Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

Cacatan ke Turki - 12

SARAPAN DI ASIA, MAKAN MALAM DI EROPA
(Istanbul episode 1)

25 Mei 2008

Pernah denger lagunya kelompok musik PSP atau Pancaran Sinar Petromak yang berjudul ‘Bapak Menang Lotere’? Lagu itu berisi cerita seorang bapak yang uang gajinya gak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Suatu hari dia menang lotere, dia kena sindrom Orang Kaya Baru. Dia akhirnya berfoya-foya sampe duitnya abis gak keruanan. Mau istirahat dia pergi ke Singapura, Mau buang air kecil dia pergi ke Hawaii. Akhirnya uangnya abis dan dia gak punya apa-apa.

Apa yang gue alami kemarin, ada samanya dengan lagu itu. Tapi gue gak berfoya-foya. Mungkin iya gue pergi karena menang lotere. Gue lagi mujur aja bisa pergi ke luar negeri. Yang lebih penting, kemarin adalah kali pertama gue menginjakkan kaki di Benua Eropa. Bagi orang mungkin, hal itu biasa aja tapi buat gue itu luar biasa melihat plang warna kuning bertulisan ‘Welcome to Europe’. Itu dia kehebatan Turki, satu-satunya negara di dunia yang berada di dua benua, Asia dan Eropa. Dan gue kebetulan ada di Turki jadi bisa ngerasain migrasi antar benua tanpa harus keluar dari batas negara.

Akhir pekan ini gue diajak ke Istanbul oleh Bekir Bey dan Kadir Bey. Gue agak tergopoh-gopoh karena harus berangkat jam 6 pagi. Itu berarti gue harus melawan dinginnya kota Ankara untuk mandi jam 5 pagi. Kami gak bisa berangkat siang karena perjalanan sejauh 500 km itu akan ditempuh selama 5 jam. Kalo kita berangkat jam 6 pagi, maka kita bisa sampe di Istanbul jam 11 an. Jadi kami akan menikmati brunch kedua selama di Turki.

Kami tiba lebih cepat dari rencana semula. Kami sampai di tempat kami akan menikmati gabungan antara sarapan dan makan siang. Tempat itu sangat indah, di bangunan yang dulu dibangun sebagai tempat tinggal Gubernur Mesir itu kini dibuat restoran taman. Sangat nikmat sekali makan di daerah berbukit dan dikelilingi oleh banyak pohon besar yang rindang dan di tepi Selat Bosphorus. Rasanya menikmati brunch dan kembali ke Ankara pun sudah cukup. Tapi rencana kami tetap berjalan. Kami akan mengunjungi Istanbul yang ada di Eropa.

Di atas jembatan Fatih Sutan Mehmet dan di atas mobil Bekir Bey yang sedang melaju di atas Selat Bosphorus, kami disambut dengan plang kuning yang menunjukkan bahwa kami telah pindah benua. Akhirnya gue bisa ke Eropa. Perjalanan itu ternyata menuju kawasan Istanbul lama yang bersejarah. Di lokasi tersebut kami mengunjungi Museum Topkapı, Monumen Ayasofya dan Mesjid Sultan Ahmet atau yang terkenal dengan mesjid biru.

Tempat yang pertama kami jelajahi adalah Museum Topkapi. Tempat ini dulunya adalah tempat tinggal sultan yang luasnya mencapai 7 hektar. Di sini tersimpan banyak barang bersejarah dari kekaisaran Ottoman dan benda bersejarah milik umat Islam. Kami bisa masuk dengan gratis karena kami dianggap dalam perjalanan dinas yang resmi. Selain itu kami juga di temani seorang pemandu.

Banyak yang gue pelajari dari kunjungan ke Topkapı, yang sangat mengejutkan adalah anggapan yang sama tentang Harem. Sebelumnya kalo menyebut kata Harem langsung terbayang wanita pemuas nafsu seksual raja. Menurut Zubaidah sang pemandu, ungkapan itu salah besar. Harem itu sebenernya berarti tempat yang tidak boleh dimasuki oleh laki-laki lain tanpa di dampingi Sultan. Memang ada penghuni harem yang dinikahi sultan secara tidak resmi atau dinikahi oleh kerabat sultan, tapi kebanyakan wanita pengguni harem bertugas menyiapkan makanan raja, mencuci piring dan pekerjaan rumah lainnya.

Ada kepentingan tertentu dibalik penyebaran isu bahwa raja sering berganti selir tiap hari. Raja bukan manusia super yang kerjaannya membuahi wanita saja. Di dalam harem ada sekitar seratus wanita. Jadi tidak mungkin, jadi upaya pendiskreditan umat Islam udah ada dari jaman dulu. Si Zubaidah pun lebih dari kesel kalo mendengar upaya menjelekkan Islam. Dia memberikan pembelaan bahwa kerajaan Ottoman adalah yang pertama menyediakan dokter khusus bagi perempuan. Bukan itu aja, ternyata di abad ke-15 kekaisaran Islam sudah punya teknologi WC! Jadi sodara-sodara umat manusia di seluruh dunia, Islam adalah agama yang beradab dan memiliki peradaban. Kami bukan orang biadab dengan nafsu badaniah yang tidak terkontrol.

Di bagian lain dari museum ini terdapat benda bersejarah umat Islam seperti pedang-pedang para sahabat Rasulullah SAW. Bukan cuma itu, di museum ini terdapat peninggalan gigi Rasulullah yang tanggal ketika perang, telapak kaki Baginda, Rambut, pedang dan busur Beliau. Selain itu juga ada peninggalan lain seperti pedang Nabi Daud AS, tongkat Musa AS, turban Nabi Ibrahim AS, dan beberapa peninggalan Nabi Yahya AS yang masih terdapat tulang belulang Beliau. Umat islam berutang budi pada kerajaan Ottoman. Kalo bukan karena mereka, itu barang-barang sekarang mungkin ada di Inggris negara yang mayoritas penduduknya nonmuslim.

Kenapa benda-benda bersejarah tersebut tidak di taruh di Arab Saudi? Gue gak tau apa gue yang kurang kerjaan punya pertanyaan kayak begitu apa orang lain juga bertanya-tanya tentang hal yang sama. Mungkin itu adalah satu rahasia Allah yang tidak terpikirkan manusia. Kalo meminjam istilah tatabahasa Inggris, Arab Saudi tempat dimana Kabah berada memang difokuskan Allah SWT untuk mengurusi masalah saat ini atau bahasa kerennya present time. Jutaan umat Islam dari penjuru dunia dateng ke Arab tiap tahun. Jumlah itu juga terus bertambah meskipun tiap negara dikenakan kuota jumlah calon hajinya. Bisa kebayang sibuknya pemerintah Arab Saudi mengurusi kepentingan jemaah haji.

Terus siapa yang mengurusi masalah masa lalu atau past time? Ada beberapa negara muslim yang sebenernya bisa mengurus hal itu. Tapi banyak yang memiliki kendala. Palestina misalnya, di negara yang terdapat kota suci tiga agama besar dunia yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi saat ini sedang tidak aman. Abis kerjaannya perang melulu tuh Palestina sama Israel. Kalo ditaruh di sana terus kena bom, bisa jadi baru ditemukan beberapa abad mendatang. Negara kawasan teluk lagi sibuk jualan minyak, jadi mungkin gak akan sempat ngurusin yang begituan.

Gimana dengan Indonesia? Negara yang katanya punya populasi umat Islam terbesar di dunia? Kekurangan orang Indonesia adalah tidak bisa menghargai sejarah dan peninggalannya. Gak bakal keurus tuh barang-barang. Apalagi kalo ditemuin sama orang Madura (maaf kepada seluruh kaum Madura!) bisa jadi barang-barang yang berbahan logam udah dikilo terus dijual atau dituker sama abu gosok (mungkin saat ini abu gosok udah gak jaman lagi, tapi gak apalah).

Tapi Allah Maha Besar, Ia pilih negara yang relatif aman karena jarang ikutan perang, negara yang punya sejarah panjang dalam kehidupan bernegara, negara yang mau dan bisa menghargai sejarah yaitu Turki. Biar kata sebagian besar negara itu ada di Asia, tapi mereka udah berhasil mengadopsi gaya Eropa dalam kehidupan masyarakatnya. Boleh aja mereka mendeklarasikan negara mereka sebagai negara yang sekuler, tapi masih banyak juga yang menjalankan syariat Islam. Lagipula Kerajaan Ottoman pada jaman baheula udah menjadi satu kerajaan besar yang diakui dunia. Setelah bubarnya kerajaan Romawi, kerajaan yang ngetop pada masa itu adalah Kerajaan Ottoman. Pas bukan?

Udah ah...jangan kepanjangan ngomongin soal itu, takut dikira gue saksi sejarah. Waktu gue di Istanbul juga dihabiskan dengan mengunjungi museum Aya Sofia atau Hagia Sophia. Sebelum jadi museum, tempat ini adalah gereja romawi yang pada masa (lagi-lagi) Ottoman diubah menjadi mesjid. Perpaduan yang unik karena di dalamnya kita bisa temui elemen-elemen kedua agama besar dunia tersebut. Aya Sofia kebalikan dari yang ada di Granada. Di daerah yang masuk wilayah Spanyol (bukan separo nyolong!) itu ada mesjid yang diubah menjadi gereja karena kejatuhan kawasan Andalusia pada perang salib. Itung-itung impas dah...

Kawasan dimana terletak museum Topkapı (ternyata bacanya Topkape) juga sangat unik karena di lokasi itu ada tiga mesjid besar pada jaman dulu. Yang dua, Topkapı dan Aya Sofia, udah jadi museum tapi mesjid Sultan Ahmed tetap digunakan menjadi mesjid. Mesjid itu ngetop dengan sebutan mesjid biru karena di dalamnya dipenuhi nuansa warna biru. Sayangnya pemerintah Turki, karena sekuler, kurang menghargai tempat sholat yang suci ini. Banyak pengunjung yang non-muslim seliweran keluar masuk. Udah gitu sering kali mereka tidak berpakaian yang pantes. Enak dipandang mata manusia, terutama gue, tapi gak enak dipandang mata Allah.

Abis mengunjungi ketiga tempat bersejarah tersebut, kami berkunjung ke kawasan Grand Bazzar. Tempat ini udah jadi pasar dari jaman Ottoman dulu. Pertama masuk kita akan menemui lorong tertutup yang panjang, di kedua sisinya banyak toko, mungkin bisa dibayangkan seperti kawasan di bawah terminal Blok M. Di dalemnya, lorong itu bercabang dan setiap cabang memiliki nama sesuai dengan barang yang dijual. Kalo di jalan tailor atawa tukang jait, bisa dipastikan yang dijual adalah pakaian dan teman-teman. Hampir segala barang buat oleh-oleh bisa dicari di sana. Mungkin cuma telor asin ama dodol doang yang gak dijual di situ.

Masih di Eropa, masih di Istanbul, masih di Turki. Malemnya kami diajak makan seafood sama Bekir Bey dan Kadir Bey. Meskipun seafood, tempatnya gak sama dengan Muara Karang yang bau amis apalagi kalo laut lagi pasang. Kami makan di restoran dong! Di seberang hotel punya kepolisian, di tepi selat Bosphorus. Semilir angin musim semi yang dingin ternyata cocok untuk makan ikan. Padahal gue benci banget ama ikan, tapi daripada mati kelaperan gue paksain makan. Lagian gak enak ama yang ngajak. Sembari nunggu musuh besar gue rampung dibakar (rasain! Emang enak dibakar?!?) nikmat sekali memandangi selat Bosphorus yang sesekali dilalui perahu pesiar, memandangi daratan seberang yang udah beda benua, memandangi jembatan yang melintasi selat itu yang letaknya gak jauh dari tempat gue bengong.

Dalem hati gue berkata ternyata sebuah benua cuma ditandai dengan sebuah plang kuning bertulisan hitam. Plang yang dengan sabar berdiri di tepi jalan yang sepertinya melambaikan tangan kepada lalu lintas yang gak pernah mati, kepada orang-orang yang melaju di atas kendaraan. Terima kasih hai plang kuning...tanpamu kami tidak akan pindah benua. Tanpa keberadaanmu, gue gak bisa sombong karena udah pernah mengunjungi Eropa. Sekali lagi Teşekkur Ederim!

Tidak ada komentar: