Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

FACEBOOK...OH...FACEBOOK

Teknologi harusnya memudahkan manusia. Itu setidaknya yang saya percaya. Sebelum ada teknologi, manusia harus melakukan segalanya secara manual. Manusia pun segera menyadari perlunya alat untuk memudahkan pekerjaan mereka. Dengan bakat inovasi yang dimilikinya, manusia lalu berusaha memikirkan cara untuk meringankan beban mereka. Satu per satu perkakas kemudian diciptakan. Mulai dari yang sederhana, seperti misalnya mata tombak atau mata panah untuk mendapatkan hewan buruan.

Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia, kebutuhan manusia juga semakin bertambah dan semakin kompleks. Dan entah karena alasan itu atau lainnya, pada suatu ketika di daratan eropa, terjadilah perubahan besar-besaran. Suatu perubahan dalam tatanan masyarakat yang kelak dikategorikan sebagai satu era baru yaitu reformasi teknologi. Pada era tersebut, banyak sekali penemuan (invention) yang terjadi. Seperti misalnya penciptaan mesin uap, mesin cetak dan mobil. Sekali lagi, semua itu dalam upaya mendukung kinerja manusia dalam mencapai tujuannya.

Saya juga menilai, salah satu penemuan terhebat setelah arus listrik adalah komputer. Pada awalnya, yang namanya komputer itu hanya bisa membaca bilangan biner saja. Hanya angka 1 dan 0 yang mampu dibaca komputer. Sangat sederhana namun piranti yang dibutuhkan teramat rumit dan besar. Saya tidak begitu memahami sejarah perkomputeran, tapi saya masih ingat pengalaman ketika saya masih kecil yang berhubungan dengan komputer.

Saya termasuk beruntung karena saya sudah bersentuhan dengan komputer sejak kecil, meskipun secara tidak langsung. Ayah saya bergelut dalam dunia perkomputeran, khususnya pengolahan data, tanpa melalui pendidikan formal. Beliau hanya seorang tamatan sekolah ekonomi atas atau SMEA. Dulu, beliau sering membawa pulang gulungan besar berdiameter sekitar 30 atau 40 sentimeter pita berwarna hitam. Beberapa tahun kemudian saya baru mengetahui bahwa itu adalah gulungan pita magnetik.

Beberapa kali juga saya dibawanya ke sebuah ruang yang sangat dingin. Dalam ruangan itu terdapat jejeran kotak besi berukuran besar. Seperti kulkas dua pintu. Itu adalah ruang server. Dan di salah satu kotak tersebut, pita magnetik itu dipasang sebelum digunakan. Sangat memakan tempat dan tidak praktis.

Dalam perkembangan berikutnya, saya diajak bergaul dengan komputer pribadi atau Personal Computer (PC). Karena pandangan visioner ayah saya, saya sudah memiliki sebuah PC dengan kemampuan ala kadarnya di rumah. Saya kemudian “dipaksa” menggunakan program-program yang terdapat di dalamnya. Mungkin masih ada di antara anda yang pernah bersentuhan dengan program WS untuk mengetik dan LOTUS untuk pengolahan data sederhana. Saya sempat memahami beberapa fungsi dalam kedua program tadi.

Pun ketika teknologi komputer itu semakin berkembang dengan program Windows® yang kerap berubah sesuai jaman, saya tergolong cepat untuk berinteraksi dengannya. Hubungan saya dengan teknologi komputer melambat ketika saya mulai kuliah. Pada masa tersebut, teknologi internet mulai merambah Indonesia. Perlahan saya mulai mengenalnya melalui media warnet (warung internet). Saya mulai paham apa itu surfing, browsing, chatting, downloading dan segalanya.

Ternyata, komputer bukan lagi hanya sekadar sarana untuk mencari informasi secara mudah. Dengan mewabahnya situs pertemanan friendster, orang menjadikan internet sebagai sarana berinteraksi sosial. Semua orang harus bergabung dengan friendster, yang tidak punya account di friendster dianggap tidak gaul atau kuno. Saya agak terlambat untuk bergabung di friendster. Itu juga tidak terlepas dari tempat kerja saya yang tidak didukung oleh sambungan internet.

Meskipun begitu, pada dasarnya saya memang tidak terlalu antusias dengan keberadaan si friendster tadi. Saya kurang merasa nyaman mengekspose diri saya kepada publik. Untuk saya, lebih baik saya membuka diri saya selebar-lebarnya kepada orang yang saya kenal dengan baik secara fisik. Bukan hanya secara virtual. Lebih lagi ketika saya harus mengevaluasi diri saya dengan menyebutkan apa yang saya suka, buku apa yang menjadi favorit saya, dan segala macam informasi seperti itu. Teman-teman saya bahkan banyak yang tidak mengetahui detil informasi tentang saya. Kalaupun ada yang mengenal saya dengan baik, itu butuh waktu berbulan-bulan dan tidak hanya sekejap saja. Mengenal seseorang tidak hanya semudah menekan klik pada tikus elektronik anda.

Era friendster pun segera berlalu dengan terbitnya Facebook. Demam facebook ternyata lebih dahsyat. Epidemi facebook secara cepat melanda seluruh penjuru dunia. Semua orang berlomba-lomba mengambil tempat di situs pertemanan elektronik tersebut. Kelebihan facebook dibandingkan friendster adalah fitur yang lebih lengkap dan akses yang lebih mudah. Selain ada ukuran jumlah teman kita yang sudah mengenal kita, facebook juga menawarkan sarana untuk berkomunikasi antar teman melalui fasilitas chat dan wall-to-wall. Lebih jauh lagi, kita juga dimungkinkan untuk memantau apa yang sedang dilakukan teman kita dengan membaca status mereka. Pengelola facebook juga memudahkan para pengguna untuk menampilkan foto-foto koleksi pribadi mereka.

Bayangkan, saya terkejut bukan kepalang ketika seorang teman secara tidak dinyana menampilkan foto saya pada waktu awal kuliah. Tidak lama kemudian, ada seorang teman lain yang sudah lama sekali tidak bertemu menampilkan foto ketika saya masih di kelas 6 SD. Di satu sisi memang saya merasa senang dan lucu melihat foto saya ada di sana. Tapi kemudian saya juga merasa aneh mengetahui bahwa ada kemungkinan orang di seluruh penjuru dunia melihat bahkan mengambil foto saya ketika saya masih polos dan belum ternoda seperti itu.

Untuk saya, itu sudah merupakan pelanggaran domain pribadi. Tapi saya tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun terhadap teman saya yang menampilkan foto tersebut. Bukan karena tidak ada sarananya, tapi saya tidak punya biaya untuk mengakses sarana tersebut. Kalau pun ada biaya tersedia, saya agak malas untuk melakukannya. Jadi, ya sudahlah. Tetap saja itu tidak membenarkan siapapun untuk masuk ke ranah personal tanpa ijin dari pihak-pihak yang terlibat. Bayangkan, jika ada foto tidak senonoh yang melibatkan saya dan banyak orang lain sebagai korban. Apakah itu tidak membuat saya kemudian menjadi depresi dan traumatik?

Selain itu juga, saya mencoba melihat facebook ini dari sudut pandang The Changcutters. Facebook racun dunia... Memang pada kenyataannya facebook adalah racun otak. Sebuah artikel di suratkabar pernah mengatakan bahwa facebook telah membuat jutaan orang menjadi gila. Berapa orang sudah diracuni facebook untuk menjadi narsistik dengan menampilkan foto yang bertujuan untuk dilihat banyak orang dan dengan mengganti status setiap saat mereka melakukan kegiatan yang berbeda. Bahkan ada orang yang menuliskan status mereka sebagai “abis makan, neh...ngantuk”. untuk saya itu adalah kesia-siaan. Apa urusan saya dengan kenyataan bahwa anda baru saja makan? Itu toh tidak membuat saya menjadi kenyang. Saya memang tidak peduli, akan tetapi ketidakpedulian saya terusik dengan pengumuman bahwa teman saya itu telah mengganti statusnya menjadi seperti yang saya sebut di atas. Seketika ketidakpedulian saya membuat saya menjadi peduli untuk melihat status tersebut.

Sebuah komik strip di sebuah surat kabar nasional bahkan pernah mengangkat fenomena ini. Dua orang sahabat mengupayakan membeli dua buah komputer jinjing yang identik. Dalam scene selanjutnya digambarkan mereka mendaftar sesuatu secara on-line. Ketika proses pendaftaran selesai, mereka terlihat gembira dan mengatakan bahwa mereka sekarang menjadi teman di facebook. Saya menangkap ada sebuah satir dari kenyataan hidup yang telah mengubah makna dan paradigma pertemanan dari hubungan interaksi sosial antar individu menjadi interaksi secara maya antar individu.

Lebih menarik lagi kalau kita kembali ke khittah pembicaraan tentang mengapa teknologi itu dimunculkan. Apakah facebook itu juga merupakan sarana untuk mempermudah kerja dan meningkatkan kinerja? Mungkin iya dan mungkin tidak.

Bagi seorang Barrack Obama yang kini menjadi Presiden AS ke-44, facebook memainkan peranan yang sangat penting dari kesukesannya menduduki tampuk tertinggi di negara adidaya tersebut. Dia bisa menjaring jutaan pendukung melalui situs sosial seperti facebook. Begitu efektifnya jejaring sosial ini untuk mengubah nasib seseorang.

Facebook juga perlu diakui lebih efektif dari friendster dalam mencari teman lama. Saya tidak pernah mengira bahwa saya akan bertemu secara tidak langsung dengan teman-teman SD saya. Kami sudah terpisah jarak dan waktu selama lebih dari lima belas tahun. Dengan jalan hidup yang berbeda antara satu dan lainnya, sangat sulit melacak jejak mereka di dunia yang sangat luas ini. Mungkin anda juga mengalami hal semacam ini, bertemu dengan mantan pacar yang kini sudah memiliki anak dua misalnya. Atau, mungkin saja anda bertemu dengan musuh bebuyutan anda ketika anda masih ingusan dulu, masih kesalkah anda padanya?

Namun, mungkin masih sangat banyak orang yang belum dapat memanfaatkan situs ini secara optimal untuk mendukung kerja dan kinerja mereka masing-masing. Facebook malah menjadi pelarian mereka dari beban kerja dan beban hidup. Facebook menjadi taman hiburan di mana setiap orang dapat bertemu, bertegur sapa, saling memamerkan kelebihan dan kesuksesan masing-masing. Facebook sudah menjadi sirkus virtual dengan segala macam arena permainan. Anda ingin bermain tembak-tembakan? Facebook menyediakannya. Anda ingin berpura-pura menjadi mafia? Facebook bisa memfasilitasi.

Memang selalu ada konsekuensi. Sekali anda kecanduan bertempat di facebook, aliran informasi ke piranti komputer anda akan terhambat. Kata orang-orang cerdas, itu yang disebut bandwidth. Ibarat manusia, bandwidth itu adalah pembuluh darah yang mengalirkan oksigen ke otak komputer. Nah, keberadaan facebook itu seperti kolesterol yang mempersempit pembuluh darah sehingga aliran tersebut menjadi terhambat. Akibatnya, komputer menjadi lambat dalam berpikir bahkan mungkin saja mengalami serangan stroke yang membuat komputer tidak dapat melakukan apa-apa.

Saya tidak bermaksud menyalahkan atau menyerang orang yang mengakses facebook dengan fasilitas umum. Itu hak mereka, tapi saya tidak mendapatkan kenyamanan maksimal dari situs semacam itu. Jika ada pihak lain yang dirugikan dengan kegiatan semacam itu, maka itu adalah konsekuensi logis. Seperti ketika kita melihat data korban kecelakaan lalu lintas. Jumlah korban semakin banyak seiring dengan kemajuan dunia otomotif yang menghadirkan kendaraan sangat cepat dan supercepat. Saya yakin jumlah korban jiwa akibat tabrak lari ketika orang masih menggunakan kereta kuda tidak terlalu signifikan. Bahkan, dalam sebuah peperangan teknologi justru menghadirkan jumlah korban jiwa yang lebih banyak. Ketika peperangan masih menggunakan sarana seperti tombak dan panah, jumlah korban relatif sedikit. Ketika bahan peledak digunakan, jumlah kematian semakin banyak. Terlebih lagi ketika era nuklir dan bom curah seperti yang digunakan di Palestina.

Begitu kira-kira konsekuensi negatif dari penerapan teknologi. Mungkin yang perlu dilakukan adalah membuat suatu regulasi yang mengikat mereka saat mengakses teknologi. Kalau tidak salah, penggunaan nuklir pun sudah ada pembatasannya. Itu dimaksudkan untuk mengurangi kerugian bagi orang lain yang tidak terlibat langsung. Pun begitu pula dengan teknologi informasi. Pasti ada kerugian yang dialami orang lain selama penggunaan teknologi informasi tidak lakukan secara bertanggung jawab.

Jika seseorang memiliki komitmen yang kuat dalam bekerja, maka saya yakin yang bersangkutan tidak akan terdistorsi dengan keberadaan facebook. Semua yang kita lakukan berawal dari niat. Jika kita niat datang ke kantor untuk bekerja, maka kita secara tidak sadar telah menentukan target sasaran. Pada akhir hari, kita bisa mengukur keberhasilan kita mencapai target yang telah kita tentukan. Kalau tidak tercapai, apa masalahnya dan apa pula solusinya. Untuk itu, terkadang orang dibantu dengan sebuah buku agenda kerja. Sering kali buku agenda tersebut lebih dari satu.

Sering kali kita berangkat dari rumah menuju kantor tanpa niat yang bulat. Kita hanya berangkat karena memang itulah rutinitas yang harus kita kerjakan setiap hari. Masalah apa yang akan kita kerjakan kemudian, itu urusan belakangan. Sehingga kita kesulitan menentukan target kita dan mengukur keberhasilan kita.

Selain itu, terkadang kita terlalu permisif dan apologetik pada diri kita. Tatkala kita tidak dapat mencapai target individu, kita dapat dengan mudah memaafkan diri kita. Toh, besok masih bisa dilanjutkan. Itu alasan kita. Selain itu juga kita cepat mencari alasan pembenaran. Saya pikir tidak ada salahnya jika saya bersantai sejenak karena itu adalah hak saya setelah bekerja keras. Begitu alasan kita. Padahal, hal tersebut menunjukkan tidak kuatnya niat kita bekerja.

Lupakan masalah konsentrasi. Bohong kalau ada yang bilang kalau orang tidak bisa fokus bekerja sementara mengakses facebook. Tidak ada masalah jika kita tetap membiarkan situs itu terbuka selama kita mengerjakan tugas yang lain. Pada saat saya membuat tulisan ini pun, saya tengah berada dalam rapat untuk menentukan masa depan organisasi kantor. Saya akui memang saya tidak fokus 100 persen pada rapat ini. Tapi, saya menyangkal jika saya tidak mengikuti rapat ini dan saya tidak menangkap poin-poin penting yang dihasilkan.

Tutuplah akses facebook, hapuskan friendster selamanya. Itu hanya menyelamatkan bandwidth di kantor anda. Saya tetap agnostik dengan peningkatan kinerja pegawai anda serta anda sendiri seiring dengan penghalangan akses tersebut. Selama setiap dari kita tidak memiliki komitmen dan integritas yang kuat, tidak akan ada peningkatan hasil kerja dan kinerja.
4 Maret 2009

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya dulu punya akun fesbuk, tapi susah saya apus. Buat saya sekarang fesbuk ibarat sampah, tempat orang nulis kata-kata tidak bermutu apalagi bermanfaat bagi orang lain, serta tempat atau gudangnya pemalsuan identitas. Itu menurut saya !