Gaudeamus igitur; Semper ubi uber, ibi tuber.

"Di mana ada kemaluan, di situ ada persoalan; oleh karenanya berbahagialah."

Cacatan ke Turki - 7

TAMAM…TAMAM

18 Mei 2008

Gue sangat beruntung bisa dikirim ke Turki. Mungkin gue harus sangat berterimakasih sama Bapak Janedjri M. Gaffar yang mengijinkan gue menemani Gus Muh kesini. Di sini gue baru merasakan nikmatnya jadi orang Indonesia. Biasanya yang gue tau kalo ada TKI di negeri orang, beritanya kalo gak disiksa, disiram air panas, atau disuruh kerja tanpa digaji. Orang Indonesia, terutama kami berdua, di Turki sini kami dianggap seperti sodara. Setidaknya mereka merasa sodara seiman karena mereka tau mayoritas orang Indonesia beragama Islam. Sangat menyenangkan dianggap sodara seiman di tengah negara yang mengaku sekuler.

Selain di Anayasa Mahkemesi, banyak sekali yang gue pelajari dari perjalanan ini. Gue sebelumnya gak pernah tau kalo bunga tulip itu asalnya dari Turki. Memang negara yang terkenal dengan sebutan Negeri Bunga Tulip adalah Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun. Dasar penjajah! Mereka tidak memberitahu kita kalo mereka sebenernya udah mencuri identitas bangsa lain. Waktu hari Jumat 1(16/5) gue diajak berkeliling kota dengan ditemani dua orang kawan yang menjabat Judge Rapporteur di Anayasa Mahkemesi. Maaf kalo gue lupa nama sodara sekalian, memang ini adalah kelemahan gue. Pertama kami diajak ke sebuah galeri seni. Sebenernya gue gak ngerti apa-apa soal seni tapi ya sudahlah gue nikmati aja. Di situ kami dihadapkan dengan sekelompok lukisan bunga tulip yang indah. Di situ kami juga diceritakan bahwa dinasti Ottoman yang dulu berkuasa di Turki terkenal dengan dinasti bunga tulip. Pada waktu itu ratusan jenis bunga tulip dapat ditemui di Turki. Kemudian Belanda mengambil beberapa jenis untuk digandakan di negeri kincir tersebut. Karena keterusan bunga tulip justru sekarang lebih banyak ada di Belanda ketimbang di Turki. Sekali lagi, buat orang Belanda, malu dong kalian mengakui identitas negara lain.

Selain itu siapa yang nyangka kalo kata ‘yoghurt’ itu juga asalnya dari Turki. Di Bandung ada satu tempat favorit gue yang menjual yoghurt aneka rasa. Gue gak pernah peduli darimana asal muasal benda yang berasal dari susu yang difermentasi tersebut. Ternyata sekarang gue baru tau. Pengertian yoghurt di Turki sangat berbeda dengan pengertian orang Indonesia tentang benda yang sama. Kalo di Indonesia, yoghurt itu bentuknya cair menyerupai susu dan biasanya telah dipermanis dan diberi rasa. Ternyata di Turki, yoghurt itu bentuknya kental hampir menyerupai krim kocok. Kalo udah diencerkan dengan tambahan air, namanya berubah menjadi ‘ayran’. Kedua benda tersebut merupakan sajian favorit di Turki di setiap hidangan makan. Keduanya juga dinikmati dingin dan tanpa ditambah gula. Jadi rasanya asam-kecut sebagaimana layaknya.

Gue juga baru tau kalo penduduk Turki merupakan penggila teh dan kopi. Teh atau yang dalam bahasa Turki disebut Çay (chay) disajikan dalam gelas mungil yang lucu ditemani dua bongkah gula. Orang Turki bisa minum sampe dua puluh gelas teh setiap hari. Setiap gelas teh yang disajikan itu biasanya sangat pekat. Gak seperti di Indonesia, apalagi di warteg, teh cuma buat pewarna aja. Di Turki teh juga jadi minuman sosial. Setiap ketemu kawan atau rekan kerja atau siapa saja, pasti mereka akan ditemani secangkir teh.

Begitu juga dengan kopi yang juga menjadi minuman andalan. Bahkan orang Turki wajib minum kopi setelah sarapan. Bahkan kata Bahadir Bey, sarapan yang dalam bahasa Turki disebut ‘Kahvalte’ berasal dari dua kata; ‘kahve’ yang berarti kopi dan ‘alte’ yang artinya sebelum. Jadi secara harfiah, sarapan itu berarti ‘sebelum kopi’. Luar biasa bukan? Sekedar informasi, kalo kita ada di café atau restoran dan kita memesan kopi, biasanya kita akan ditawarkan dua macam kopi, nescafe atau kopi turki.

Yang dimaksud dengan nescafe itu kopi instan seperti yang banyak di supermarket di Indonesia. Yang berbeda adalah kopi Turki. Dari cara masak, cara menyajikan dan rasanya sangat unik. Secara tradisional, bubuk kopi Turki dimasukkan kedalam cangkir kecil bertangkai panjang yang terbuat dari tembaga kemudian diguyur dengan air mendidih. Setelah beberapa saat, kopi itu dituang kedalam cangkir, yang lagi-lagi, mungil. Kopi itu udah bisa dinikmati dengan tambahan beberapa bongkah gula. Rasanya? Memang berbeda dengan kopi di Indonesia yang biasanya wangi, kopi Turki cenderung kurang kuat wanginya. Tapi waktu pertama masuk tenggorokkan, wuih...pahit dan kental banget. Mak nyosss...mata langsung terang, jantung berdebar, kepala sedikit pusing. Tapi kalo udah beberapa kali, apalagi kalo gratis, rasanya enak banget. Mungkin karena gratis kali ya...

Lanjut dengan perjalanan gue keliling kota, gue sempet mampir di salah satu mall di Turki yang ternyata ada ruang untuk resepsi pernikahan. Gak penting sih memang, yang hebat adalah bangunan disebelahnya Atakuleye (dibaca ‘atakulee’ dengan bibir sangat memble). Atakuleye itu seperti Monas, sebuah menara yang dari atasnya kita bisa melihat seluruh kota. Ternyata banyak sekali gedung yang didepannya digantung bendera. Bukan dikibarkan tapi digantung dari atas gedung ke bawah dengan ukuran yang sangat besar. Gak jarang juga di sampingnya ada foto Mustafa Kemal Ataturk, Bapak bangsa Turki. Gue sangat kagum dengan nasionalisme bangsa Turki.

Terlepas dari bendera dan foto bapak bangsa, di setiap titik di kota Ankara sangat kentara sekali aroma Turki. Banyak tempat makan yang menjual kebap yang merupakan makanan asli Turki meskipun ada beragam jenis kebap yang dijual. Terlebih lagi semua toko menggunakan bahasa Turki daripada sok menggunakan bahasa Inggris. Coba liat Jakarta yang udah gak berasa ada di Jakarta. Banyak nama tempat yang menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Rumah di pinggir kali aja sekarang namanya River Side View. Belon lagi soal makanan, jarang ada rumah makan yang khusus jual makanan betawi yang lengkap dengan kerak telornya. Emang bener kata Prof. Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi, bahwa orang Indonesia sekarang udah krisis identitas. Kita cuma bisa niru kebudayaan orang lain dan dicampur aduk sedemikian rupa.

Mungkin kita harus niru Turki dalam urusan kebangsaan dan identitas negara. Mungkin kita emang butuh seorang figur yang dikagumi dan dihormati seluruh bangsa Indonesia. Mungkin butuh waktu lama agar bangsa dan negara kita bisa dibilang ‘Tamam...Tamam’


*) Tamam : Baik, oke

1 komentar:

namirasy mengatakan...

mau tanya dong
restoran turki di bandung dimana ya??
saya ada tugas budaya turki ni
mau ada festival budaya turki
dituggu yaa
trims