Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

Istana Negara yang katanya Untuk Rakyat

18 Agustus 2008

Sabtu lalu saya ada berkunjung ke Istana Negara. Bukan karena saya ingin bertemu Presiden, bukan pula Presiden yang ingin bertemu saya. Adapun saya kemana karena tugas mulia untuk mengabadikan kejadian yang terjadi melalui lensa yang terletak di ujung kamera digital yang saya bawa memang untuk acara itu. Aduh, panjang sekali. Singkatnya saya bertugas memotret Pelantikan Hakim Konstitusi.

Semua sudah siap. Sudah siap semua. Lihatlah kami pun berangkat menuju kesana. Berenam dalam satu mobil, berbondong-bondong di siang bolong dengan perut yang agak kosong. Pukul satu siang waktu itu, kami pun tiba sebelum acara dimulai. Rencananya acara tersebut akan berlangsung pada pukul dua siang. Siapakah yang merencanakan? Saya tidak tahu dan tidak mencari tahu karena buat apa? Anda juga tidak mau tahu.

Yang namanya istana, pengamanannya pun harus ketat. Kalau tidak ketat, nanti bisa kedodoran. Itu sih tali kolor, bukan istana. Tapi istana juga harus ketat pengamanannya meskipun bukan tali kolor. Ketika datang, kami harus menukarkan kartu identitas kami sendiri dan bukan identitas orang lain apalagi makhluk lain, dengan kartu tamu. Cilakanya saya tidak bawa dompet. Padahal di dalam dompet tersebut terdapat KTP, SIM, STNK, kartu nama wartawan televisi yang cantik-cantik, slip pembayaran dengan kartu debit, slip penarikan uang dari sebuah bank di negara ini. Buat apa juga saya ceritakan hal ini? Tidak pentinglah, jangan dibacalah, lewatkanlah.

Karena kami datang secara rombengan. Maksudnya rombongan orang-orang rombeng. Saya ada diberi ijin untuk masuk oleh bapak petugas yang raut mukanya diseram-seramkan pada orang asing, termasuk pada kami meskipun kami bukan orang asing, kami orang pribumi asli. Bapak, lain kali jangan seperti itu, ah! Siapa tau saya ini teroris yang berniat tidak baik. Kalau begitu bagaimana? Bapak juga bukan yang harus bertanggung jawab?

Kemudian kami harus melewati detektor logam yang bentuknya seperti pintu gerbang menuju negeri antah berantah. Semua isi kantong harus dikeluarkan semua. Inilah masalah itu, uang logam di kantong saya sangat banyak sekali. Butuh waktulah saya untuk mengeluarkan semua. Untung saja saya tidak disuruh menghitung jumlah uang tersebut, bagaimana mungkin? Membaca saja aku sulit. Ternyata setelah bersusah payah, detektor logam itu masih tetap berbunyi ‘tulalit!’. Jadilah saya harus digeledah pake tongkat yang juga merupakan detektor logam. Ampun, Pak! Saya bukan teroris. Lihatlah secara saksama, tampang saya berbeda bukan dengan Amrozi atau Ali Ghufron atau Imam Samudera? Apakah ada merk teroris tertera di muka saya? Tentu tidak. Mohon maaf kepada bapak yang mengantri di belakang saya untuk digeledah karena saya butuh waktu yang lama. Lagipula siapa suruh bapak ada di belakang saya? Kalau bapak ada di depan saya, pastilah bapak tidak harus menunggu lama.

Lolos dari gerbang pertama masuk mulut buaya. Bukan itu, maksudnya masuk gerbang kedua dengan prosedur yang sama. Tidak usahlah saya ceritakan bagaimana prosesnya karena sama saja dengan sebelumnya. Anda pasti bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi ketika saya harus mengeluarkan seluruh uang logam saya, kunci-kunci saya dan semua isi kantong saya, dan mesin itu tetap berbunyi dan saya harus digeledah kedua kalinya dan saya tetap yakin kalau saya bukan seorang teroris. Anda pasti pula bisa membayangkan apa yang terjadi selanjutnya, ketika saya dengan tergopoh-gopoh mengejar teman-teman lain setelah digeledah, ketika saya terengah-engah mencapai mereka itu. Untuk itu tidak perlu kiranya saya ceritakan kembali. Gunakan saja imajinasi anda.

Suasana dalam istana masih seperti dulu. Masih sepi dan lengang. Ruang upacara masih ditata seperti semula. Presiden pun masih tidak berada di sana. Entah di mana Beliau berada. Tempat untuk wartawan elektronik pun masih seperti dulu di tempat seperti dulu pula. Kami mulai ancang-ancang pasang kamera dan mencari posisi yang bagus. Sekonyong-konyong ada seorang bapak yang menghampiri kami dan menanyakan surat ijin kami. Kata dia untuk melakukan dokumentasi di istana memerlukan ijin khusus. Ternyata beliau mengaku dari biro pers istana. Wahai bapak, angkuh sekali dirimu itu. Tidak sadarkah engkau dengan program ‘istana untuk rakyat’? Wahai bapak, apakah bapak ada mengetahui bahwa Tuhan pun tidak membutuhkan ijin khusus dari umatnya yang menyebarluaskan dokumentasi mengenai keberadaan-Nya. Tuhan saja tidak meminta surat tertulis ketika umatnya ingin menyebarluaskan Firman-Nya, perkataan-Nya. Mengapa bapak seperti itu? Mungkin karena bapak adalah seorang manusia. Mungkin karena bapak punya rasa, punya hati.

Apakah bapak khawatir bahwa dokumentasi tersebut akan kami gunakan untuk hal-hal yang tidak terpuji? Kami beritahukan bahwa kami berasal dari lembaga tinggi negara yang terhormat yang sejajar dengan Presiden. Atau apakah bapak mengharapkan kami memohon atau mengemis pada bapak untuk salinan dokumentasi acara tersebut, acara yang sebenarnya adalah acara kami, dengan hakim kami, dengan pimpinan kami, dengan imbalan sejumlah uang? Ambilah ini uang receh yang ada di kantong saya.

Kelak kalau saya jadi Presiden, saya tidak akan melakukan hal tersebut. Siapa saja boleh memotret dengan kamera mereka sendiri, merekam dengan kamera video mereka sendiri, merekam dengan alat perekam mereka sendiri tentunya. Selama hal itu dilakukan dengan tertib dan tidak brutal dan tidak digunakan untuk hal yang tidak pantas. Oleh sebab itu saudara-saudara, doakan saya agar bisa menjadi Presiden. Pililah saya ketika saya mencalonkan diri dalam Pemilu yang entah kapan.

Tidak ada komentar: