Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

DUNIA BUKAN HUTAN BELANTARA

Seorang teman hari ini menceritakan berita baik pada saya. Sebenarnya itu juga masih belum dapat disebut berita karena kebenarannya masih simpang siur, bahkan ada kemungkinan berita itu tidak terjadi. Tapi tetap saya memandang hal itu adalah satu hal yang baik. Dia mengatakan bahwa ada rumor bahwa dirinya akan diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Jerman. Atasannya merekomendasikan namanya ketika tersebut bertemu dengan delegasi sebuah lembaga dari negara tersebut. Biarpun begitu, teman saya ini merasa hal ini masih merupakan suatu kenisbian. Karena sangat mungkin ada pihak yang tidak senang dengan keberhasilan dirinya, sekiranya terjadi, dan mengupayakan berbagai cara agar dia tidak mendapat apa yang dia inginkan.

Di satu sisi, memang dia merasa bahagia dengan rumor ini. Melanjutkan pendidikannya-terlebih di luar negeri-memang menjadi salah satu impian yang dia miliki. Akan tetapi, di sisi berseberangan, kebahagiannya itu terasa tidak bulat. Ada banyak kegalauan yang menyelimuti hati dan pikirannya. Selain masalah ketidakpastian akan kebenaran apakah rumor itu akan menjadi kenyataan seperti saya sebut di atas, dia juga merasa ada kendala bahasa. Yang terakhir ini seakan menjadi tembok besar yang menghalangi dia dan impiannya. “Bagaimana saya bisa memahami kuliah? Saya tidak bisa berbahasa Jerman sama sekali,” kira-kira begitulah yang dikatakannya.

Memang ada lembaga bahasa seperti Goethe Institut yang menyediakan kursus Bahasa Jerman, dan instansi yang akan memberi beasiswa kepadanya pasti merekomendasikan lembaga tersebut. Namun, dia mengatakan biaya untuk kursus tersebut tidak murah. Dia tidak mau mengeluarkan uang begitu besar untuk suatu yang tidak pasti. Bukan dia pelit, tapi masih banyak keperluan yang lebih penting dari sekedar kursus bahasa. Mungkin dia juga terimbas krisis ekonomi global. Akan tetapi, dia juga merasa perlu menyiapkan diri sebaik mungkin seandainya benar berita itu menjadi nyata. Dia tidak ingin pergi berperang tanpa membawa senjata.

Ini adalah masalah klasik. Saya yakin banyak sekali orang yang berpikir sama dengan teman saya tadi. Banyak yang terjebak dalam dilema psikologis semacam itu. Merasa tidak memiliki kemampuan yang cukup bahkan hanya untuk sekadar bertahan hidup. Sangat tidak menyenangkan memang menunggu dalam ketidakpastian. Bagaimana kita harus menyiapkan diri untuk sesuatu yang masih berada di awang-awang?

Kita terlalu banyak menghabiskan waktu dan perhatian kita untuk menyemai dan menumbuhkan benih ketakutan dalam diri kita. Kita terlalu sibuk memikirkan kemana kita akan melangkah, sampai kita lupa bahwa yang seharusnya kita lakukan adalah melangkah. Inilah yang terjadi dengan teman saya. Dia begitu sibuk memikirkan apa yang harus dilakukan seandainya berita itu benar mendatanginya, persiapan apa yang harus dilakukan, apakah dia akan bisa bertahan hidup selama sekitar dua tahun dalam menempuh pendidikan. Dia juga sibuk berandai-andai jika berita itu tidak benar-benar terjadi. Dia merasa rugi telah mengorbankan sesuatu yang sangat berharga dalam upaya menyiapkan diri untuk sesuatu yang tidak terjadi.

Saya yakinkan kepadanya bahwa yang paling penting adalah membenahi sikap mental terlebih dahulu. Itu merupakan persiapan yang sangat vital dalam upaya bertahan hidup. Dalam kasus ini, teman saya lupa bahwa yang seharusnya dia lakukan pertama adalah memastikan kebenaran dari rumor tersebut. Sebab, semua yang akan dilakukannya kemudian berawal dari titik tolak ini. Jika pun dia merasa tidak akan berhasil mencari tahu kemungkinan terjadinya, itu tidak menjadikan langit runtuh. Menunggu dan memantau segala perkembangan juga sudah menjadi bagian dari langkah awal. Namun, sementara menunggu, dia masih bisa menyiapkan diri untuk hal yang terburuk. Bagaimana seandainya dia tidak jadi berangkat?

Sebenarnya dia tidak dirugikan dalam bentuk apapun jika impiannya harus tertunda. Dia tetap harus bekerja seperti biasa, menerima gaji dalam jumlah biasa, menjalani rutinitas hidup sebagaimana layaknya. Tidak ada yang berubah. Mungkin memang belum rezeki dia, akan tetapi hidup belum berakhir. Masih ada kesempatan lain.

Jika kita masih menjadi seorang manusia yang mempercayai akan adanya Tuhan, maka kita juga akan percaya bahwa Tuhan sudah merancang sebuah skenario untuk hidup kita. Tuhan tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya. Saya harus berterus terang kalau teman saya ini jauh lebih relijius dari pada saya. Dengan channel yang tidak begitu baik dalam berhubungan dengan Tuhan, saya masih diberi banyak sekali kemudahan dan semua hal positif. Mengapa dia harus takut? Antena televisi UHF atau VHF tentu kalah dengan parabola dalam menangkap gelombang yang dipancarkan. Saya menganalogikan diri saya seperti memasang antena UHF sementara teman saya itu sudah menggunakan antena parabola.

Tidak seharusnya kita menempatkan ketakutan atau kekhawatiran di antara kita dengan impian kita. Sebaliknya, yang harus kita semai adalah rasa percaya diri dan keyakinan ditambah dengan tekad kuat untuk berhasil. Ketika seorang prajurit hanya mikirkan kekalahan, maka Ia hanya akan memikirkan cara untuk bertahan bukan menyerang dan kita tidak akan bisa menang jika kita tidak menyerang. Dan jauh sebelum itu, Pastikan dulu bahwa perang itu ada! Bukan hanya sekedar katanya...katanya...

Begitu pula dengan kekhawatiran bahwa dia akan kesulitan hidup, termasuk dalam menjalani perkuliahan, di negara lain dengan bahasa yang asing dalam waktu yang cukup lama. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa dalam setiap diri manusia telah terdapat alat untuk bertahan hidup (survival kit). Dan sebenarnya sejak lahir kita juga sudah mengembangkan mekanisme untuk bertahan hidup dalam kondisi bagaimanapun. Ingat bagaimana kita menyampaikan pesan kalau kita haus atau lapar ketika kita masih bayi dan belum bisa berbicara? Bagaimana kita menyampaikan kalau kita merasa gerah? Atau popok sudah waktunya diganti? Jawaban atas semua itu hanya menangis. Sedikit sekali orang yang tahu arti dari tangis bayi dan apakah ada perbedaan tangis dalam menyampaikan pesan tersebut. Tetap saja kita mendapatkan apa yang kita mau.

Jangan pernah membayangkan kalau kita berada di negeri orang dengan bahasa dan budaya yang berbeda seperti berada di hutan rimba belantara seorang diri. Ada sebuah bahasa universal yang dimengerti oleh orang di belahan dunia manapun, yaitu bahasa kalbu. Kalaupun orang Jerman tidak mengerti Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, kita masih dapat menggunakan bahasa tubuh seperti raut muka, gerakan tangan, bahkan sorot mata untuk menghantarkan pesan yang ingin kita sampaikan.

Saya telah membuktikannya ketika saya pertama kali pergi ke luar negeri. Dengan pemahaman yang hampir nihil tentang kultur dan sifat orang di Turki, saya berangkat dengan niat yang baik dan nekad. Pada akhirnya, saya dapat bertahan hidup dan dapat berkomunikasi dengan orang-orang di sana. Bahkan, saya hingga kini memiliki teman yang masih saling bertukar kabar.

Selain itu juga saya selalu teringat ucapan ayah saya dan mantan murid-murid saya yang kini menjadi atasan saya. Ayah saya pernah bercerita tentang seorang temannya pergi ke Belanda. Ternyata, di suatu tempat temannya tersebut bertemu dengan rekan sekantornya pula. Bayangkan, bahkan di suatu negara yang jauhnya ribuan kilometer dan dengan wilayah yang sangat luas, temannya masih bertemu dengan orang sebangsa dan senegara dengannya.

Pun begitu dengan mantan murid saya. Suatu ketika mereka menceritakan bahwa ketika mereka di Amerika Serikat mereka bahkan tinggal di satu apartemen dengan sesama orang Jawa, meskipun mereka tidak berangkat secara bersamaan. Mereka berkelakar bahwa sekembalinya mereka dari AS, Bahasa Inggris mereka tidak menjadi lebih baik, namun Bahasa Jawa mereka mengalami peningkatan yang sangat pesat.

Saya percaya itu juga akan terjadi dengan teman saya jika memang Ia jadi berangkat. Dunia kini sudah menjadi perkampungan besar. Sangat besar kemungkinan kita bertemu rekan se-tanah air di negara lain. Kita tidak akan pernah benar-benar sendiri. Akan selalu ada orang lain yang siap membantu kita, jika kita memang memiliki niat yang baik dan selalu berpikir positif. Jadi apa yang harus ditakutkan?