juga sekarang sudah menganggap mereka sebagai sodara. Jadi kalo mereka ada berkunjung ke Jakarta, kami akan berusaha membantu mereka sejauh yang kami mampu. Pun begitu halnya kalo Anayasa Mahkemesi membutuhkan bantuan tenaga seorang rapporteur-judge, gue bilang kalo Gus Muh udah siap untuk membantu. Berjuta maaf gue kepada beliau untuk hal ini. Seandainya pun benar, gue sangat bangga sekali.

Dalam perjalanan pulang, kami berbincang dengan Öğüz Bey dalam VW Polo putih beliau yang melaju kencang. Gue sejujurnya bilang selama beliau yang menjadi Sekjen, masalah Anasaya Mahkemesi akan beres. Selain itu gue bilang kalo kami berdua mungkin tidak bisa berbincang seakrab ini ketika beliau ke Jakarta karena tindakan protokoler yang disiapkan dalam kapasitas beliau sebagai seorang Sekretaris Jenderal. Gak disangka beliau bilang kalo beliau tidak terlalu menyukai suasana yang terlalu protokoler. Tapi Jakarta beda dengan Ankara, bung! Beliau bilang kalo sebenernya beliau itu adalah ‘pelayan’ masyarakat dan Anayasa Mahkemesi (hmmm....kayaknya sering dengar ucapan seperti itu!) jadi sudah seharusnya jalur birokrasi dipangkas dan memang beliau harus dekat dengan seluruh lapisan. Beliau juga menambahkan kalo semua orang pasti akan mati dan menghadap Allah, jadi buat apa kita sombong.

Pak, kami mungkin saat ini bukan siapa-siapa tapi suatu saat nanti kami mungkin akan berada di posisi dengan kewenangan dan kekuasaan. Pada saat itu, andalah panutan kami, guru kami, teladan kami. Dan gue akan katakan kalo gue belajar ini dari seseorang bernama Mehmet Öğüz Kaya.