Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

KAMAR MANDI BEBAS KUMAN

Menjadi orang tua tunggal memang sama sekali tidak gampang, meskipun itu hanya untuk sementara waktu. Bayangkan orang seperti saya ini. Untuk anda yang pernah dan sempat mengenal saya tentu tidak sulit melakukannya; tapi jika anda belum pernah bertemu saya dan ini adalah kali kita bertemu, saya senang bisa bertemu dengan anda.

Pada awalnya saya sangat rajin berbelanja, mulai dari susu anak, kebutuhan dapur, alat kebersihan, sampai kudapan. Setidaknya saya bisa berbelanja dua kali dalam satu bulan. Namun, kian waktu saya kian jarang berbelanja. Apakah ini pertanda bahwa saya teramat sibuk? Saya tidak tahu. Ada kalanya saya yang lupa untuk melakukannya, dan itu cukup sering terjadi. Selama persediaan masih ada tanpa syarat dan ketentuan berlaku, saya memilih untuk tidak berbelanja. Kalau pun saya sempat berbelanja, karena kebutuhan susu anak dan pembalut balita tidak dapat diabaikan, saya cenderung lupa hal lain apa yang perlu dibeli pula.

Suatu hari di minggu lalu, ketika sedang mandi saya menyadari bahwa sabun cair yang biasa saya pakai rupa-rupanya sudah habis. Daripada saya hanya membasahi badan dengan air hanya untuk menggugurkan kewajiban mandi pagi, saya memutuskan untuk menggunakan sampo sebagai pengganti sabun. Toh, mereka sama-sama dapat mengeluarkan busa. Memang ada pilihan lain seperti menggunakan pelembab rambut atau conditioner. Tapi itu tidak mengeluarkan busa, jadi saya pikir tidak sah mandi saya jika menggunakan conditioner. Sementara conditioner tersebut digunakan selepas kita bersampo, jadi sudah tepat pilihan saya untuk menggunakan sampo.

Saya pun bisa menggunakan sabun untuk mencuci piring sebagai alternatif pilihan lain. Ah, ide itu terkesan sangat berbahaya, bahan penyusun sabun cuci piring tersebut terlampau keras untuk kulit. Memang dia bisa menghilangkan lapisan lemak dengan menggunakannya sedikit saja. Akan tetapi justru itu adalah masalahnya, bayangkan jika lapisan lemak saya akhirnya terangkat oleh sabun pencuci piring yang seandainya saya gunakan. Saya khawatir akan menjadi kurus dan tidak dikenali lagi oleh anak saya sendiri. Lagipula, saya memilih tubuh saya berbau harum sampo daripada berbau jeruk limau.

Kebetulan juga saya harus berbelanja susu dan pembalut balita, saya memasukkan sabun mandi sebagai barang yang wajib saya beli dan saya miliki. Percuma saja bukan kalau saya membelinya tapi saya tidak bisa memilikinya? Pun kalau saya memilikinya tanpa membeli, itu merupakan tindak kriminal karena kejahatan terjadi bukan karena ada niat pelakunya tapi juga karena adanya kesempatan, maka waspadalah.

Dan sepulangnya berbelanja, saya merasa gembira karena kini saya memiliki sekantung sabun mandi cair yang saya peroleh dengan cara membeli. Kalau saja engkau melihat apa itu yang tertulis di kemasannya, bahwa saya mendapat bonus isi lebih banyak 20% dengan harga yang sama. Ah, saya mulai menghayati peran sebagai ibu rumah tangga yang selalu tertarik dengan iming-iming bonus atau harga yang lebih rendah. Tapi ternyata hal itu cukup menyenangkan juga.

Pun malasnya saya terlihat ketika saya hendak menggunakan sabun cair tersebut. Alih-alih saya menuang isi kantung tersebut ke dalam botol kosong yang memang peruntukannya adalah wadah sabun mandi, saya hanya membuat sayatan kecil pada kantung tersebut hanya sebagai cara mengeluarkan isi kantung tersebut. Saya tidak mengeluarkan isi sisanya dan membiarkannya tertampung dalam kantung tadi. Setelah saya menggunakan secukupnya (ingat sesuatu yang berlebihan itu tidak baik! kata ustad kampung sebelah), saya kemudian menaruh kantung sabun mandi tersebut di lantai pojokkan kamar mandi. Dan mandilah itu si saya.

Kemudian daripada itu, saya pergi keluar rumah untuk satu keperluan. Tentu saya sudah mengenakan baju dan celana sebagaimana mestinya. Dan saya juga telah berbilas dan menyeka tubuh dengan handuk tentu saja pula. Apa perlu saya beritahukan kepada anda kemana saya pergi? Apa keperluan saya? Ah, itu sama sekali tidak penting untuk saya ceritakan. Bukankah manusia itu berkehendak bebas? Jadi terserah kepada saya kemana saya mau pergi. Lalu, bukankah kita memiliki hak asasi untuk bisa pergi bebas tanpa dikuntit? Ya, mungkin anda memang punya hak untuk menguntit saya, tapi saya pikir anda cukup bijaksana untuk tidak melakukannya karena hal itu sudah terjadi di masa lampau.

Dan waktu pun berlalu sedemikian sehingga saya telah kembali ke rumah. Saya merasa sebuah mandi akan menyegarkan tubuh. Jadilah saya memutuskan secara sukarela dan tanpa paksaan sedikit pun untuk mandi. Namun, lihatlah itu ketika saya membuka pintu kamar mandi. Terdapat genangan cairan putih kental membasahi lantai kamar mandi. Cairan apakah itu? Apakah ada orang yang menggunakan kamar mandi ini senyampang saya tidak di rumah? Kemudian mahfumlah saya ketika melihat kantung sabun mandi cair itu tergolek lemah tak berdaya di dekatnya. Ternyata dia tidak sanggup menanggung beban seberat itu, lalu ia menumpahkan sebagian daripada isinya ke lantai.

Demi menyelamatkan isi bonus yang 20 persen tadi, saya pun mengambil sendok dan sebuah gelas plastik yang tak terpakai. Terpaksalah saya menunda mandi hanya untuk menyendoki cairan itu sebanyak yang saya mampu. Dapatlah saya katakan kalau saya hanya kehilangan 10 persen dari bonus itu setelah saya bosan menyendokinya. Lalu saya menyeka lantai kamar mandi dengan sisa cairan yang tak dapat atau tak sudi saya ambil.

Seperti kata pepatah, tiada artinya menangisi sabun yang tumpah. Saya beruntung masih dapat menyelamatkan sebagian. Dan tidak ada yang lebih menyenangkan daripada memiliki lantai kamar mandi bebas kuman. Saya yakin jika sedikit cairan yang dibasuh ke tubuh dapat membunuh kuman yang menempel di tubuh saya seperti tertulis pada kemasannya, maka cairan sebanyak itu semestinya dapat mengeliminasi kuman yang berserak di lantai kamar mandi.

Jangan Main Main Dengan Pikiranmu

BAYANGKAN..... jika anda berkumis dan berjanggut lebat. Lalu kebetulan memakai celana panjang anda yang sedikit kekecilan sehingga tidak menutupi mata kaki anda. Tentu saja saya tujukan ini pada anda yang berkelamin laki-laki. Bukan saya ingin melakukan diskriminasi dengan bermaksud mengatakan bahwa perempuan tidak boleh memakai celana semata kaki. Atau bayangkan jika anda adalah seorang perempuan berjilbab. Atau mungkin anda memiliki nama islami yang menurut orang tua anda, itu adalah sebuah doa, sebuah harapan, atau sekadar terdengar sangat eksotis sekitar tiga puluh tahun yang lalu. 

BAYANGKAN..... jika saat ini anda harus berurusan dengan kedutaan salah satu negara yang dianggap adikuasa meskipun saya sebenarnya tidak tahu apa arti adikuasa itu dan mengapa negara tersebut disebut negara adikuasa. Bayangkan anda melakukan itu karena anda berniat untuk mengunjungi negara tersebut. Bayangkan betapa sulitnya mendapatkan ijin hanya untuk bisa memasuki negara tersebut. Apakah anda akan diperlakukan secara adil? Apakah anda tidak akan dipandang secara subyektif? Apakah betul mereka akan menghargai anda sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia? Saya tidak tahu.....

BAYANGKAN..... pula jika anda sebenarnya telah tinggal di negara tadi selama beberapa tahun dan anda tetap mempertahankan diri untuk berperawakan Asia tanpa melakukan upaya untuk melakukan operasi kosmetologis. Atau bagi anda yang perempuan, anda tetap mengenakan jilbab anda karena bagi anda itu adalah bagian dari hidup anda yang tidak dapat dipisahkan, dan bukan hanya sebatas masalah akidah agama. Dapatkah anda bayangkan bagaimana penduduk setempat melihat dan menilai anda? Seorang teroriskah? Seorang fundamentaliskah? Seorang jihadiskah? Seorang ekstremiskah? Seorang Radikaliskah? Saya tidak tahu.....

BAYANGKAN..... jika anda adalah seorang perempuan yang kebetulan sedang berada di tepi jalan di tengah malam menunggu kendaraan angkutan umum yang akan membawa anda pulang. Lalu kebetulan pula, angkutan umum yang biasa mengangkut anda sulit sekali ditemui malam ini. Lalu kebetulan pula anda adalah seorang yang berparas cantik dengan dandanan yang belum memudar walaupun setelah anda beraktivitas seharian. Bisa anda bayangkan bagaimana orang menilai anda? Perempuan nakalkah? Perempuan jalangkah? Perempuan berbayarkah? Saya tidak tahu.....

BAYANGKAN..... jika anda, entah anda perempuan atau lelaki, kerap terlihat bersama seseorang yang berbeda jenis kelamin dan bukan pasangan anda yang resmi. Lalu anda pun terlihat begitu akrab sekali dengannya. Saya tidak mempedulikan hubungan macam apa yang terjadi di antara anda berdua, tentunya tetap dalam bayangan anda. Dapatkah anda pun membayangkan bagaimana orang lain akan menilai anda   Akan dianggap tak bermoralkah? Akan dianggap tak setiakah? Akan dianggap terlalu dekatkah? atau akan dianggap tak beretikakah? Saya tidak tahu.....

BAYANGKAN..... pula orang-orang yang melihat keberadaan dan kedekatan anda dengan seorang berbeda kelamin tadi. Orang-orang yang merasa telah mengenal anda dengan baik dan anda pun merasa telah mengenalnya dengan cukup dalam. Orang-orang yang hampir sepanjang hari menghabiskan hidup mereka berada dalam perimeter jangkauan anda. Bagaimana mereka akan menilai hubungan anda itu?  Apakah anda akan dianggap berpacarankah? Akan dianggap berselingkuhkah? Berteman tapi mesrakah? Saya tidak tahu.....

BAYANGKAN..... jika anda sedang berkendara lalu secara sekonyong-konyong kendaraan anda mengalami kemogokan. Lalu pada saat yang tidak lama berselang, ada beberapa orang laki-laki bertampang seram, bertubuh besar dan tegap, mungkin juga dengan tato yang terserak di sekujur tubuh mereka. Apakah anda akan merasa takutkah? Apakah anda akan mengunci pintu kendaraan anda secepat mungkinkah? Atau anda akan menutup jendela mobil anda serapat mungkinkah? Saya tidak tahu.....
 
BAYANGKAN..... jika ada seseorang yang berbuat baik kepada anda. Dan anda tahu itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Terlebih lagi jika anda adalah seorang perempuan dan orang itu berjenis laki-laki. Akankah anda menerima kebaikannya begitu saja? Akankah anda menduga bahwa orang tersebut memiliki maksud yang terselubung? Akankah anda menduga bahwa orang tersebut mengharapkan sesuatu dari anda sebagai imbalan? Akankan anda sebagai seorang perempuan akan menduga bahwa si lelaki tersebut jatuh cinta kepada anda? Saya tidak tahu.....
 
BAYANGKAN..... anda kerap melihat seorang lelaki lajang mengantar dan menjemput seorang perempuan yang juga masih lajang. Apakah anda akan segera menduga bahwa mereka berpacaran? Apakah anda menduga kalau si jejaka sedang melakukan pendekatan kepada si perempuan? Apakah anda juga akan menduga kalau si perempuan akan serta merta juga menyukai si lelaki? Saya tidak tahu.....
 
BAYANGKAN..... jika ternyata si perempuan tidak menaruh hati pada si lelaki. Akan tetapi, dia tidak menolak untuk diantarkan pulang, dijemput, dan diantarkan ke macam-macam tempat yang indah secara rutin. Akankah anda menilainya sebagai seorang perempuan materialistis? Akankah anda menilainya sebagai seorang perempuan yang mengeksploitasi lelaki karena rasa cinta yang dimiliki si lelaki? Saya tidak tahu..... 
 
BAYANGKAN..... jika anda bertemu seseorang seperti saya. Seseorang yang ditinggal isteri untuk waktu yang cukup lama. Seseorang yang setiap malam hanya bergelung di tempat tidur dengan anak batitanya, berdua saja. Apakah yang ada dalam bayangan anda adalah seorang yang haus akan belaian wanita? Apakah yang ada dalam bayangan anda adalah seseorang yang sangat kesepian? Apakah yang ada dalam bayangan anda adalah seekor binatang yang gairah seksualnya meluap-luap karena tidak tersalurkan? Saya tidak tahu.....  
 
BAYANGKAN..... jika anda tidak membaca tulisan ini pada kenyataannya. Apakah anda menyadari pemikiran-pemikiran tadi? Apakah anda tetap merasa anda yang paling benar? Apakah anda tetap menganggap lalu segala yang terjadi? Apakah anda akan tetap tidak mau peduli dengan apa yang sedang bermain di pikiran anda? Apakah anda bahkan membaca tulisan saya ini dengan sebenar-benarnya? Saya tidak tahu.....

SUDAHLAH

Sudahlah jangan kau ucapkan
Nama Tuhanmu secara sia-sia
Jika kau tidak tulus dari hati
Dan kau tetap berlaku durjana


Sudahlah jangan kau mengaku suci
Dan sibuk urus akhlak orang lain
Pikirkan saja kapan kau mati
Atau urusan dirimu yang lain


Sudahlah jangan merasa mangabdi
Dan meminta orang berlaku sama
Jika kau meminta orang mencium kaki
Sementara kau berdiri pongah jumawa


Sudahlah tak perlu kau ceritakan
Semua yang telah kau lakukan
Hanya untuk dibilang hebat
Dan menjadikanmu semakin kuat


Sudahlah aku lelah berkata-kata
Tentang apa yang telah kau lakukan
Jadi lebih baik kuhentikan saja
Biar tak seperti yang kau kerjakan

SEBUAH PAKET UNTUK ANAKKU



Hari itu anakku Qonita mendapat sebuah hadiah yang berwujud paket. Sebenarnya sih saya yang mendapat itu paket. Kan itu paket memang dikirimkan ke saya. Lagipula paket itu di kirimkan ke kantor saya, tempat saya bekerja. Anak saya sih belum kerja. Sekolah pun dia baru akan mulainya beberapa tahun lagi. Tapi ya sudahlah tak perlu kita bahas banyak-banyak. 


Paket itu di kirim secara jauh, dari negara Turki. Ah itu sudah pasti dikirim oleh Jeng Nurdan dan Kakang Kadir. Tadinya saya sudah hampir berbangga karena saya menerima sebuah paket untuk diri saya, ternyata itu untuk anak saya. Ternyata mereka lebih peduli dengan anak saya. Yah wajarlah, karena memang anak saya lebih lucu, imut, menggemaskan. Sementara saya hanya lucu dan menggemaskan saja.


Untuk siapa pun itu, saya tetap bangga karena saya mendapat sebuah paket dari negara yang jauh. Dan dari orang-orang yang bahkan tidak bertautan darah dengan saya. Orang-orang yang baru mengenal saya dalam kurun waktu yang amat singkat. Jarang sekali orang yang beruntung mengalami hal semacam ini. Terlebih lagi di kantor saya. Atau mungkin saya saja yang tidak mengetahui bahwa sebenarnya banyak juga yang pernah mengalami kejadian seperti ini? Entahlah, saya tidak mau ambil pusing. Toh yang lain juga tidak mau ambil pusing dengan saya.  


Saya tidak ingin mengaitkan hal ini dengan gratifikasi karena sudah pasti ini tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas saya.  Bahkan, hal ini malah membuat saya berpikir. Apa yang membuat saya mengalami kejadian seperti ini. Apa yang membuat mereka terngiang-ngiang dengan anak saya sehingga mereka mengirimkan paket sebagai hadiah ulang tahun untuk anak saya.


Saya sempat berpikir, ini memang rejeki anak saya. Dia memang anak yang sangat beruntung dan membawa keberuntungan. Saya jadi teringat proses kelahirannya dua tahun lalu. Pada saat itu, dia harua dilahirkan melalui sebuah proses operasi. Dan pada saat yang sama tersebut, saya baru saja merintis karir di kantor ini. Tanpa tabungan yang memadai, kenapa dia harus dilahirkan melalui proses yang berbiaya mahal?


Tapi memang Tuhan Maha Pemurah dan Penyayang. Entah bagaimana, ibunya dirujuk ke sebuah rumah sakit yang bahkan banyak orang tidak tahu bahwa rumah sakit itu ada. Walhasil, operasi tersebut hanya membutuhkan setengah dari biaya yang harus dikeluarkan di rumah sakit besar. Toh, dengan biaya rendah tersebut, pelayanan dan perawatan yang diberikan sudah memenuhi standar. Yang ditiadakan hanya faktor kemewahan dan sedikit kenyamanan lebih. 


Tapi kita bicara soal rumah sakit di sini. Rumah sakit memang sudah semestinya tidak terlalu mengumbar kemewahan. Cukuplah jika si pasien merasa nyaman dan tidak melulu memikirkan penyakitnya. Jika sebuah rumah sakit begitu mewah, saya malah khawatir pasiennya kehilangan niat untuk sembuh. Atau mungkin, jika pun rumah sakit itu mewah, pasien tidak akan mau berlama-lama karena jika mereka akan dibunuh perlahan dengan. biaya perobatan yang teramat mahal. 


Nah, kembalilah kita ke topik awal. Meskipun hanya membutuhkan biaya yang relatif rendah, angka nominal yang dibutuhkan pada waktu itu madih di luar jangkauan saya. Sempat pula saya merasa khawatir bagaimana saya dapat membayarnya. Untunglah orang tua saya masih berbaik hati meminjamkan saya sejumlah uang yang dibutuhkan. 


Kekhawatiran saya tidak hanya berhenti sampai di situ. Saya masih bingung bagaimana saya dapat melunasi pinjaman tersebut. Tapi sekali lagi Tuhan membukakan jalan. Secara tidak terduga, saya mendapat sejumlah besar uang yang dapat melunasi pinjaman tersebut. Masih ada sisa pula. Saya percaya bahwa ini adalah rejeki yang dibawa serta anak saya dengan kelahirannya.


Dengan mengingat peristiwa tersebut, saya selalu menganggap anak saya adalah seseorang yang rejekinya bagus. Begitu pula dengan masalah paket tadi, saya menganggap itu bagian dari rejeki yang dibawanya pula. Si pengirim bahkan baru bertemu anak saya satu kali dan itu pun dalam waktu satu hari saja. Namun nampaknya hal tersebut sudah cukup berkesan baginya. Sehingga dia tetap ingat dan tergerak untuk menghadiahi anak saya. 


Namun, istri saya sedikit tidak sependapat dengan hal tersebut. Menurutnya, selain karena faktor anak saya, hal itu juga tidak terlepas dari bagaimana saya berhubungan dengan si pengirim paket tersebut. Entahlah, kalau saya mengiyakan hal tersebut, saya khawatir akan menjadi sombong. Tapi kalau saya menyangkalnya pun saya akan terlihat lebih sombong lagi. Serba salah memang. 


Saya memang berhubungan baik dengan mereka. Dalam kunjungan kerja mereka ke negara ini, saya memang berusaha melayani mereka dengan baik. Jika bicara dalam konteks pekerjaan, saya merasa memang sudah seharusnya saya melakukannya karena saya membawa kredibilitas institusi dan juga negara. Selain itu juga, saya merasa berutang budi karena saya diperlakukan dengan sangat baik ketika saya mengunjungi negara mereka. 


Mereka pula yang pada awalnya menganggap saya sebagai saudara jauh mereka. Sehingga ketika mereka berada di Indonesia, saya pun menganggap diri saya sedang menjamu saudara jauh saya yang sudah lama tidak bertemu. Hal itu menurut saya lebih mulia daripada sekadar menganggap diri saya sedang menjalankan tugas menjamu tamu negara. Hal itu pula yang membuat saya tidak mengharapkan imbalan apapun dari pihak mana pun. 


Saya masih ingat walaupun secara samar bagaimana pada akhirnya kami menasbihkan diri sebagai sebuah keluarga besar. Kami semua bersaudara meskipun kami baru saja bertemu. Bukankah pada hakikatnya semua manusia memang bersaudara? Tanpa bermaksud menyombongkan diri, apakah karena ketulusan semacam itu yang akhirnya membuat saya merasa beruntung bisa mendapatkan perlakuan seistimewa ini? Bisa jadi, setidaknya itulah pendapat istri saya.


Memang tanpa disadari, banyak orang yang menyatakan dirinya melakukan segala sesuatu secara tulus. Namun jika benar mereka tulus, mengapa mereka menginginkan imbalan? Mengapa mereka membutuhkan pengakuan dari orang lain atas apa yAng sudah mereka kerjakan? Mengapa pula ada yang kecewa jika sudah melakukan sesuatu namun orang lain yang mendapatkan pujian atas kerjaan tersebut?


Tulus ternyata memang sebuah ide yang mudah diucapkan akan tetapi sulit dilaksanakan. Sulit bagi kita melupakan hal baik yang sudah kita lakukan. Bagi saya, mengingat apa yang sudah saya lakukan hanya boleh saya lakukan dengan diri saya sendiri. Hal itu tidak lain hanya sebagai forum introspeksi dan retrospeksi. Jika saya melakukan suatu hal yang buruk, maka saya harus melakukan evaluasi sehingga saya tidal akan mengulanginya lagi. Pun jika saya telah melakukan hal yang baik, maka saya harus dapat mengulanginya lagi. 


Bagi saya, ada suatu kenikmatan setelah saya melakukan perbuatan yang baik. Namun kenikmatan itu tidak akan dapat dimengerti oleh orang lain. Jadi untuk apa saya menceritakan kepada orang lain? Lalu jika saya menikmati hal tersebut, untuk apa pula saya mengharapkan pujian dari orang lain. Biar hanya saya, diri saya dan Tuhan saja yang tahu.

KARTU DEBIT

Hari Jumat itu saya libur. Bukan karena saya begitu malas sehingga meliburkan diri, tapi memang sudah tertulis dalam guratan kalender dengan tinta merah. 


Itulah saya dan anak saya berjalan-jalan bersama orang tua saya, adik saya dan suaminya. Tepatnya berkendara-kendara. Soalnya kami hanya duduk dalam mobil dan biar mobil itu saja yang melaju. Barulah kami tiba di sana, sebuah tempat istimewa, kami berjalan kaki memasuki 
sebuah rumah makan. Karena tidaklah mungkin kami membawa mobil hingga masuk kesana. 


Setelah kami mendapatkan sebuah meja panjang beserta beberapa kursi yang cukup untuk kami semua duduk satu orang satu kursi tanpa harus berebutan.


Itulah kami beberapa saat kemudian. Setelah memesan beberapa porsi makanan dan tidak lupa minuman, kami pun menunggu hidangan tersebut tersaji. Sambil menunggu, saya mengajak anak saya melihat akuarium besar yang ada di sana. 


Oh, ternyata di dalamnya ada beberapa ekor ikan hiu mini lengkap dengan badan dan kepalanya. Ini patut saya sampaikan sehingga anda tidak berpikir ikan tersebut hanya ekornya saja. Tanpa badan, tanpa kepala, dan tanpa tulang belakang. Selain ikan hiu, ada banyak lagi jenis binatang laut di sana. Ada ikan bawal bakar bumbu kecap, ada ikan gurame goreng kering, cumi goreng tepung pun ada selain kepiting asem manis dan udang saos padang. 


Semua nampak berjalan baik-baik saja dengan penuh kewajaran. Nanti dulu, apakah menunggu dalam waktu yang cukup lama itu juga termasuk wajar? Bolehlah demikian. Karena kami, khususnya saya berpendapat bahwa sebuah restoran padat pengunjung wajar membuat kami menunggu agak lama. 


Dan pada akhirnya pun meja di hadapan kami pun penuh dengan hidangan yang menggugah selera. Saya pun dengan bangga menyilakan mereka untuk melahap semua makanan yang ada. Tentu saya sudah mewanti-wanti mereka untuk menyisakan sebahagian untuk saya. Semoga anda tidak bertanya mengapa saya yang menyilakan mereka untuk makan, dengan rasa bangga pula. Karena jika ada seorang dari anda yang bertanya, maka saya harus menjelaskan kalau saya adalah satu-satunya dari keluarga saya yang sudah pernah makan di restoran itu. 


Maka pula saya harus memberitahu anda kalau sayalah yang mengajak mereka semua pergi ke sana. Maka pula saya yang akan membayar biaya makan saat itu. Maka pula akhirnya anda akan menilai saya sebagai orang yang sombong. Jadi, demi menghindarkan saya dari perbuatan riya yang tidak disukai orang lain termasuk anda, sebaiknya kita jangan mempermasalahkan hal tersebut.


Lihat itu kami semua makan dengan lahapnya. Mereka terlihat sangat menikmatinya seakan mereka baru kali itu makan di restauran tersebut. Tapi kenyataannya memang itulah kali pertama buat semua orang kecuali saya dan anak saya si Qonita. Kami sudah pernah ke tempat tersebut sebelumnya karena kami mampu, baik secara fisik dan secara finansial. 


Di sepertiga makan terakhir, saya baru ingat kalau saya tidak membawa uang tunai. Tapi tidak masalah, toh masih bisa menggunakan kartu debit untuk membayar. Biar pun saya baru saja kehilangan satu kartu debit saya, toh saya masih bisa menggunakan kartu debit bank yang lain. Meskipun itu adalah kartu debit milik istri saya yang sedang merantau ke Australia, toh itu adalah uang bersama. 


Sekonyong-konyong, saya merasa ada yang salah. Tersadarlah saya kemudian. Kartu debit istri saya memang bisa saya pakai untuk mengambil uang tunai karena saya sudah menghapal kodenya. Akan tetapi, jika ingin menggunakannya untuk keperluan membayar maka saya membutuhkan tanda tangan istri saya. 


Terpaksalah saya harus meminta pertolongan adik saya untuk membayar dulu acara makan-makan tersebut. Saya berjanji akan menggantinya kemudian. Saya jadi teringat tagline sebuah iklan "Don't leave home without it". Bagi saya, slogan tersebut akan berbunyi, "Don't leave home without it, especially without your wife's signature".     

KAUS KAKI

Membaca Koran, membuka facebook, mendengarkan musik digital melalui piranti telepon genggam, mengobrol dan bergosip, bertelepon. Apa kesamaan dari itu semua? Ya itulah yang dilakukan orang sembari menunggu bersama saya dalam ruangan ini.

Ruangan sama yang saya inapi untuk beberapa jam kira-kira setahun yang lalu. Ruangan berbentuk Aula yang lumayan besar untuk dimasuki sekitar seratusan orang lebih. Dan di situ, di ruangan itu pula semua kejadian berawal yang berujung pada kegagalan. Apakah saya sedih? Tidak. Tidak sedikit pun saya sedih. Saya memang kecewa, marah, galau, kusut, emosi, dan lain sebagainya. Tapi saya tidak sedih di ujung kontes itu. Dan sekali lagi, ruangan itu berhasil menciptakan tekanan batin yang sama dengan setahun lalu. Napas menjadi agak sesak, tekanan darah meningkat drastis, seluruh syaraf terasa menegang. Untung saja nafsu tidak ikut berbicara.

Di ruang itu, ada sejuta harapan terkembang. Masih ada optimisme terukir di wajah orang-orang yang sebagian sudah berdandan rapi dan cantik, meskipun ada juga sebagian yang masih bertampang kusut masai karena bersesakan di perjalanan atau bahkan (mungkin) baru bangun tidur dan tidak sempat mandi. Tentu saja, ini baru langkah awal. Seiring dengan perjalanan waktu, optimisme itu kian memudar. Kalau pun gagal atau berhasil, kita toh tidak akan berada di ruangan itu lagi.

Oh, lihat itu. Ada beberapa orang yang saya kenal dan mengenal saya. Walau hanya segelintir dan lebih banyak orang yang saya tidak kenal sama sekali. Ada yang saya kenal waktu masih kuliah dulu. Dia adik kelas saya dan memang sedari dulu saya tidak begitu akrab dengannya. Kami berbeda aliran. Sementara saya menganut aliran Hedonis Aristokratik, dia tergolong Religius Akademistik. Ya, saya hanya bertegur sapa seadanya dan kami pun kembali ke alam masing-masing.

Dan wanita itu, yang di sana itu, kami hanya berteman lewat jaringan facebook. Saya tidak mengenalnya secara personal. Ternyata facebook itu memang sangat artifisial dan tidak mencerminkan sedikit pun tentang dunia nyata. Jumlah teman di facebook belum tentu akurat dengan data pada kenyataan di dunia ini. Bisa jadi lebih banyak, bisa jadi lebih sedikit. Dengan sedikit keisengan, saya yakin seseorang dapat memiliki banyak sekali teman di jaringan sosial itu.

Bagaimana dengan wanita berbaju hitam itu? Nah, kalau yang satu ini memang teman saya. Kami sering berhubungan secara maya. Setidaknya saya mengenalnya jauh lebih baik daripada seantero orang di ruangan kotak ini. Seorang yang sangat menyenangkan untuk diajak berbicara, seorang yang tetap dalam pencarian dalam hidup, seseorang yang mungkin anda kenal dan mungkin juga tidak.

Sementara itulah saya, yang sedang duduk lesehan di lantai berkarpet sambil memainkan perangkat komunikasi elektronik saya. Saya yang sedang menunggu dengan harap-harap cemas kapan nama saya disebut oleh seorang wanita manis di ujung yang berlawanan. Oh, kalau anda pikir wanita itu menyebut nama saya karena mengenal saya, maka anda adalah salah. Dia memang bertugas menyebut nama orang-orang dalam ruangan ini satu per satu pada waktunya. Mungkin dia sedang menghapal nama dan wajah kami tujuannya.

Sementara juga itulah saya, yang tadi pagi tergopoh-gopoh bangun karena tidak ingin terlambat ke ruangan ini. Saya yang tidak biasa lagi bangun sepagi tersebut, harus mengumpulkan segenap niat hanya untuk bangun dan mandi. Saya yang karena terburu-buru pergi sehingga lupa meminjam sepatu bagus pada orang di rumah karena semua sepatu saya yang bagus dan agak bagus tertinggal di kantor. Saya yang akhirnya menggunakan sepatu capung bekas diklat prajabatan dengan ternoda lumpur di sana sini.

Lalu siapa laki-laki yang menghampiri saya dan tidak lama kemudian duduk di samping tidak jauh dari saya itu? Laki-laki yang memulai percakapan dengan cara yang unik dan tidak lazim. Percakapan itu dibukanya dengan menanyakan "kemana kaus kakinya?". Lalu saya jawab, "apakah itu suatu keharusan?" Dan dia melanjutkan dengan bertanya "Di kantor gak pake kaus kaki?" Karena saya sedang enggan berbicara, saya jawab singkat "tidak!" Dan terakhir dia menimpali perkataan saya dengan komentar "Susah memang kalo ga punya kesadaran!"

Pak, Om, Mas, Kak, Bang, Bung, apalah...siapakah sebenarnya anda? Apakah anda berhak mengatur apakah saya harus berkaus kaki atau tidak? Apakah benda bernama kaus kaki itu adalah sebuah benda keramat yang saya harus kenakan? Apakah saya berdosa kalau saya tidak memakai kaus kaki dan ketika saya mati, saya akan dikirim ke neraka yang penuh dengan kaus kaki? Sungguh Pak, Om, Mas, Kak, Bang, Bung, apalah... saya memiliki kesadaran. Saya sadar kalau saya tidak berkaus kaki. Tapi mohon maaf, saya tidak punya kaus kaki, setidaknya saat itu.

SI ANOM

Ya begitulah si Anom itu. Lucu, unik, baik hati walau kadang menjijikan. Tapi apalah artinya satu sifat jelek dibanding timbunan sifat baik lainnya. Jadi, apakah anda mengenal si Anom yang saya ceritakan? Lho, bagaimana anda bisa tahu? Bukannya saya belum cerita?

Mungkin saja anda sudah kenal dengannya. Tapi saya bercerita tentang si Anom yang adik ipar saya dan bukan adik ipar anda tentunya. Kalau pun dia orang yang sama dengan teman anda atau sodara anda, ya biar aja. Biar tau rasa dia. Biar aja dia sadar kalau dunia ini sempit.

Si Anom yang saya ceritakan ini adalah orang yang tiada peka akan nada, bagaimana pula dengan lirik? Sudah jelas dia tidak hapal dengan sukses. Yah begitulah si Anom yang gemar menyumbangkan lagu. Semua lagu pasti akan menjadi sumbang di mulutnya. Coba saja anda minta dia menyanyikan lagu anak-anak yang riang gembira. Anda akan mendengar lagu paling memilukan dan menyayat gendang telinga.

Ya si Anom itu pula yang tidak pernah belajar bagaimana kentut bergaya aristokratik. Sangat dimungkinkan dia adalah tokek dalam kehidupan sebelumnya, dan kini dia menjelma menjadi sesosok TOKENTUT. Itu adalah semacam siluman tokek yang bersuara lewat kentutnya. Prett...kaya...prett, miskin...prett, kaya...begitulah seterusnya.

Anda boleh memujanya untuk mendapatkan kekayaan secara mudah dan instan. Syaratnya gampang, tanpa bunga, dan uang muka rendah. Cukup anda sediakan segelas kopi hitam dan beberapa batang rokok. Taruh semua itu di kamar mandi, kemudian buka seluruh pakaian anda. Baca mantra yang diwajibkan sebanyak 5.976.832 kali. Ingat, itu tidak boleh lebih apalagi kurang. Anda juga dilarang menggunakan alat pengingat atau penghitung seperti sempoa, kalkulator atau sebangsanya. Selain itu, anda juga dilarang mencontek. Jika anda telah selesai, anda dipersilakan meninggalkan ruangan. Selamat bekerja. Lho koq seperti sedang mengerjakan SNMPTN?

Begitulah si Anom yang matanya sipit sebelah karena keseringan ngintip dari belakang lensa kamera. Si Anom yang sayang anak kecil, sayang ibu, sayang ayah, sayang adik kakak, pokoknya semua lah; termasuk anda, saya, dan mereka.

Saya tidak bermaksud memujinya karena dia sering membayari saya makan. Atau karena dia sering membelikan saya barang ini dan itu. Tidak sama sekali tidak. Itu fitnah sodara-sodara! Itu fitnah yang sangat keji! Saya melakukannya hanya ingin menggambarkan bagaimana si Anom itu adanya secara penuh keikhlasan, sungguh. Percayalah pada saya.

Jadi, apakah anda ada mengenalnya? Apakah Anom itu pula yang anda kenal dalam kehidupan anda sekalian? Jikalau anda ada bertemu dengannya, tolong sampaikan salam dari saya. Dia pastinya telah mengenal saya. Tolong katakan padanya untuk mengembalikan tali pocong saya yang dicurinya dari makam saya lima puluh tahun yang lalu.