Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

MENIKAH

Menikah memang sudah menjadi salah satu “kebutuhan” manusia. Gue pake tanda kutip pada kata kebutuhan sebagai satu catatan bahwa ternyata ada juga manusia yang merasa tidak butuh menikah. Entah karena memang komitmen dirinya yang tidak mau berkomitmen (sebenernya itu juga sudah merupakan satu komitmen, bukan?) atau ada faktor eksternal yang menghalangi dirinya untuk menikah. Misalnya, faktor biaya, siapa pun tau kalo hidup di dunia ini butuh uang. Kencing aja kita harus membayar padahal kita yang memberi air seni pada toilet umum. Gue gak cuma bicara masalah biaya untuk resepsi, yang umumnya berkisar pada hitungan juta. Dari pengalaman gue satu-satunya-karena memang gue baru sekali itu menikah-kita juga harus mengeluarkan uang untuk selembar surat ijin bersetubuh secara legal. Untuk menikahkan gue, sang penghulu meminta uang sekitar 500 ribu. Itu juga masih belum termasuk biaya administrasi lain. Sungguh ironis! Mereka bekerja di departemen yang berhubungan dengan Tuhan, tetapi mereka makan dengan mengkomersilkan agama.

Selain itu ada juga faktor peraturan yang menghalangi. Salah satu peraturan yang ada menyulitkan pernikahan beda agama, tapi di sisi lain mewajibkan pernikahan beda jenis kelamin. Kalau memang benar agama berada di domain pribadi warga negara, maka seharusnya negara tidak berhak melarang pernikahan beda agama. Yang terpenting adalah pernikahan tersebut tercatat secara resmi dalam arsip pemerintah. Atau mungkin ada banyak faktor lain yang gue sendiri belum tau.

Kira-kira kenapa kita mau menikah? Kalau dari sudut pandang agama, menikah itu adalah sarana untuk menghindarkan kita dari perzinahan. Pada kenyataannya, banyak juga orang yang berzina ketika mereka telah menikah. Kalau semua orang beralasan seperti itu, maka bukankah seharusnya tingkat perzinahan itu berada di titik rendah?

Ada juga orang yang bilang kalo mereka menikah karena sudah merasa cocok antara satu dengan yang lainnya dan tidak bisa hidup tanpa pasangannya tersebut. Gak salah juga kalo orang menikah atas nama cinta mati. Apa itu artinya mereka tidak membutuhkan seks? Gue jadi teringat sebait lirik lagu “Kelamin Uber Alez” buah karya The Panas Dalam, “Mengaku punya cinta murni...ujung-ujungnya minta kelamin”

Tapi gak sah juga kalo kita menikah hanya mendasarkan pada pemuasan syahwat. Bahasa sopannya adalah memiliki keturunan. Karena dari 100 persen waktu yang kita habiskan dalam pernikahan, mungkin gak sampe 40 persen waktu yang kita butuhkan untuk belajar bahasa inggris sederhana oh yes...oh god...oh no... lagipula, kalo hanya kepingin punya keturunan tidak perlu menikah. Yang perlu adalah berhubungan dengan lawan jenis. Toh, anak yang lahir kemudian hanya perlu tau siapa ayah biologisnya, dia tidak akan menanyakan apakah ayah dan ibunya menikah atau tidak.

Pasti ada juga yang pengen bertanya alasan kenapa gue menikah. Jawaban paling singkat mungkin karena gue pengen. Tapi secara logis, gue menikah karena negara mewajibkan gue menikah supaya anak keturunan gue diakui oleh negara. Negara gak mau mengeluarkan akte kelahiran seorang anak tanpa adanya ikatan pernikahan antara kedua orang tuanya.

Selain itu, pastinya urusan urat dan syahwat tadi. Gue ngebayangin kalo gue tiba-tiba butuh melampiaskan nafsu, kemana gue harus mengadu kelamin? berzina? Itu bukan proses yang mudah, bung! Kalaupun harus berzina dengan pacar, itu juga harus memperhitungkan situasi dan kondisi. Belum lagi kalau terjadi resiko kehamilan, toh gue juga akan diminta untuk menikah. Jadi menikah sebelum dinikahkan hansip. Gue juga bukan lelaki yang seneng jajan. Ngapain buang duit kalo bisa nyari yang gratisan dan aman pula? Jadilah gue menikah.

13 Agustus 2008

Tidak ada komentar: