Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

Ke Dokter

08 Agustus 2008

Udah tiga hari anak gue buang-buang air. Sehari bisa buang air sampe tujuh kali. Mana lagi sekarang musim kemarau. Air susah dicari. Tapi itu pun jauh lebih baik daripada buang-buang duit. Itu gue punya isteri udah puyeng aja mikirinnya. Mungkin dia mikir kalo kelamaan anak gue buang-buang air, dia bisa kurang tidur karena harus sering ganti popoknya. Belum lagi mikirin duit buat beli popoknya. Yang terakhir kali dia beli aja belon gue ganti pengeluarannya….hihihi…. kasian amat ya jadi istri gue. Tapi gue yakin dia gak berpikir seperti itu, dia cuma khawatir soal kondisi anak kami. Bunda kan baik hati.

Ada yang bilang kalo anak kecil sering buang air besar itu tandanya ilmunya mau nambah, gue juga bingung bil susah untuk percaya. Emang anak gue kursus waktu di dalem perut? Biarlah. Karena gue juga sebenernya khawatir, gue setuju dengan pendapat isteri tercinta untuk membawa Tya ke dokter. Lagipula apa dayaku untuk menolak permintaan tersebut secara dia itu kan ibunya, gue cuma investor.

Jadilah kami pergi berkunjung ke Pak Dokter. Setelah gue minta ijin pada atasan gue yang baik hati dan tentunya tidak sombong, kami berthreesome pergi pada pagi hari yang cerah itu. Syahdan si dokter memulai prakteknya jam 7 pagi. Wah rajin banget si dokter cari duit, tentu itu cuma perkataan gue dalem hati. Kami tiba dengan kompaknya jam 8. ternyata eh ternyata itu si dokter belum. Akhirnya si dokter itu muncul jam 8 pagi. Sewaktu dia seharusnya mengakhiri masa prakteknya pagi itu.

Ah, akhirnya datang juga giliran kami. Masuklah kami kesana, ke tempat kau berada wahai dokter. Waktu dibilang masalahnya, si dokter cuma menyarankan agar supaya anak gue tidak dikasih makanan padat dulu dan ganti susunya dengan yang rendah laktosa. Dia tulis resep dengan tulisannya yang lebih jelek dari tulisan gue, mungkin biar gue gak bisa baca atau gue terpacu untuk nulis lebih baik lagi, udah selesai. Segitu aja kami harus keluar uang 80 rebu.

Emang sih gue sadar kalo gue itu ada berkunjung ke dokter bukan tempat mencari kepuasan. Tetap saja gue tidak puas. Gak ada penjelasan yang ilmiah yang sulit gue cerna dengan kemampuan gue yang pas-pasan, yang membuat gue merasa pantas mengeluarkan uang sebanyak itu. Dokter payah!

Tidak ada komentar: