Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

Cacatan ke Turki - 14

NEVER SAY GOODBYE


28 Mei 2008

Semakin mendekati hari kepulangan ke Jakarta, gue semakin berat meninggalkan Turki. Bisa jadi gue udah jatuh cinta sama negara ini. Biar kata udah diajak jalan-jalan ke tempat yang eksotis selama tiga minggu kami di sini, tapi semakin hari gue ngerasa semakin banyak tempat yang belum sempat gue kunjungi. Gak hanya itu, gue juga semakin ngerasa bahwa masih banyak ilmu yang belon sempet gue pelajari. Tiga minggu ini sebenernya udah dipenuhi dengan pengetahuan baru tentang hukum, tatanegara, sejarah dan hal lain; bahkan kalo mau jujur, gue udah seperti kuliah S2 singkat. Tapi rasa ingin tau gue belum sepenuhnya terpuaskan. Mengingat ini adalah program uji coba, mungkin seharusnya gue bersyukur dengan apa yang udah gue dapet.

Saking cintanya sama negara ini, gue pikir tanggal 30 Mei ketika gue harus angkat kaki dari Ankara itu hari Sabtu. Ternyata orang di dunia udah menetapkan kalo tanggal itu bertepatan dengan hari Jumat. Ah...biarlah apa kata dunia. Ketika tau bahwa waktu gue tinggal dua hari lagi, gue berpikir bagaimana menikmati saat terakhir eksistensi gue di Turki dan tentunya bagaimana gue harus menghabiskan uang Turki yang gue punya. Soalnya uang Lira gak laku di Jakarta, dul!

Itulah target gue hari ini. Pagi ini gue diajak mengunjungi parlemen dan Menteri Kehakiman. Di Turkish Grand National Assembly, gue bertemu dengan Ketua Komisi Hukum. Mr. Iyimayam sebelum jadi ketua Komisi Hukum merupakan seorang pengacara terkenal. Seorang yang ramah dengan kewenangan yang dia miliki serta keluasan ilmu yang dia kuasai. Dia juga menekankan hubungan erat antara Turki dan Indonesia yang udah dijalin bahkan jauh sebelum NKRI ada. Dia juga bilang kalo bangsa Indonesia udah dianggap sebagai sodara bagi bangsa Turki karena hal itu. Tinggal gue aja yang bengong. Seinget gue, informasi itu gak ada dalam pelajaran sejarah waktu gue sekolah dulu. Atau gue aja yang gak menyimak? Entahlah, tapi gue ngerasa bangga dengan pengakuan tersebut. Pantes juga kalo penyambutan kedatangan kami agak berlebihan menurut sudut pandang kami.

Kalo boleh gue berkata jujur, dan pasti boleh karena tulisan ini gue yang buat, perhatian orang-orang Turki di sini lebih besar daripada orang-orang Indonesia sendiri yang udah jelas satu bangsa. Dua kali gue ke KBRI, dua kali juga gue gak disuguhin apa-apa. Gue tau kalo mereka juga mungkin punya duit cekak. Tapi masak iya gak sanggup untuk beli teh buat tamu, atau paling nggak air putih. Toh kita gak tau apa itu air kemasan atau air keran. Sementara pedagang pakaian di Safranbolu aja mau memberi teh buat kami yang sekitar 10 itu. Untung gue diurus dengan baik, soalnya gak sekali pun orang kedutaan yang melakukan kontak dengan kami! Mereka malah nyindir kalo kami begitu sibuknya sampe lupa menghubungi mereka. Please deh! Yah...mungkin itu resiko jadi warga negara dunia ketiga yang hampir degradasi ke dunia keempat. Pak! Kalo negara ini udah susah diatur, jual aja...

Pun begitu dalam kunjungan ke Departemen Kehakiman. Sekretaris Menteri menyambut kami dengan sangat ramah. Beliau juga menekankan arti penting hubungan Indonesia-Turki dan betapa bertambah eratnya hubungan itu setelah tsunami yang hampir menenggelamkan Aceh Sumatra, begitu istilah orang Turki. Sekali lagi keluar pengakuan kalo Turki adalah sodara tua Indonesia. Dalam hati gue berkata, akhirnya gue punya sodara di luar negeri. Dia juga berharap kalo program yang kami lakukan juga bermanfaat dalam meningkatkan hubungan bilateral antara kedua negara.

Gue harus mengakui kalo gue berbohong sama Sekmen tersebut. Gue bilang rakyat Indonesia juga menganggap kalo bangsa Turki adalah sodara. Sebenernya gue gak tau seberapa serius Pemerintah RI menganggap keberadaan Republik Turki. Emang sih Ketua MK, Ketua MPR, dan anggota dewan udah pernah berkunjung ke Turki, bahkan Istanbul dan Jakarta udah memiliki program sister city di bawah kepemimpinan Sutiyoso, tapi menurut informasi KBRI Presiden RI belum pernah mengunjungi Turki. Sayang sekali mendengar informasi tersebut. Tapi kalo gue jadi Presiden, Turki akan menjadi negara sahabat sedekat hubungan RI dengan negara-negara ASEAN. Doakanlah!

Selesai program tersebut Gus Muh diantar kembali ke Hakimevi sementara gue ikut ke kantor. Lumayan dalam 1 jam sebelum pulang, gue masih bisa bales email dari Gandes di Ostrali. Karena inget masa hidup gue tinggal dua hari di Turki, gue memutuskan pulang jalan kaki. Selain gue mau menikmati keindahan kota Ankara, gue juga penasaran apakah jarak antara Anayasa Mahkemesi dengan Hakimevi sejauh ketika gue dan Gus Muh pertama kali pulang jalan kaki. Gue yakin pasti ada jalan pintas ketimbang menempuh jalan kendaraan bermotor yang agak memutar.

Ternyata benar. Di jalan Hosdere yang jadi jalan utama, gue memutuskan untuk belok kiri dan melewati celah antara dua apartemen. Dari situ gue lanjutkan dengan masuk ke kawasan taman hutan kota. Gue inget kalo taman ini ada di antara kawasan Sokulu tempat Hakimevi berada dengan jalan Hosdere itu tadi. Taman itu sangat rindang, dan juga sangat luas. Panjangnya ada sekitar 3 kilometer dan lebarnya sekitar 500 meter. Jadi berapa luasnya? Hitung sendiri aja. Di dalam taman tersebut seperti biasa ada bangku untuk duduk-duduk, tapi gak hanya itu aja. Taman itu juga dilengkapi jogging track, air mancur yang dilengkapi air terjun mini, dan ada juga tempat makan. Gue gak tau apa itu restoran, cafe, atau apa. Tapi tempatnya terlihat sangat nyaman untuk makan.

Kapan Jakarta punya taman hutan kota seluas dan selengkap itu? Mungkin hanya Tuhan yang tau. Gue jadi mengagumi Pemerintah Turki. Dengan jumlah penduduk yang masih sedikit, mereka sudah memaksa orang-orang untuk tinggal di apartemen ketimbang di rumah. Lahan yang tersisa mereka gunakan untuk membuat taman. Bahkan setiap lembaga tinggi negara memiliki kawasan taman yang luasnya paling tidak 2 sampai 3 hektar. Ankara memang memiliki masalah kurangnya ketersediaan air bersih, apa itu satu upaya untuk menampung air? Ah...seandainya ada banyak taman hutan kota yang rimbun seperti di Turki. Mungkin kita bisa banyak ngeliat orang pacaran.

Dengan bantuan dua orang polisi yang gak bisa bahasa Inggris, gue akhirnya bisa kembali ke jalan yang benar. Ternyata jalan yang gue tempuh itu lebih cepat sekitar 15 menit. Jadi gue masih bisa tidur sebelum melanjutkan acara berikutnya yaitu makan malam bersama rekan sejawat.

Makan malam kali ini memang ditujukan sebagai farewell party buat kami berdua. Dilangsungkan di sebuah restoran mewah di luar kota Ankara, acara kali ini dihadiri oleh empat orang selain kami berdua. Selain Sekjen MK dan Bahadır Bey, Alpaslan Bey dan Bekir Bey juga ikut bergabung dengan kami. Bahkan Bahadır Bey memakai baju batik yang kami berikan padanya sebelumnya. Itu merupakan suatu penghargaan buat kami.

Kami seperti disiksa dengan makanan di acara tersebut. Kebap combo yang merupakan campuran dari seluruh kebap yang disediakan restoran itu terasa sangat besar porsinya untuk perut dua orang Indonesia yang sudah mulai buncit ini. Tetap saja itu menyenangkan. Makan malam itu ditutup dengan ucapan terimakasih dari kami berdua atas seluruh bantuan, informasi, pengetahuan dan lain sebagainya yang diberikan kepada kami selama program ini berlangsung. Kami juga memberikan kenang-kenangan kepada Öğüz Bey, sang Sekretaris Jenderal, berupa sebuah baju batik, sebuah plakat, dan dua buah wayang kulit.

Beliau sangat antusias dengan ‘hadiah’ tersebut, bahkan dia langsung memakai batik yang kami berikan. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa jauh sebelum kedatangan kami di Turki, beliau menganggap sedang menunggu kedatangan dua orang sodara yang tinggal di luar negeri. Bahkan, beliau juga sudah menginformasikan kedua orang tua beliau di Bursa (ini nama kota...bukan tempat jualan saham) bahwa kami berdua akan berkunjung ke sana. Sayang waktunya tidak sempat jadi rencana itu dibatalkan. Acara ini juga bukan untuk melepas kepergian kami dalam arti kata kita tidak akan berjumpalitan, maaf maksudnya berjumpa lagi. Acara ini diadakan untuk melepas seorang sodara yang akan bepergian ke luar negeri dengan harapan suatu saat akan kembali lagi.

Gue juga menambahkan kalo kami, insyallah, akan kembali lagi ke Turki. Kami juga sekarang sudah menganggap mereka sebagai sodara. Jadi kalo mereka ada berkunjung ke Jakarta, kami akan berusaha membantu mereka sejauh yang kami mampu. Pun begitu halnya kalo Anayasa Mahkemesi membutuhkan bantuan tenaga seorang rapporteur-judge, gue bilang kalo Gus Muh udah siap untuk membantu. Berjuta maaf gue kepada beliau untuk hal ini. Seandainya pun benar, gue sangat bangga sekali.

Dalam perjalanan pulang, kami berbincang dengan Öğüz Bey dalam VW Polo putih beliau yang melaju kencang. Gue sejujurnya bilang selama beliau yang menjadi Sekjen, masalah Anasaya Mahkemesi akan beres. Selain itu gue bilang kalo kami berdua mungkin tidak bisa berbincang seakrab ini ketika beliau ke Jakarta karena tindakan protokoler yang disiapkan dalam kapasitas beliau sebagai seorang Sekretaris Jenderal. Gak disangka beliau bilang kalo beliau tidak terlalu menyukai suasana yang terlalu protokoler. Tapi Jakarta beda dengan Ankara, bung! Beliau bilang kalo sebenernya beliau itu adalah ‘pelayan’ masyarakat dan Anayasa Mahkemesi (hmmm....kayaknya sering dengar ucapan seperti itu!) jadi sudah seharusnya jalur birokrasi dipangkas dan memang beliau harus dekat dengan seluruh lapisan. Beliau juga menambahkan kalo semua orang pasti akan mati dan menghadap Allah, jadi buat apa kita sombong.

Pak, kami mungkin saat ini bukan siapa-siapa tapi suatu saat nanti kami mungkin akan berada di posisi dengan kewenangan dan kekuasaan. Pada saat itu, andalah panutan kami, guru kami, teladan kami. Dan gue akan katakan kalo gue belajar ini dari seseorang bernama Mehmet Öğüz Kaya.

Tidak ada komentar: