Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

PRAJABATAN – KEDATANGAN

Sampai detik terakhir surat tugas itu mendarat di tangan, saya masih belum percaya kalo saya harus masuk Dephan. Buat saya, lebih baik masuk angin daripada masuk Dephan. Sama-sama tidak enak, bikin perut mulas, keringat dingin keluar. Tapi bedanya, kalo masuk angin bisa bikin kita pintar. Soalnya, orang pintar minum tolak angin. Nah, kalo masuk Dephan kita harus latihan lari, push-up dan sebagainya.

Gelombang pertama boleh jadi berangkat ke Dephan. Tapi selalu ada kemungkinan untuk sisanya dikirim ke BPS. Sempat ada polemik, yang positip dan yang negatip. Ada yang bilang kalo Dephan cuma mengadakan Diklat Prajabatan untuk golongan III sekali setahun. Wuih... melegakan sekali. Tapi, sisanya bilang kalo semua CPNS di Mahkamah Konstitusi harus masuk Dephan. Bikin bingung saja. Akhirnya saya membulatkan tekad untuk menyiapkan diri semaksimal mungkin, seandainya saja memang saya harus ke Dephan.

Ketika gelombang pertama kembali dari perasingan, mereka menyebarkan aroma tidak enak tentang pelaksanaan Diklat Prajabatan. Mereka bercerita bagaimana beratnya hidup di sana. Dul, gak usah cerita juga saya tahu itu berat. Dephan gitu loooh... katanya, mereka disuruh lari tengah hari sebelum makan siang. Makan siang pun harus habis dengan waktu yang terbatas. Kalau tidak habis, teman satu meja harus membantu menghabiskan. Belum lagi masalah kerapihan kamar yang harus selalu dijaga.

Mendengar hal tersebut, saya semakin merasa harus meningkatkan persiapan. Masalah kerapihan kamar mungkin jadi masalah, tapi yang terberat adalah latihan fisik. Saya menyadari kalo saya punya kelemahan di segi fisik. Selain itu, saya merasa bisa menyesuaikan. Saya kemudian cari cara aman bagaimana mensiasati keadaan tersebut. Ternyata otak saya yang ala kadarnya ini, cukup cerdas untuk mencari jalan keluar. Bukan lewat pintu tentunya, saya coba memeriksakan diri ke poliklinik kantor sekaligus minta surat keterangan sehat. Ternyata, saya mengalami gangguan hati. Hati saya terbagi dengan yang lain.... Tidak! Tidak! Maksud saya, gangguan fungsi hati. Akhirnya, saya meminta surat keterangan sakit dari Dokter Satrio. Beres! Setidaknya itu perkiraan saya.

Sehari setelah libur Idul Fitri berakhir, saya harus ke Pusdiklat Tekfunghan Dephan. Itu hanya untuk mengisi Daftar Riwayat Hidup dan memberikan dokumen yang dibutuhkan. Cialat! Saya tidak membawa semua dokumen itu. Saya pergi ke sana bersama teman-teman dengan bermodalkan sebuah pulpen saja. Dokumen saya bisa dikumpulkan keesokan harinya.

Gedung Pusdiklat Tekfunghan ada di Jalan Salemba Raya 14, persis di seberang Rumah Sakit St. Carolus. Dari Jalan Salemba Raya, tempat ini terkesan sangat lengang. Bahkan, sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tapi, gedung ini terus memanjang ke belakang, dan disitulah kehidupan berada. Yang kebayang di pikiran gue kalo denger nama tempat ini adalah Fu Yung Hai. Makanan di restoran Cina, dibuat dari telur kocok yang dicampur terigu sedikit sama daun bawang, daging ayam atau udang. Hmm... yummy. Ah, koq jadi ngomongin makanan sih...

Keesokan harinya saya belum kapok. Saya kembali datang pagi-pagi sekali untuk menaruh barang yang wajib dibawa selama pendidikan. Itu saya teronggok di pos penjagaan sembari menunggu apel pagi selesai. Kata provost yang menjaga, saya harus menunggu apel selesai sebelum bisa menaruh barang di kamar. Kamar saya berada di lantai 4 gedung Prambanan, tepatnya kamar 460. Rencananya saya akan memiliki seorang teman tidur bernama dr. Andang Susilo. Entah siapa itu orang dan darimana asalnya. Yang pasti saya beruntung dapat tempat tidur di bawah AC. Artinya saya gak akan kepanasan kalo malam.

Sehabis menaruh barang di kamar, saya kembali berkumpul di MK. Kami rencananya akan berangkat bersama dengan kendaraan kantor. Ternyata memang benar, kami berangkat sekitar pukul 9 pagi. Setelah sampai, saya lalu menjalani tes kesehatan. Sekitar pukul 11 siang semuanya sudah beres dan saya berada di kamar. Masuklah seorang pria agak kurus dengan membawa peralatan tempurnya. Dia pastilah Andang. Kalau tidak, untuk apa dia ada di kamar saya? Perkiraan awal, dia seorang yang tidak terlalu banyak bicara. Kami berbincang seadanya, saling mengenalkan diri dan asal kami. Dia bilang, dia berasal dari Solo. Wah... dia pasti putra solo yang kalem. Jangan-jangan.....tidak mungkin....ternyata benar...dia tidak ada hubungannya dengan Rumah Makan Wong Solo; biar kata dia juga seorang Wong Solo, tapi dia tidak membawa ayam bakar. Pastilah bukan.

Yang saya perhatikan, sebagian besar dari peserta sudah saling mengenal. Mereka pasti dari Dephan sendiri. Kebanyakan dari mereka adalah dokter di lingkungan militer. Saya pribadi merasa agak minder...haduh...saya harus berkenalan dengan manusia sebanyak ini? Saya punya masalah dalam mengingat nama orang yang baru dikenal. Bukan sombong kalo kita baru kenalan dan saya tidak menyapa anda ketika ketemu lagi, saya cuma takut malu karena tidak mengenal nama anda. Itu saja. Balik lagi ke prinsip pribadi saya; cuek aja lah... toh yang penting saya bisa selesaikan Diklat ini dan jadi PNS. Kalaupun mereka bilang saya sombong, itu urusan mereka, bukan urusan saya.

PRAJABATAN - PENDAHULUAN

Perjalanan menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil ternyata masih panjang. Proses pendaftaran yang diikuti oleh tahap seleksi, bukan menjadi titik akhir. Saya pikir, dengan melalui proses itu, semua sudah menjadi gamblang. Mulai bekerja, dapat gaji plus tunjangan, kalau sudah tua dapat pensiun.

Ada satu tahap lagi yang harus saya lalui sebelum mendapat hak gaji 100 persen. Bagi sebagian orang, persyaratan ini hanya sekadar formalitas atau basa basi. Tapi, itu mungkin hanya untuk yang beruntung – atau untuk yang cuma mengejar fasilitas saja. Syarat tersebut adalah menjalani “ibadah” Diklat Prajabatan. Diklat ini sudah menjadi sebuah ibadah atau ritual yang wajib harus dilakoni. Kalau tidak mau, atau karena suatu dan lain hal, tidak lulus maka hilang sudah kesempatan untuk menyandang gelar PNS.

Isteri saya yang sudah mendahului menjadi seorang PNS juga harus melalui tahapan yang sama. Dia dulu harus menunaikannya di Biro Pusat Statistik. Dia bilang, ini cuma menggugurkan kewajiban aja. Tidak susah untuk lulus dari Diklat ini. Yang lebih susah adalah menjaga mata tetap terbuka dalam menerima materi. Toh, pada kenyataannya diklat tinggal menjadi diklat. Tidak ada perubahan yang berarti dari para Pegawai Negeri itu sekeluarnya mereka dari pendidikan itu.

Mungkin dia cukup beruntung, menempuh Diklat di instansi yang tidak terlalu menekankan disiplin. Aturan yang dibuat di tempat tersebut, benar-benar dibuat untuk dilanggar. Masih banyak peserta yang pulang ke rumah masing-masing setiap hari. Banyak yang jalan-jalan keluar lokasi, meski peraturan mengatakan hal sebaliknya.

Nah, kini masa saya untuk mengikuti kegiatan tersebut. Tapi tidak di BPS seperti isteri saya, saya harus melaksanakannya di lingkungan Departemen Pertahanan. Mendengar nama Dephan aja sudah membuat saya takut. Setiap pagi harus melaksanakan apel, mau pulang harus apel. Belum lagi kegiatan semi militer yang harus dijalani dengan tingkat disiplin superketat. Diperparah dengan kegiatan fisik yang memang menyerupai militer. Bisa nggak saya melakukan semua itu? Sejak kuliah, hidup saya itu menganut paham hedonistik aristokrat. Semua serba moderat. Tempat saya bekerja juga cukup moderat. Tidak ada kegiatan upacara bendera tanggal 17 setiap bulan. Tidak ada apel pagi dan sore. Olahraga setiap Jumat juga dilakukan sekadarnya saja. Kalau saya bilang, setiap Jumat pagi saya tidak senam. Saya cuma menggoyangkan badan saja.

Tapi kata orang Batak Que Sera Sera; apa yang terjadi, terjadilah. Ternyata banyak kesan yang saya dapat dari menjalani Diklat Prajabatan di Lingkungan Departemen Pertahanan. Saya coba mengingat dan tulis dalam berapa artikel mendatang