Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

KARTU DEBIT

Hari Jumat itu saya libur. Bukan karena saya begitu malas sehingga meliburkan diri, tapi memang sudah tertulis dalam guratan kalender dengan tinta merah. 


Itulah saya dan anak saya berjalan-jalan bersama orang tua saya, adik saya dan suaminya. Tepatnya berkendara-kendara. Soalnya kami hanya duduk dalam mobil dan biar mobil itu saja yang melaju. Barulah kami tiba di sana, sebuah tempat istimewa, kami berjalan kaki memasuki 
sebuah rumah makan. Karena tidaklah mungkin kami membawa mobil hingga masuk kesana. 


Setelah kami mendapatkan sebuah meja panjang beserta beberapa kursi yang cukup untuk kami semua duduk satu orang satu kursi tanpa harus berebutan.


Itulah kami beberapa saat kemudian. Setelah memesan beberapa porsi makanan dan tidak lupa minuman, kami pun menunggu hidangan tersebut tersaji. Sambil menunggu, saya mengajak anak saya melihat akuarium besar yang ada di sana. 


Oh, ternyata di dalamnya ada beberapa ekor ikan hiu mini lengkap dengan badan dan kepalanya. Ini patut saya sampaikan sehingga anda tidak berpikir ikan tersebut hanya ekornya saja. Tanpa badan, tanpa kepala, dan tanpa tulang belakang. Selain ikan hiu, ada banyak lagi jenis binatang laut di sana. Ada ikan bawal bakar bumbu kecap, ada ikan gurame goreng kering, cumi goreng tepung pun ada selain kepiting asem manis dan udang saos padang. 


Semua nampak berjalan baik-baik saja dengan penuh kewajaran. Nanti dulu, apakah menunggu dalam waktu yang cukup lama itu juga termasuk wajar? Bolehlah demikian. Karena kami, khususnya saya berpendapat bahwa sebuah restoran padat pengunjung wajar membuat kami menunggu agak lama. 


Dan pada akhirnya pun meja di hadapan kami pun penuh dengan hidangan yang menggugah selera. Saya pun dengan bangga menyilakan mereka untuk melahap semua makanan yang ada. Tentu saya sudah mewanti-wanti mereka untuk menyisakan sebahagian untuk saya. Semoga anda tidak bertanya mengapa saya yang menyilakan mereka untuk makan, dengan rasa bangga pula. Karena jika ada seorang dari anda yang bertanya, maka saya harus menjelaskan kalau saya adalah satu-satunya dari keluarga saya yang sudah pernah makan di restoran itu. 


Maka pula saya harus memberitahu anda kalau sayalah yang mengajak mereka semua pergi ke sana. Maka pula saya yang akan membayar biaya makan saat itu. Maka pula akhirnya anda akan menilai saya sebagai orang yang sombong. Jadi, demi menghindarkan saya dari perbuatan riya yang tidak disukai orang lain termasuk anda, sebaiknya kita jangan mempermasalahkan hal tersebut.


Lihat itu kami semua makan dengan lahapnya. Mereka terlihat sangat menikmatinya seakan mereka baru kali itu makan di restauran tersebut. Tapi kenyataannya memang itulah kali pertama buat semua orang kecuali saya dan anak saya si Qonita. Kami sudah pernah ke tempat tersebut sebelumnya karena kami mampu, baik secara fisik dan secara finansial. 


Di sepertiga makan terakhir, saya baru ingat kalau saya tidak membawa uang tunai. Tapi tidak masalah, toh masih bisa menggunakan kartu debit untuk membayar. Biar pun saya baru saja kehilangan satu kartu debit saya, toh saya masih bisa menggunakan kartu debit bank yang lain. Meskipun itu adalah kartu debit milik istri saya yang sedang merantau ke Australia, toh itu adalah uang bersama. 


Sekonyong-konyong, saya merasa ada yang salah. Tersadarlah saya kemudian. Kartu debit istri saya memang bisa saya pakai untuk mengambil uang tunai karena saya sudah menghapal kodenya. Akan tetapi, jika ingin menggunakannya untuk keperluan membayar maka saya membutuhkan tanda tangan istri saya. 


Terpaksalah saya harus meminta pertolongan adik saya untuk membayar dulu acara makan-makan tersebut. Saya berjanji akan menggantinya kemudian. Saya jadi teringat tagline sebuah iklan "Don't leave home without it". Bagi saya, slogan tersebut akan berbunyi, "Don't leave home without it, especially without your wife's signature".     

Tidak ada komentar: